Seorang teman bercerita bahwa dia sangat benci terhadap pegawainya. Entah apa penyebabnya sehingga begitu sebal dia terhadap pegawainya. Yang jelas di mata teman saya, apapun yang dilakukan pegawainya tersebut seringkali salah, kasarannya dia tidak pernah puas.
Apalagi terhadap omongan pegawainya tersebut, entah yang disampaikan benar atau tidak namun dia sudah terlanjur apatis, pesimis terlebih dahulu terhadap apa yang disampaikan. Padahal belum tentu apa yang disampaikan dan dikerjakan pegawainya salah, namun karena rasa benci teman saya tersebut maka kebenaran bisa saja menjadi tertutupi dan membuatnya berlaku tidak adil pada pegawainya.
Seringkali kita membiarkan rasa benci pada seseorang atau golongan bersemayam pada hati kita. Kadang kala malah kita memupuknya dan membuatnya semakin besar dengan menafikan sisi baik dari orang yang kita benci.
Hanya mengingat keburukan, kesalahan dan kejelekan orang lain akan menambah rasa benci dan menghilangkan bahwa orang lain tersebut juga mempunyai sisi kebaikan. Padahal tidak ada manusia yang tidak punya kebaikan. Manusia itu sepertinya memang tempat salah dan lupa, namun hidupnya tidak melulu salah.
Oleh karenanya harus dibedakan sebenarnya apa yang pantas dibenci, orangnya atau perbuatannya. Pilihan akan orang atau perbuatannya akan menentukan objektifitas orang. Pertama ketika yang kita benci adalah orangnya.
Rasa kebencian ini akan melekat pada orangnya tidak peduli orang yang dibenci itu berbuat baik atau benar. Yang ada pokoknya apa yang dilakukan salah semua. Hal ini membuat kita tidak bisa melihat orang tersebut secara objektif.
Ini yang banyak terjadi selama masa PILPRES dewasa ini. Banyak orang di media sosial menunjukkan rasa bencinya pada capres yang tidak disukainya dan menghilangkan sisi kebaikan yang ada pada masing-masing capres.
Apakah anda pernah mengalami kejadian bahwa bos, atasan atau orang lain menerima dan menyetujui pendapat/usul yang teman anda kemukakan padahal sebelumnya pendapat yang sama sudah anda ungkapkan tapi mereka menolaknya? Kalau ini yang terjadi maka jangan-jangan bos, atasan atau orang lain tersebut sedang membenci anda secara personal.
Inilah bahayanya menyimpan rasa benci atas "orang". Hal ini akan menutup kebenaran yang disampaikan pada kita. Padahal nasihat Ali bin Abi Thalib berbunyi "Perhatikanlah apa yang dikatakan, jangan memperhatikan siapa yang berkata."
Kedua, kebencian atas perbuatan orang yang menurut kita (berdasarkan syariat, norma, hukum) perbuatan tersebut kurang terpuji, tidak baik, buruk, atau jahat. Jadi kebencian tersebut kita sandarkan pada perbuatannya, bukan pada diri orang tersebut. Seperti halnya perilaku seorang waria dimana dia sejatinya laki-laki tapi sengaja menyerupai perempuan.
Kita pantas membenci perbuatan tersebut, namun jangan sampai kemudian kita membenci orangnya. Dengan si Waria kita harus tetap baik, dengarkan ucapannya, yang baik diambil dan yang buruk ditinggalkan. Kalau memang kita hanya membenci perilaku buruknya, Insya Allah kita masih punya hati dan pikiran positif terhadapnya atau dengan kata lain bisa bersikap objektif.