Abdul Haris Nasution adalah seorang tokoh yang sangat penting baik di era orde lama maupun orde baru. A.H. Nasution memainkan peran penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Ia berasal dari keluarga non-militer dan tumbuh menjadi pemimpin militer yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda. Dalam karirnya yang cemerlang, dia mengembangkan gagasan strategis "Dwifungsi ABRI" dan menduduki jabatan penting di militer. Perannya yang signifikan ditunjukkan dengan peranannya dalam menghadapi peristiwa G30S/PKI, mendukung peralihan kekuasaan melalui Supersemar, dan keputusannya untuk tidak berpartisipasi dalam jabatan presiden. Meskipun Nasution kehilangan otoritas, pengaruhnya masih terlihat dalam sejarah politik dan militer Indonesia.
Banyak orang melihat Nasution sebagai contoh pemimpin. Karena dia berhasil memimpin TNI AD dengan baik, dia menjadi bagian penting dari perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Perjalanan militer Nasution, dari awalnya sebagai seorang guru hingga panglima besar, menandai peran pentingnya dalam membangun pertahanan dan keamanan negara. Peran Nasution melebihi perjuangan kemerdekaan. Kehadirannya masih sangat penting di era Orde Baru. Nasution adalah salah satu jenderal yang berhasil selamat dari penculikan karena terlibat dalam peristiwa G30S/PKI. Perbedaan pendekatan dengan Presiden Soekarno dalam menanggapi peristiwa tersebut menandai puncak pertentangan di antara keduanya.
Di saat momen penting itu, Nasution mengambil langkah strategis untuk menumpas G30S/PKI, menunjukkan komitmennya untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara. Kiprahnya mengubah politik dan masyarakat Indonesia pada masa itu
Gerakan 30 September (G30S) adalah kudeta yang terjadi selama satu malam pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965, yang mengakibatkan kematian enam jenderal dan satu perwira pertama militer Indonesia. Jenazah mereka dimasukkan ke dalam lubang sumur tua di area Lubang Buaya, Jakarta Timur. Peristiwa ini disebut dengan berbagai cara: Presiden Soekarno menyebutnya GESTOK (Gerakan Satu Oktober), Presiden Soeharto menyebutnya GESTAPU (Gerakan September Tiga Puluh), dan pada Orde Baru, Presiden Soeharto mengubahnya menjadi G30S/PKI (Gerakan 30 September PKI) karena tudingan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Yogyakarta dan Jakarta memiliki korban kekejaman tragedi ini. Katamso Darmokusumo dan Sugiyono Mangunwiyoto adalah salah satu korban kejahatan tragedi ini di Yogyakarta.
Terlepas dari itu semua, Nasution mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa G30S/PKI. Berikut adalah beberapa pengaruh Nasution terhadap penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI):
Kepemimpinan Militer
Menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Nasution memainkan peran penting dalam mengembangkan dan memimpin strategi militer untuk menumpas PKI. Di bawah kepemimpinannya, dia membantu mengatur operasi militer yang bertujuan untuk menangkap dan menghancurkan anggota PKI yang diduga terlibat dalam kudeta.
Pengaruh dalam keputusan politik
Sebagai seorang jenderal yang dihormati, Nasution sangat memengaruhi keputusan politik yang dibuat pada saat itu. Ia mendukung Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno dan melakukan tindakan keras terhadap PKI setelah peristiwa G-30 S-PKI. Keputusan untuk membubarkan PKI dan larangan ideologi komunis di Indonesia didukung oleh Nasution, yang meletakkan dasar untuk tindakan keras terhadap mereka yang mendukung PKI.
Peran dalam operasi militer
Nasution terlibat langsung dalam berbagai operasi militer yang bertujuan untuk menghancurkan PKI. Meskipun ia sendiri menjadi korban kudeta G-30 S-PKI, dengan putrinya Ade Irma Suryani Nasution menjadi salah satu korbannya, Nasution tetap berperan aktif dalam operasi-operasi berikutnya yang bertujuan untuk menghancurkan PKI di berbagai wilayah di Indonesia.
Pembentukan narasi anti komunis
Salah satu tokoh penting yang membantu membangun cerita anti-komunis di Indonesia adalah Nasution. Melalui tindakan politik, tulisan, dan pidatonya, ia berkontribusi pada pemahaman bahwa PKI merupakan ancaman besar terhadap negara dan Pancasila. Pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto memperkuat cerita ini dan menjadi dasar untuk tindakan represif terhadap mereka yang diduga memiliki hubungan dengan Pusat Komunitas Indonesia.
