Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Eksistensi Gerakan 212, "The Reunion"

2 Desember 2017   19:58 Diperbarui: 2 Desember 2017   21:27 2316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai sebuah gerakan moral dan politik, aksi 212 menurut pendapat saya cukup berhasil. Hari ini para peserta aksi 212 mengadakan reuni untuk pertama kalinya di MONAS tepat setelah setahun aksi 212 tahun 2016 atau dikenal sebagai aksi bela islam terjadi. Seperti kita tahu aksi 212 yang terjadi pada tanggal 2 Desember 2016 dimulai dari keseleo lidahnya seorang Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, Gubernur DKI Jakarta, yang kemudian dianggap sebagai penistaan agama terutama penghinaan terhadap umat Islam akan penggunaan Surat Al Maidah ayat 51.

Gerakan 212 telah menyatukan umat muslim di Indonesia, dari berbagai golongan, aliran serta daerah. Aksi yang diklaim dihadiri jutaan orang telah mengobarkan semangat membela agama dan sejenak meninggalkan friksi yang terjadi antara berbagai aliran islam di negeri ini. Pun yang terjadi di reuni aksi 212 kali ini, ratusan ribu orang (ada yang mengklaim jutaan ada pula puluhan ribu) menghadiri kegiatan yang diisi tausiyah dan orasi dari berbagai tokoh, alim ulama, kyai, pejabat negara.

 Reuni aksi ini juga dihadiri oleh para politisi lintas partai dan cukup menarik bahwa mereka bisa rukun dan sepanggung, seperti misal Fahri Hamzah (Politisi PKS yang dipecat dari PKS) dan Sohibul Iman (Presiden PKS) yang jelas-jelas berseteru akibat pemecatan Fahri oleh PKS.

Komplek perumahan saya juga memberangkatkan 2 bus secara swadaya untuk mengikuti reuni aksi 212. Mereka yang berangkat ada yang merupakan anggota ormas Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, salafi, pengurus masjid, orang umum dan lain-lain. Aliran mazhab yang berbeda tidak menghalangi mereka untuk bercampur jadi satu meramaikan aksi yang lebih tepat disebut sebagai aksi persaudaraan umat islam. Nampaknya umat menemukan gairah baru untuk mengangkat persaudaraan muslim dan mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan nilai-nilai yang lebih islami.

Aksi 212 sebagai sebuah gerakan kebangkitan umat saya rasa telah cukup berhasil secara ekonomi juga, mengingat apa yang kemudian para alumninya perbuat dengan pembukaan toko minimarket 212, atau dikenal dengan 212 Mart yang dikelola oleh koperasi syariah 212 yang anggotanya adalah jamaah muslim sekitar toko.

 Hal ini tentu menggembirakan sebab potensi kaum muslim sangat besar, jadi sangat baik apabila kemudian umat masuk sebagai pemain, bukan lagi hanya sebagai penonton, konsumen sekaligus pasar. Apalagi 212 mart ini dikelola oleh koperasi syariah, sehingga keuntungan yang ada akan dinikmati oleh anggotanya.

Baik aksi 212 jilid satu maupun reuni 212 pada hari ini semuanya berlangsung aman dan damai serta tidak menimbulkan masalah keamanan maupun kebersihan. Sebelumnya banyak orang yang pesimistis bahwa kedua aksi akan rusuh namun fakta berkata sebaliknya. Umat muslim telah mempertontonkan sebuah aksi yang santun, damai dan menentramkan. Saat reuni 212 akan diselenggarakan, banyak pula orang yang menanyakan urgensinya, apa tujuannya, bahkan ada yang menuduhnya sebagai bagian dari politik praktis. Banyak yang mengkritik dan berkata nyinyir, namun reuni aksi 212 tetap berlanjut dan dihadiri umat dengan penuh semangat.

Nampaknya sebagai gerakan moral, ekonomi, dan politik, aksi 212 tetap perlu dilanjutkan semangat dan konsolidasinya. Aksi 212 sebaiknya tetap menjadi gerakan moral, ekonomi dan politik non partai. Mengapa saya bilang gerakan politik non partai, karena ternyata fakta di Indonesia bahwa partai Islam tidak cukup mendapat tempat dan pemilih. 

Tidak ada partai yang mengklaim partai Islam seperti PKS, PKB, PAN, PPP yang pernah mendapat perolehan suara lebih dari 10% dalam pemilihan umum. Jadi ketika aksi 212 menjadi gerakan politik partai saya kira nasibnya sama dengan partai-partai tersebut. Mengkotakkan dalam bingkai partai tertentu menjadikan gerakan 212 menjadi politik yang ekslusif, bukan inklusif lagi buat semua umat muslim berbagai aliran, dari kanan radikal sampai kiri ekstrim.

