Akhir-akhir ini dunia maya tanah air kembali memanas setelah Kementerian Keuangan menerbitkan PMK No.210/PMK.010/2018 tentang perlakuan perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik.
Isu perpajakan memang terbilang sensitif, karena menyangkut uang yang harus disetorkan kepada pemerintah.
Kalau masalah uang, orang memang cepat panas. Selama ini, masyarakat merasa bebas bertransaksi jual-beli secara online tanpa harus memikirkan pajaknya.
Bagaimana tidak, hanya dengan membuat akun secara gratis di marketplace tertentu seseorang langsung dapat menjajakan barang dagangannya dan bertransaksi dengan bebas.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dalam waktu dekat bakal memungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Sehingga, seluruh konsumen yang melakukan aktifitas pembeliaan barang/jasa secara digital harus bayar pajak konsumsi sebesar 10% dari harga beli.
Hal tersebut berlandaskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19). Beleid ini mengatur PPN dan pajak penghasilan (PPh) dalam PMSE.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) John Hutagaol menyampaikan PPN sangat relevan untuk ditarik saat ini, sebab beberapa negara sudah lebih dahulu seperti Australia, Inggris, dan Prancis.
“Karena dapat memberikan tambahan penerimaan pajak yang besar dan tidak menimbulkan isu double taxation karena pengenaan pajaknya berdasarkan destination principle,”kata john seperti dilansir Kontan.co.id, Minggu (26/4/2020).
Sebagai gambaran, Kemenkeu mengkaji ada tujuh bentuk dan nilai transaksi barang digital.
- Pertama, sistem perangkat lunak dan aplikasi dengan nilai transaksi mencapai Rp 14,06 triliun.
- Kedua, game, video, dan musik mencapai Rp 880 miliar.
- Ketiga, penjualan film sebesar Rp 7,65 triliun.
- Keempat, perangkat lunak khusus seperti untuk perangkat mesin dan disain mencapai Rp 1,77 triliun.
- Kelima, perangkat lunak telpon genggam sebesar Rp 44,7 triliun.
- Keenam, hak siaran atau layanan tv berlangganan senilai Rp 16,49 triliun.
- Ketujuh, penerimaan dari media sosial dan layanan ober the top (OTT) sebanyak Rp 17,07 triliun.
Sehingga, dapat dihitung total nilai transaksi barang digital mencapai Rp 104,4 triliun, angka ini merupakan gambaran para tahun 2017. sekaligus uang potensi penerimaan PPN mencapai Rp 10,4 triliun dengan menggunakan tarif pajak konsumen sebesar 10% yang berlaku saat ini.
Di sisi lain, untuk PPh dalam PMSE, pemerintah masih mencari cara untuk menarik pajak korporasi perusahaan digital luar negeri, sambil menunggu konsensus global. Sebab, John bilang pengenaan pajak atas penghasilan dari kegiatan digital ekonomi dapat menimbulkan pengenaan pajak berganda.
Walaupun jadwal akhir konsensus internasional u sudah semakin dekat, nampaknya bisa diundur. Sebab, pandemi Covid-19 yang mengakibatkan beberapa agenda pertemuan terpaksa ada yang dibatalkan dan sebahagian lagi ditunda termasuk kemungkinan jadwal IF pada awal Juli 2020 di Berlin.
“Masih ada beberapa bulan ke depan dan semua anggota yurisdiksi IF menghormati long term solution untuk menyelesaikan BEPS Action 1. Berdasarkan hal-hal di atas, penerapan PPN atas PMSE luar negeri akan lebih diprioritaskan terlebih dahulu,” kata John.
John menyampaikan untuk menindaklanjuti Perppu Nomor 1/ 2020, pemerintah bakal buat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk aturan turunan PPN dalam PMSE. Sementara, untuk PPh di PMSE dan Pajak Transaksi Elektronik (PTE) diperlukan Peraturan Pemerintah (PP), sambil menunggu konsensus the Organization on Ekonomic for Co-opration and Development (OECD).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H