Tidak ada asap kalau tidak ada api, begitu kira-kira logika munculnya tanda-tanda larangan atau himbauan.
Semakin banyak tanda larangan berarti di daerah tersebut banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan masyarakat. Jika masyarakat tidak ada yang melanggar, tertib aturan, tentu larangan maupun himbauan tidak pernah muncul dalam bentuk tertulis nan sarkas.
Pelanggaran muncul karena kedisiplinan dan ketertiban yang kurang dari anggota masyarakat sehingga seolah-olah mereka menjadi masyarakat tanpa aturan atau tak beradab.
Persoalan semacam ini tidak lantas selesai dengan pemasangan tanda-tanda, plang, rambu-rambu larangan beserta sanksinya. Pelanggaran selalu terjadi sebelum semua anggota masyarakat bisa berperilaku disiplin dan tertib.Â
Hal ini memerlukan penyadaran melalui pendidikan akan pentingnya perilaku baik yang disiplin dan tertib. Pun demikian edukasi ini sebaiknya dimulai dari lingkup terkecil terlebih dahulu yaitu keluarga.Â
Jika orang tua bisa menjadi contoh yang baik dalam perilaku disiplin dan tertib, tentu anak-anak dan anggota keluarga yang lain akan mengikuti dan menjadikannya role model.Â
Sekolah, pengajian, rumah ibadah juga harus mengajarkan pada umatnya agar berperilaku baik, disiplin dan tertib semata-mata demi ketertiban dan kenyamanan masyarakat secara luas.
Bukan tugas mudah dan sekejap untuk membenahi perilaku sosial masyarakat menuju masyarakat yang disiplin, tertib dan beradab. Butuh proses panjang dan stamina yang luar biasa kuat untuk mencapainya.Â
Namun ini merupakan tugas dan tanggung jawab bersama seluruh anggota masyarakat dalam upaya mewujudkannya masyarakat yang tertib, disiplin dan harmonis. Upaya ini bisa kita mulai dari diri kita sendiri dan keluarga.
MRR, Bgr-01/11/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H