Spirit 212 yang begitu menggelora pada awalnya adalah karena adanya "common enemy" atau musuh bersama yaitu seorang Ahok dan rasa ketidakadilan karena seolah-olah pemerintah melindungi Ahok. Hari ini Ahok sudah tidak menjadi musuh bersama karena dia sudah diganjar hukuman, tinggal rasa ketidakadilan yang masih dirasakan umat ketika umat banyak disudutkan dengan berbagai macam kejadian. 

Bagaimana kemudian kebhinekaan, pancasila, dan NKRI digunakan untuk memberi demarkasi dan label terhadap orang-orang dan organisasi yang kritis, militan, dan kurang harmonis dengan penguasa. Gerakan 212 perlu dikoordinasi setiap saat, dan tetap menjadi suatu gerakan non parpol yang bisa mewadahi umat dari NU, Muhammadiyah, PERSIS, dll serta dari berbagai parpol.

Gerakan 212 harus selalu bisa membuat musuh bersama sebagai sesuatu yang menyatukan umat untuk berjuang melenyapkannya. Setelah sebelumnya musuh bersamanya adalah orang (Ahok), ke depan gerakan 212 bisa mengambil ketidakadilan ekonomi umat, atau tema-tema lainnya yang sangat layak diangkat sebagai musuh bersama umat. Percayalah, tanpa musuh bersama gerakan ini tidak akan awet, karena tidak ada sesuatu yang menjadi pembakar semangat. 

Saya masih ingat ketika demonstrasi besar-besaran tahun 1998 yang melahirkan masa reformasi, saat itu para demonstran dan semua elemen gerakan menjadikan Presiden Soeharto sebagai musuh bersama yang harus digulingkan. Perjuangan reformasi saat itu tanpa ada komando yang terpusat, namun dengan adanya musuh bersama semua merasa menjadi satu dalam perjuangan. 

Namun coba lihat para aktivis 98, setelah orde baru tumbang menjadikan gerakan mereka tidak mempunyai musuh bersama lagi dan ramai-ramai mereka masuk partai politik yang akhirnya terjebak dengan agenda partainya masing-masing dan menjauhkan dari cita-cita reformasi yang dulu diperjuangkan.

Anggota NU berjumlah 90 juta orang, Muhammadiyah 50 juta orang, tapi tidak pernah ada orang Muhammadiyah atau NU yang maju jadi Capres/Cawapres bisa memenangkan pemilihan presiden. Baik itu Amien Rais, Hazim Muzadi, Sholahudin Wahid, semuanya berlaga dalam pemilihan presiden bersama pasangannya masing-masing namun tidak ada yang menang. Padahal kalau semua orang NU, Muhammadiyah mencoblos mereka, paling tidak salah satu dari mereka akan jadi pemenangnya. 

Faktanya adalah rakyat tidak menganggap mereka sebagai perwakilan dari ormas NU maupun Muhammadiyah, namun dari partai pengusungnya. Makannya dalam hal ini Partai politik yang berbasis agama tidak bisa mengklaim bahwa ormas keagamaan di belakang mereka akan solid mendukung.

Berbeda dengan lainnya, gerakan 212 dimana banyak warga NU, Muhammadiyah , ormas islam lainnya, dan orang politik lintas partai terlibat dan secara solid mendukung gerakan ini. Mereka tahu bahwa wadah organisasi formal mereka baik di ormas masupun parpol tidak bisa menyalurkan semua aspirasi mereka. 

Hal ini perlu tetap dipelihara oleh gerakan aksi 212 sehingga gerakan ini bisa menjadi penyalur aspirasi umat yang tidak tertampung di ormas atau parpol masing-masing sekaligus sebagi gerakan politik non parpol yang menjadi sparing partner pemerintah dan parpol untuk isu-isu yang krusial bagi umat dalam rangka perjuangan aspirasi umat. Jangan biarkan gerakan 212 tersandera kepentingan politik dengan menjadi parpol dan menurunkan derajatnya sehingga bukan menjadi tempat berkumpulnya umat islam dari berbagai golongan.

Suatu saat bisa saja gerakan 212 terlibat politik dengan memberikan restunya pada pemimpin dalam hal ini calon presiden yang memang benar-benar berkomitmen memperjuangkan kepentingan umat muslim, kalau perlu si Calon disumpah akan komitmennya, namun dalam bingkai tetap sebagi gerakan politik non parpol. 

Memang tidak mudah untuk mengorganisir gerakan aksi 212 tanpa suatu wadah formal, namun komunikasi yang terus terjalin diantara alumninya membuktikan bahwa mereka bisa. Suatu saat gerakan 212 akan menjadi gerakan moral, ekonomi, dan politik yang diperhitungkan di negara ini apabila para aktivisnya tetap istiqomah memperjuangkan aspirasi umat seraya selalu menciptakan musuh bersama umat tanpa pernah secara instan menjadi partai politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun