Dari semenjak kecil Bahasa Indonesia sudah mendarah daging dengan kehidupan saya sehari-hari. Boleh dikatakan Bahasa Indonesia merupakan Bahasa ibu. Dalam pergaulan, pekerjaan dan rumah tangga, Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang paling sering saya gunakan.Â
Pun demikian Bahasa Indonesia yang digunakan tersebut sudah tidak mengindahkan kaidah EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) seperti dulu saya mendapatkan pelajarannya saat bersekolah.Â
EYD dalam berbahasa Indonesia menjadi luntur karena dalam keseharian saya menggunakan Bahasa Indonesia versi pergaulan alias Bahasa percakapan sehari-hari yang tidak memperhatikan pakem layaknya EYD.
Berbeda dengan Bahasa Indonesia yang memang sudah sedari kecil dikuasai, Bahasa Inggris baru mulai saya pelajari dari SMP. Hingga selesai kuliah, kalau sekedar grammar dan kalimat sederhana saya bisa paham, namun kalau untuk kalimat yang kompleks dan dialog saya mengalami kesulitan. Maklum, dalam keseharian saya tidak menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan dan pergaulan.
Ketika mulai bekerja di perusahaan saya sekarang, kemampuan berbahasa Inggris benar-benar dituntut untuk berkembang. Bagaimana tidak, saya masuk ke bagian proyek yang kontraktornya asing, Konsultannya orang-orang bule, kontraknya Bahasa Inggris, dokumen teknis atau standar internasional yang digunakan Bahasa Inggris, dan ketika rapat-rapat bahasa yang digunakan adalah Bahasa Inggris.Â
Keadaan saat itu memaksa saya untuk menggunakan Bahasa Inggris dalam pekerjaan sehari-hari. Persentuhan dengan orang-orang bule, bercakap-cakap dalam Bahasa Inggris, menulis dan membaca dokumen dalam Bahasa Inggris membuat kemampuan Bahasa Inggris saya meningkat.
Apalagi kata seorang teman yang mengatakan kalau Bahasa Inggris saya lebih lancar saat marah, kebetulan dia mendengar pas saya lagi memarahi personil kontraktor yang seorang bule.Â
Sampai suatu saat saya harus menggantikan seorang teman yang sedianya menghadiri suatu konferensi Teknik dan memberikan presentasi disambung diskusi panel yang diselenggarakan di Singapura, sekitar medio tahun 2010. Jujur saya antara iya dan tidak menerima tawaran tersebut mengingat Bahasa Inggris saya baru seadanya.Â
Namun tawaran ke Singapura mengalahkan kebimbangan dan meningkatkan percaya diri saya. Dalam forum konferensi se Asia tersebut saya ikut membawakan presentasi dan terlibat dalam panel discussion.
Saat tampil di konferensi tersebut saya sadar bahwa perbendaharaan kosa kata masih sedikit dan tidak begitu paham dengan phrase-phrase dalam Bahasa Inggris ditambah logat Inggris saya barangkali seperti dialek Banyumasan.Â
Namun saya tetap harus pede di atas panggung, tidak peduli audien yang hadir paham atau tidak. Namun nyatanya saat sesi tanya jawab dimulai, ada beberapa peserta yang bertanya pada saya akan topik yang dibawakan. Tentu saya jawab balik pertanyaan mereka dan sepertinya mereka paham dengan apa yang saya sampaikan.
Namun begitu keluar dari bagian proyek dan jarang berinteraksi dengan orang-orang bule, kemampuan Inggris tidak terasah lagi, cenderung stagnan dan mulai terkikis. Sekarang kalau berdialog dalam Bahasa Inggris saya rasakan tidak selancar dahulu saat masih di proyek.Â
Saat ini kalau bertemu bule dan bercakap-cakap dalam Bahasa Inggris, saya perlu 5 sampai 10 menit untuk melemaskan dan melancarkan lidah ini. Karena berbahasa adalah masalah kebiasaan, maka kebiasaan kita sehari hari lah yang akan menentukan seberapa bagus kemampuan kita dalam berbahasa asing.
Kita bisa lancar berbahasa Indonesia, bisa cas cis cus berbahasa Inggris karena kita mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekedar belajar teorinya saja namun tidak pernah praktek. Dengan kebiasaan maka segala sesuatunya menjadi ringan, terasa mudah untuk dijalankan.
Saya jadi teringat saat di Singapura, masyarakat sana tertib berjalan di trotoar, mengantri di lampu merah, dan tidak buang sampah sembarangan. Meskipun ada unsur hukuman atau denda yang tinggi jika seseorang melanggarnya, hal ini telah merubah perilaku masyarakat Singapura menjadi tertib dan patuh terhadap aturan.Â
Karena tiap hari atau bahkan tiap waktu mereka berperilaku sperti itu, maka hal itu menjadi kebiasaan baik yang dijalankan terus menerus, bukan lagi karena ada larangan dan hukuman.
Begitulah efek dari hal yang secara berulang-ulang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari (baca : kebiasaan) sangat kuat pengaruhnya. Yang saya contohkan di atas adalah kemampuan berbahasa Indonesia dan Inggris (contoh yang baik) yang dibangun karena kebiasaan sehingga menjalaninya bisa secara otomatis tidak perlu faktor pemaksa. Begitu pula dengan contoh perilaku kedisiplinan orang di Singapura yang dibangun di atas kebiasaan perilaku sehari-hari.
Coba bayangkan jika kebiasaan yang kita bangun itu adalah kebiasaan buruk seperti berjudi, minum-minuman keras, penggunaan narkoba dan sejumlah aktifitas tidak baik lainnya tentu akan sangat berbahaya.Â
Karena sudah terbiasa melakukan kebiasaan buruk tersebut maka hati kita bisa menjadi beku dan menganggap kebiasaan tersebut sebagai sesuatu yang biasa dan normal bahkan akan membiarkan atau menularkannya pada teman, anak maupun saudara.
Kebiasaan akan membuat kita menjadi ahli dalam suatu aktifitas tertentu. Oleh karenanya perbanyaklah kebiasaan-kebiasaan positif dan kurangi yang negatif atau tidak baik.Â
Kata-kata Imam Al Ghazali patut untuk direnungkan, "Siapa saja yang di dalam pangkal fitrahnya belum didapati sifat baik, misalnya, maka hendaklah ia memaksakan diri berbuat baik; barang siapa yang tidak diciptakan memiliki sifat tawadhu, hendaklah ia berusaha keras bersifat tawadhu sampai terbiasa".
MRR, Bks-02/08/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H