Suatu saat saya melintasi suatu tanah kosong di pinggir jalan. Sejenak saya memelankan sepeda motor yang dinaiki dan melihat sebuah papan dengan tulisan yang unik.
"Ya Allah semoga orang yang buang sampah disini segera dicabut nyawanya" terpampang pada plang tripleks yang dipasang pada sebuah bambu. Terlihat sampah berserakan di sekitar plang tersebut seolah-olah makna unik yang terpasang pada plang tersebut tidak berharga sama sekali.
Di kesempatan yang lain ketika sedang berjalan kaki, saya temukan sebuah tulisan unik terpampang di gerbang pojokan sebuah toko. "Yang kencing disini Anjing" begitu bunyi tulisan yang terbaca oleh saya sembari berjalan sambil menutup hidung dan membelalakkan mata.
Pas tepat di lokasi tulisan nyeleneh tersebut memang bau pesing terasa menyengat, pertanda lokasi tersebut digunakan orang-orang yang pipis sembarangan. Barangkali si empunya toko sudah sangat terganggu hingga harus menulis himbauan seperti itu.
Namun kalau sudah berulang kali terjadi dan orang tetap bandel melakukan aktivitas tersebut (buang sampah atau pipis), maka pemilik lokasi akan terganggu dan menjadi alasan membuat himbauan tersebut.
Himbauan atau boleh dikatakan sebagai larangan dengan tulisan yang unik dan menarik sebenarnya sedang menyindir pelakunya agar tidak berbuat seperti itu lagi.Â
Mungkin kalau tulisannya tetap standar dengan kalimat "Dilarang Membuang Sampah Disini" atau "Dilarang Kencing Disini' tidak cukup nendang untuk mencegah para pelaku untuk tidak mengerjakan apa yang dilarang.Â
Kata-kata sarkas, lucu, sinis menjadi wadah penumpahan rasa kekesalan yang sudah lama mengendap untuk menjadi perhatian para pelaku yang disasar.
Keunikan atau sarkasme dalam sebuah plang himbauan atau larangan sebenarnya berhubungan dengan persoalan adab masyarakat.Â
Semakin banyak larangan dan himbauan yang dituliskan di tengah kehidupan menunjukkan bagaimana tingkat perilaku sosial anggota masyarakatnya. Apakah mendekati masyarakat beradab dan berperilaku baik lagi santun atau sebaliknya justru menjauh.Â
Tidak ada asap kalau tidak ada api, begitu kira-kira logika munculnya tanda-tanda larangan atau himbauan.
Semakin banyak tanda larangan berarti di daerah tersebut banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan masyarakat. Jika masyarakat tidak ada yang melanggar, tertib aturan, tentu larangan maupun himbauan tidak pernah muncul dalam bentuk tertulis nan sarkas.
Pelanggaran muncul karena kedisiplinan dan ketertiban yang kurang dari anggota masyarakat sehingga seolah-olah mereka menjadi masyarakat tanpa aturan atau tak beradab.
Persoalan semacam ini tidak lantas selesai dengan pemasangan tanda-tanda, plang, rambu-rambu larangan beserta sanksinya. Pelanggaran selalu terjadi sebelum semua anggota masyarakat bisa berperilaku disiplin dan tertib.Â
Hal ini memerlukan penyadaran melalui pendidikan akan pentingnya perilaku baik yang disiplin dan tertib. Pun demikian edukasi ini sebaiknya dimulai dari lingkup terkecil terlebih dahulu yaitu keluarga.Â
Jika orang tua bisa menjadi contoh yang baik dalam perilaku disiplin dan tertib, tentu anak-anak dan anggota keluarga yang lain akan mengikuti dan menjadikannya role model.Â
Sekolah, pengajian, rumah ibadah juga harus mengajarkan pada umatnya agar berperilaku baik, disiplin dan tertib semata-mata demi ketertiban dan kenyamanan masyarakat secara luas.
Bukan tugas mudah dan sekejap untuk membenahi perilaku sosial masyarakat menuju masyarakat yang disiplin, tertib dan beradab. Butuh proses panjang dan stamina yang luar biasa kuat untuk mencapainya.Â
Namun ini merupakan tugas dan tanggung jawab bersama seluruh anggota masyarakat dalam upaya mewujudkannya masyarakat yang tertib, disiplin dan harmonis. Upaya ini bisa kita mulai dari diri kita sendiri dan keluarga.
MRR, Bgr-01/11/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H