Sebagai anak kandang, tugas saya tidap hari adalah memberi makan dan minum 5.000 ekor ayam pedaging. Hal tersebut saya lakukan berdua dengan seorang kawan dalam kurun waktu hampir 8 bulan (tahun 2002-2003).
Jadi ceritanya pada tahun 2003 bersama dua orang kawan lainnya kami membeli 2 buah kandang ayam pedaging berkapasitas total 10.000 ekor ayam. Seorang pemodal tidak ikut mengelola, sehingga saya dan seorang kawan mengelola langsung serta mempekerjakan 3 orang anak kandang.
Tiap pagi dan sore saya harus menyiapkan makan dan minum buat ayam-ayam tersebut, dari mereka usia 1 hari hingga siap panen kurang lebih 40 hari. Kalau dirata-rata selama siklus 40 hari tersebut maka tiap hari tugas saya mengangkat/menggendong 4 karung pakan ayam dari gudang ke kandang dimana sekarung pakan beratnya 50 kg.
Di samping itu saya juga harus menyiapkan air minum setara 1 drum yang harus didistribusikan melalui puluhan tempat minum ayam sehingga semua ayam tidak ada yang kekurangan.
Saat awal-awal menjalani tugas sebagai anak kandang memang terasa berat harus mengangkat beban baik pakan maupun air minum setara 300 kg tiap harinya. Masih ingat ketika pertama kali mengangkat sekarung pakan ayam ke atas punggung butuh bantuan kawan, itupun masih dengan susah payah membawanya.
Namun bergulirnya waktu rutinitas tersebut menjadi sesuatu yang biasa dan tidak lagi terasa berat. Rasanya otot-otot tubuh pun bisa menyesuaikan diri dengan beratnya pekerjaan fisik yang harus dijalani.
Tahun 2003 profesi sebagai anak kandang saya tinggalkan karena diterima di sebuah perusahaan di Jakarta. Sebagai tahap awal orientasi, perusahaan tersebut mengirim calon karyawannya ke sebuah sekolah polisi di Sukabumi untuk mendapat pendidikan, gemblengan terutama kedisiplinan. Saat itu ada latihan fisik seperti push up, sit up, lari dan pull-up.
Saat giliran saya melakukan pull up, dalam hati saya berkata paling seperti biasa 3-4 kali sudah maksimal. Namun saat sudah pull-up yang ke 4 kok saya masih kuat, dan ternyata mentok di angka 10. Saya sangat terkejut, tidak pernah saya bisa pull-up lebih dari 5 kali dalam satu kesempatan, lha ini kok bisa sampai 10 kali.
Usut punya usut ternyata profesi sebagai anak kandang telah membentuk dan meningkatkan kekuatan pada tubuh saya tanpa disadari. Waktu selama 8 bulan sebagai anak kandang bisa membuat kekuatan saya meningkat dua kali lipat terutama dalam hal pull-up. Rupanya mengangkat dan menggendong pakan ayam yang menjadi aktivitas sehari-hari juga berfungsi sebagai sarana olahraga yang tak pernah disadari. Jangan-jangan bila lebih lama menjalani kehidupan sebagai anak kandang, taruhlah lima tahun, mungkin saya juga bisa pull-up sampai 50 kali.
Coba bayangkan dengan membawa 4 karung pakan saja tiap hari selama 8 bulan tanpa sadar kekuatan saya meningkat pesat dan baru menyadarinya belakangan, sebuah hasil dari akumulasi latihan selama 8 bulan yang tak disadari sebelumnya. Untung hal tersebut masih bersifat positif, bagaimana jika hal sebaliknya yang terjadi dan kita terlambat menyadarinya atau bahkan tidak pernah menyadarinya.
Salah satu contoh adalah masalah kebencian terhadap seseorang. Barangkali dalam hidup ini ada di antara kita yang membenci seseorang entah apapun sebabnya. Jika kebencian ini terus kita pelihara dalam hati, maka bukannya rasa benci itu akan berkurang namun malah akan bertambah. Karena rasa benci yang muncul dalam hati akan tetap terpelihara dan membesar kadarnya kecuali bila kita menghentikan dan menghilangkannya, mungkin dengan jalan memaafkan kesalahan seseorang yang kita benci tersebut.
Kebencian yang terus dipupuk tanpa disadari bisa membuat kita berlaku tidak adil pada orang tersebut dan mengotori hati kita. Taruhlah anda yang seorang Lurah menaruh benci terhadap salah seorang warganya. Sikap anda dari awalnya malas untuk melihat wajahnya, menghindar kalau bertemu, maka lambat laun bisa terjadi anda tidak mau memberikan surat keterangan yang diminta si warga tersebut karena sudah terlanjur benci. Padahal tidak ada hubungannya antara rasa benci tersebut dengan tugas pelayanan sebagai Lurah dan hak si warga sebagai rakyat.
Begitu juga orang yang sudah terbiasa melakukan pencurian, perampokan dan korupsi. Awal mulanya mungkin korupsi waktu, baik semenit dua menit, lama-lama bisa hitungan hari. Dari sekedar korupsi waktu meningkat menjadi korupsi uang. Mula-mulanya mungkin baru recehan, namun lambat laun terus meningkat keberaniannya untuk melakukan korupsi dari jutaan rupiah hingga milyaran.
Begitulah yang sering terjadi dalam kehidupan, berlatih, berbuat, dan memelihara hal-hal yang positif atau negatif adalah suatu pilihan. Hasil akhir yang kita dapatkan adalah merupakan akumulasi dari apa yang kita lakukan saat ini sampai nanti. Contoh yang saya sampaikan di atas sudah sangat jelas menunjukkan akan hasil akhir yang ditentukan oleh proses yang terus-menerus kita jalani.
Seringkali kita terlupa untuk menyadari akan hasilnya yang bisa mengarah pada kebaikan atau keburukan. Oleh karenanya mari kita biasakan lakukan hal-hal yang baik-baik dan bermanfaat saja serta hindari hal-hal yang buruk. Semua bermula dari kebiasaan dan pembiasaan, maka hal-hal baik pun harus dibiasakan untuk dilakukan hingga akhirnya akan menjadi kebiasaan yang bermanfaat.
MRR, Cbn-26/06/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H