Mohon tunggu...
M Firmansyah
M Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Akhir Tahun 2020: Belajar dari Pandemi Covid-19, Kembali Menjadi Manusia

24 Desember 2020   10:55 Diperbarui: 28 Desember 2020   08:40 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuhan dengan mudahnya meninggikan untuk kemudian di hempaskan, cuma manusia tak mau belajar, setiap yang ditabur kelak akan dituai, menabur caci maki menuai laporan ke polisi, kesombongan seorang tokoh saat dikultuskan dengan berjubelnya mobilisasi massa hanya semacam fatamorgana, seakan terlihat besar, menimbulkan sikap jumawa setelah lewat waktunya, lunturlah kekuatannya, arogansi membuahkan antipati. 

Cerita Persekusi 

Ini cerita tentang persekusi yang ku alami di tahun ini, siang itu kakak ku menunjukan WA group yang aku tak ada di dalamnya, ia tunjukan tangkapan layar Facebook ku yang berisi kritisi ku tentang ulama yang gemar mencaci, di FB aku memang sering protes dengan keras kondisi umat islam yang semakin intoleran belakangan ini, aku menyebutnya preman bersurban yang menjadi alasan mereka tersinggung, padahal istilah tersebut sudah ada jauh sebelumnya, lalu kakak ku bilang mereka akan mencariku jika ku tak berhenti mengkritik, kupikir itu cuma baper saja, tak mungkinlah mereka akan berani seperti itu, 

rupanya di WA grup itu banyak sekali para pendukung fanatik ulama yang bersangkutan, yang ku heran grup WA itu grup alumni sekolah SD ku, hujatan dan cacian kepada ku di grup itu sangat mencemaskan, aku seperti buronan yang dicari polisi padahal aku cuma beropini kritis kepada gerakan ormas islam yang kerap bersikap intoleransi hanya saja  karena mayoritas. Mereka mengatasnamakan Forum jawara yang siap jaga ulama, 

ku pikir ulama kan banyak sekali kebetulan saja ulama yang ku ikuti bukan ulama yang  mereka kultuskan, benar saja, sehabis isya mereka datang, mereka bertemu aku dan menanyakan maksud postinganku, kukira aku akan di keroyok seperti cerita persekusi yang ada di medsos, ternyata tidak se "ngeri" itu, sebenarnya aku mau saja jelaskan maksud tulisanku di postingan itu, tapi abang-abangku dengan bahasa tubuh mereka seakan ingin mengatakan kepadaku "sudahlah jangan diperpanjang, hal itu gak ada manfaatnya, lagi pula ibu sedang sakit dan ia tak perlu tau hal ini" 

itulah yang kutangkap dari mereka meski mereka tidak mengatakan nya, maka saat diminta buat surat pernyataan dengan materai 6000 aku legowo saja sambil senyum simpul, awalnya redaksi isi pernyataan itu kubuat dengan singkat, karena kupikir itu kan cuma opini pribadi lalu mengapa dan  kenapa aku harus dipersekusi seperti itu, tak perlu ditanya lagi, tapi setelah kububuhkan materai dan kutanda tangani, sepertinya mereka tidak "sreg" dengan isi pernyataan tersebut, akhirnya kuganti lagi dengan redaksi yang mereka inginkan, aku sempat tertawa kecil, isi pernyataan versi mereka, 

aku dibilang menyakiti umat islam, aku mau tertawa tapi kok rasanya getir, padahal aku kritisi ulama penebar fitnah dan cacimaki di setiap ceramahnya dan jangan tertipu dengan preman bersurban, buatku itu aneh, apalagi yang kudengar sosmedku dipantau jika aku mengkritisi kelompok tertentu, itu terlihat dari percakapan WA grup mereka, maka itu tiga minggu aku pause FB ku, sosmedku cuma berisi hal-hal datar yang tidak menantang daya critical thingking, saat idola yang mereka kultuska ditahan polisi atas kasus-kasusnya, aku bisa sedikit bernafas, aku tidak merasa paling benar, tapi sepertinya tindakan persekusi kalian kepadaku keliru, karena kita sesama muslim wajib mengingatkan kebaikan, kebenaran dan kesabaran, tapi sudahlah, yang lalu biarlah berlalu, tantangan kedepan adalah kita eratkan ukhuwah islamiyah, wathoniyah dan basyariyah, perbedaan itu hal biasa, kita memilih demokrasi karena kita sadar perbedaan itu rahmat bukan laknat, semoga kejadian ini tak terjadi lagi di kemudian hari. 

Pelajaran dari pandemik Covid19. 

Manusia-manusia robot yang hanya bekerja dan tak punya waktu melihat kanan kiri untuk sekedar ber empati dipaksa untuk reset sejenak, merenungi pandemik ini, kita semua belajar bahwa setiap perubahan harus dihadapi dengan sigap, pendidikan jarak jauh dan bekerja dari rumah adalah budaya baru yang mau tak mau atau suka tak suka harus dijalankan, bisa jadi ketergantungan pada internet dan segala hal serba digital di hari kemudian menjadi kebutuhan utama, disamping itu sikap menolong dan berdonasi adalah upaya gotong royong kita semua agar kita bersama-sama dapat melalui cobaan ini, 

di awal pandemik aku menjual barang berharga yang kumiliki untuk beli beras yang kan disalurkan ke orang-orang yang membutuhkan,karena diawal pandemik bansos memang belum datang, aku pun belajar dari kedermawanan ibuku yang ikhlas menjual mobilnya karena ia mendengar tetangganya yang memiliki pesantren sedang membangun dan pembangunan nya terhenti karena dampak pandemik, ia relakan itu karena menurutnya mobil yang ia miliki sudah tak dibutuhkan lagi, berkah dari mobil tersebut adalah menolong orang yang akan ke rumah sakit, mengantar orang umroh, melamar anak orang sampai walimah dengan lancar, hingga berguna buat orang-orang tua yang meminjamnya untuk sekedar hadir di acara wisuda anak mereka, kini tibalah mobil itu dijual untuk investasi akhirat ibuku, sungguh itu pelajaran yang inspiratif, "jangan sedih dengan yang hilang dan jangan  bangga dengan yg di dapat, toh semua itu akan sirna dan tak abadi, keren banget ibuku ini, memang benar saja, di era disrupsi ini rasanya semua cepat sekali berubah dan seakan tak ada yang kekal kecuali perubahan itu sendiri, nikmati saja selagi masih bisa, dan proses menjadi manusia yang tidak tergantung apapun ternyata telah mengembalikan kita kembali benar-benar menjadi manusia. 

Janganlah menuhankan manusia, karena manhsia tak sempurna, di era pandemik ini, kita diajari nilai-nilai baru dan perspektif baru dalam ibadah, lihatlah tahun ini ibadah haji saja di stop padahal harapan orang untuk berhaji adalah sesuatu yang telah di idamkan selama bertahun-tahun,  oiya di era pandemik sempat viral puisi renungan tentang bubarnya agama, puisi itu bukan karya Gus mus sastrawan nyentrik yang puisinya menjadi Bom di isi kepala kaum intoleran dan fanatik sempit segelintir muslim. Berikut puisinya :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun