Gerakan 212 harus selalu bisa membuat musuh bersama sebagai sesuatu yang menyatukan umat untuk berjuang melenyapkannya. Setelah sebelumnya musuh bersamanya adalah orang (Ahok), ke depan gerakan 212 bisa mengambil ketidakadilan ekonomi umat, atau tema-tema lainnya yang sangat layak diangkat sebagai musuh bersama umat. Percayalah, tanpa musuh bersama gerakan ini tidak akan awet, karena tidak ada sesuatu yang menjadi pembakar semangat.Â
Saya masih ingat ketika demonstrasi besar-besaran tahun 1998 yang melahirkan masa reformasi, saat itu para demonstran dan semua elemen gerakan menjadikan Presiden Soeharto sebagai musuh bersama yang harus digulingkan. Perjuangan reformasi saat itu tanpa ada komando yang terpusat, namun dengan adanya musuh bersama semua merasa menjadi satu dalam perjuangan.Â
Namun coba lihat para aktivis 98, setelah orde baru tumbang menjadikan gerakan mereka tidak mempunyai musuh bersama lagi dan ramai-ramai mereka masuk partai politik yang akhirnya terjebak dengan agenda partainya masing-masing dan menjauhkan dari cita-cita reformasi yang dulu diperjuangkan.
Anggota NU berjumlah 90 juta orang, Muhammadiyah 50 juta orang, tapi tidak pernah ada orang Muhammadiyah atau NU yang maju jadi Capres/Cawapres bisa memenangkan pemilihan presiden. Baik itu Amien Rais, Hazim Muzadi, Sholahudin Wahid, semuanya berlaga dalam pemilihan presiden bersama pasangannya masing-masing namun tidak ada yang menang. Padahal kalau semua orang NU, Muhammadiyah mencoblos mereka, paling tidak salah satu dari mereka akan jadi pemenangnya.Â
Faktanya adalah rakyat tidak menganggap mereka sebagai perwakilan dari ormas NU maupun Muhammadiyah, namun dari partai pengusungnya. Makannya dalam hal ini Partai politik yang berbasis agama tidak bisa mengklaim bahwa ormas keagamaan di belakang mereka akan solid mendukung.
Berbeda dengan lainnya, gerakan 212 dimana banyak warga NU, Muhammadiyah , ormas islam lainnya, dan orang politik lintas partai terlibat dan secara solid mendukung gerakan ini. Mereka tahu bahwa wadah organisasi formal mereka baik di ormas masupun parpol tidak bisa menyalurkan semua aspirasi mereka.Â
Hal ini perlu tetap dipelihara oleh gerakan aksi 212 sehingga gerakan ini bisa menjadi penyalur aspirasi umat yang tidak tertampung di ormas atau parpol masing-masing sekaligus sebagi gerakan politik non parpol yang menjadi sparing partner pemerintah dan parpol untuk isu-isu yang krusial bagi umat dalam rangka perjuangan aspirasi umat. Jangan biarkan gerakan 212 tersandera kepentingan politik dengan menjadi parpol dan menurunkan derajatnya sehingga bukan menjadi tempat berkumpulnya umat islam dari berbagai golongan.
Suatu saat bisa saja gerakan 212 terlibat politik dengan memberikan restunya pada pemimpin dalam hal ini calon presiden yang memang benar-benar berkomitmen memperjuangkan kepentingan umat muslim, kalau perlu si Calon disumpah akan komitmennya, namun dalam bingkai tetap sebagi gerakan politik non parpol.Â
Memang tidak mudah untuk mengorganisir gerakan aksi 212 tanpa suatu wadah formal, namun komunikasi yang terus terjalin diantara alumninya membuktikan bahwa mereka bisa. Suatu saat gerakan 212 akan menjadi gerakan moral, ekonomi, dan politik yang diperhitungkan di negara ini apabila para aktivisnya tetap istiqomah memperjuangkan aspirasi umat seraya selalu menciptakan musuh bersama umat tanpa pernah secara instan menjadi partai politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H