Pengaruh dalam pendidikan dan propaganda
Nasution mendukung program pendidikan dan propaganda yang bertujuan untuk menanamkan pemikiran anti-komunis di kalangan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat narasi anti-komunis. Ini termasuk mendukung film, buku, dan program pendidikan yang menggambarkan Perang Kemerdekaan sebagai pengkhianat bangsa.
 Peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G-30 S-PKI) adalah salah satu peristiwa terburuk dalam sejarah Indonesia yang masih menimbulkan banyak pertanyaan dan perdebatan. Sebagai peristiwa yang melibatkan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat, G-30 S-PKI sering dipandang dari berbagai sudut pandang, termasuk politik, militer, dan sosiologis. Mengunjungi lokasi bersejarah seperti Monumen Pancasila Sakti dan melakukan penelitian mendalam dapat membantu Anda mendapatkan pemahaman yang lebih luas tentang peristiwa tersebut. Kita dapat menganalisis cerita G-30 S-PKI dari sudut pandang sosiologi komunikasi bagaimana komunikasi berkontribusi pada pembentukan, penyebaran, dan pengaruh cerita tersebut. Berikut adalah analisis seputar G30S/PKI berdasarkan perspektif Sosiologi Komunikasi:
Komunikasi sebagai alat propaganda
Pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto menggunakan media massa untuk membuat cerita yang menyudutkan PKI. Mereka berhasil menanamkan versi resmi peristiwa tersebut dalam benak masyarakat melalui film tahunan "Pengkhianatan G30S/PKI". Propaganda dapat digunakan oleh media massa untuk mempengaruhi persepsi publik dan membentuk opini masyarakat, menurut analisis sosiologi komunikasi.
Pengaruh media dalam pembentukan identitas kolektif
Media mengubah perspektif individu dan identitas masyarakat. Identitas sebagai negara anti-komunis dan pro-Pancasila ditekankan dalam G-30 S-PKI melalui berbagai kanal komunikasi, termasuk pendidikan formal. Ini sesuai dengan teori sosiologi komunikasi yang mengatakan bahwa media sangat memengaruhi identitas sosial dan budaya.
Dinamika komunikasi dalam konflik
Peristiwa G-30 S-PKI juga menunjukkan bagaimana dinamika komunikasi dapat menyebabkan konflik menjadi lebih buruk. Informasi yang simpang siur dan kurangnya komunikasi yang jelas antara pemerintah dan masyarakat menimbulkan ketakutan dan ketidakpercayaan. Di sini, teori spiral keheningan dari sosiologi komunikasi dapat diterapkan: orang yang tidak setuju dengan narasi dominan memilih untuk tidak berbicara, memperkuat narasi yang dominan.
Â
Pandangan Pribadi
Peristiwa G-30 S-PKI memberikan pelajaran tentang kekuatan komunikasi dalam membentuk persepsi dan identitas melalui kunjungan lapangan dan penelitian mendalam. Mereka juga memberikan pelajaran tentang sejarah yang hitam. Sosiologi komunikasi membantu kita memahami bahwa setiap cerita yang disebarkan melalui media massa memiliki tujuan dan dampak yang luas terhadap masyarakat. Setelah peristiwa ini, kita menjadi lebih cerdas dalam mengambil informasi dan selalu mencari kebenaran dari berbagai sumber.
Jika dilihat dari sudut pandang sosiologi komunikasi, peristiwa G-30 S-PKI menunjukkan cara komunikasi dapat membentuk narasi, memengaruhi pandangan publik, dan membentuk identitas kolektif. Narasi resmi yang diciptakan setelah peristiwa ini telah membentuk pandangan masyarakat selama bertahun-tahun, menunjukkan betapa pentingnya komunikasi dalam sejarah sosial dan politik. Sebagai generasi yang hidup di era informasi, kita harus terus mencari kebenaran dan memahami sejarah dari berbagai sudut pandang agar kita dapat membangun masyarakat yang lebih kritis dan berwawasan luas. Melalui kepemimpinan militer, kekuasaan politik, keterlibatan dalam operasi militer, penciptaan cerita anti-komunis, dan dukungan untuk program pendidikan dan propaganda, Abdul Haris Nasution memainkan peran penting dalam penumpasan PKI di Indonesia. Perannya dan pengaruhnya berkontribusi pada pembentukan tanggapan Indonesia terhadap peristiwa G-30 S-PKI dan dampak mereka terhadap masyarakat dan politik Indonesia selama era Orde Baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H