Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Prohire" dan Isu TKA

1 Mei 2018   09:23 Diperbarui: 1 Mei 2018   09:23 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: pixabay

Pro dan kontra mengenai PERPRES tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing memang sedang marak dan kadang begitu menggoda untuk diangkat terutama ketika bertemu dengan kepentingan politik beserta bumbu-bumbu yang menyertainya. Jawaban pemerintah sebagai inisiator Perpres tersebut juga seringkali out of context dan terlihat hanya mengeles saja.

Mengapa menjadi heboh? Fakta bahwa banyaknya TKA terutama yang berasal dari China dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar (unskilled worker) dalam proyek-proyek di Indonesia dirasa mengusik rasa kepatutan dan tidak menggambarkan keberpihakan pemerintah terhadap tenaga kerja dalam negeri. Di saat banyak buruh kasar domestik membutuhkan pekerjaan, dan pekerjaan tersebut bisa dijalankan mereka, namun di saat yang bersamaan mimpi itu hilang direbut oleh TKA.

Namun sesungguhnya permasalahan TKA terutama unskilled worker yang bekerja di Indonesia tidak terlepas dari banyaknya utang luar negeri Indonesia terhadap negara lain terutama China. Oleh karenanya mengutip pendapat kawan penulis, Dr. Effnu Subiyanto (Sekretaris Umum Serikat Karyawan Semen Indonesia), buka saja kontrak utang Indonesia dengan China yang diyakini bahwa di antara klausul yang diperjanjikan adalah keharusan mengikutsertakan TKA asal China. Kalau pemerintah mau blak-blakan membuka perjanjian utang luar negerinya menurut penulis akan sangat bagus sekali, sehingga tidak ada lagi dusta di antara kita mengenai penggunaan TKA.

Prohire adalah TKA?

TKA apalagi yang unskilled worker selalu menarik untuk dibahas, namun barangkali kita terlupa masalah yang biasa dialami oleh perusahaan yang sudah mapan, baik itu BUMN atau swasta yaitu perihal prohire. Profesional hire atau karyawan yang dianggap secara profesional cakap dan kompeten dalam bidang tertentu seringkali direkrut oleh suatu perusahaan untuk mengisi jabatan managerial baik level pertama sampai eksekutif.

Penggunaan prohire ini hampir-hampir mirip dengan TKA, sehingga isunya ngeri-ngeri sedap dalam suatu perusahaan. Sama akan halnya TKA yang secara filosofi boleh digunakan di Indonesia sebagai alternatif terakhir dimana jabatan tersebut belum dapat diduduki oleh tenaga kerja Indonesia, maka semestinya filosofi yang sama berlaku juga untuk prohire.

Dua alasan utama manajemen perusahaan menggunakan prohire:

  • Adanya kebutuhan mendesak untuk mengisi suatu posisi atau jabatan dimana tidak ada sumber internal yang memenuhi syarat dan berkompeten
  • Adanya bisnis baru yang berbeda dari bisnis eksistingnya, sehingga dipastikan sumber internal tidak ada yang kompeten

Alasan yang kedua selama ini dapat diterima dengan baik oleh kalangan internal perusahaan, namun untuk alasan pertama seringkali menimbulkan polemik dan gejolak.

Prohire tentu saja akan menghalangi karir dari karyawan eksisting yang mempunyai kesempatan untuk menduduki jabatan tersebut. Oleh karenanya penggunaan prohire dengan alasan yang dibuat-buat dan tidak bijaksana pasti akan menimbulkan konflik dalam perusahaan. Terlebih selama ini khususnya di BUMN, perekrutan karyawan prohire dianggap suka-suka direksi, karena penempatan karyawan pada posisi-posisi tertentu unsur suka dan tidak sukanya masih begitu kental dibandingkan dengan unsur kompetensi yang seharusnya dikedepankan.

Penggunaan prohire dianggap sebagian orang sebagai pintu masuk bagi direksi untuk menempatkan kroni-kroninya dalam perusahaan yang dipimpinnya. Anggapan ini tidak bisa dilepaskan dari kiprah prohire selama ini yang lebih menunjukkan kedekatan hubungan dengan direksi yang merekrut daripada hasil kinerjanya.

Prohire bukanlah sesuatu yang harus ditolak, namun alasan dasar penggunaannya yang akan menjadikan sebab musabab apakah prohire dibolehkan bahkan kalau perlu diberikan karpet merah atau wajib hukumnya ditolak. Untuk itu direksi harus jujur mengakui alasan penggunaan prohire di perusahaannya sehingga tidak memicu friksi internal perusahaan.

Seringkali hanya karena direksi tidak yakin dan percaya akan kemampuan karyawan internal maka hal itu dijadikan dasar untuk menggunakan prohire namun dengan alasan yang dibuat seolah-olah masuk akal. Padahal dalam suatu perusahaan modern, sudah jamak adanya rencana jangka panjang perusahaan (RJPP) yang kemudian diturunkan dalam rencana jangka pendek (RJP). 

Dalam RJPP dan RJP akan terlihat arah bisnis perusahaan ke depannya, berapa sumber daya yang diperlukan baik manusia dan finansialnya. Maka semestinya prediksi kebutuhan karyawan beserta kompetensinya sudah bisa diketahui jauh-jauh hari dan sangat cukup waktu bagi perusahaan untuk mempersiapkannya dengan membangun kompetensi karyawan internal.

Penulis punya pengalaman bagaimana berinteraksi dengan para prohire yang kebetulan direkrut oleh perusahaan. Ada sekitar delapan prohire yang direkrut sampai 3 tahun lalu untuk jabatan manajemen puncak (satu level di bawah direksi). Kebetulan jabatan yang diisi oleh para prohire tersebut bukan merupakan kategori bisnis baru. Semua prohire tersebut tak berapa lama dari perekrutannya telah menjadi karyawan tetap perusahaan. Namun kinerja dari semua prohire tersebut kalau boleh dibilang tidak ada yang istimewa atau di atas rata-rata karyawan lainnya meskipun mereka mungkin mengklaim sebaliknya.

Pernah suatu hari seorang direksi perusahaan bercerita pada penulis bahwa banyak prohire yang tidak seperti ekpektasinya, kinerja biasa-biasa saja dan tidak memberikan nilai tambah. Hal ini hanya akan memperberat beban perusahaan saja. 

Berangkat dari hal itu maka dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Serikat Pekerja dan Perusahaan bersepakat bahwa prohire harus menjalani masa sebagai karyawan dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) selama setahun sebelum diangkat sebagai karyawan tetap dengan penilaian kinerja minimal Good Plus dan selama dua tahun berturut-turut minimal berkinerja Good Plus. Apabila kondisi ini tidak tercapai maka kepada yang bersangkutan dapat diberhentikan secara sepihak oleh Perusahaan.

Kedaulatan akan tenaga kerja Indonesia harus dimulai dari elemen yang terkecil yaitu perusahaan. Bagaimana perusahaan dapat memaksimalkan sumber daya internalnya dan mengurangi penggunaan prohire merupakan indikasi bahwa kita siap atau tidak dalam bersikap akan hadirnya TKA di bumi pertiwi. 

Semestinya isu prohire dan pengembangan kompetensi karyawan internal juga menjadi isu utama selain serbuan TKA. Selamat Hari Buruh 1 Mei 2018, semoga kita bisa berdaulat di perusahaan kita sendiri.

MRR, Bks-01/05/2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun