Bila tindak pidana Pasal 29 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jo Pasal 45B UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dirumuskan dalam satu naskah, bunyinya sebagai berikut:
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)".
Apabila rumusan tersebut dirinci, terdiri dari unsur-unsur berikut ini:
- Kesalahan: dengan sengaja;
- Melawan hukum: tanpa hak;
- Perbuatan:mengirimkan;
- Objek: Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Yang dicetak miring merupakan unsur formil tindak pidana.
Dalam hubungan unsur sengaja dengan unsur-unsur lainnya dalam pasal ini, secara singkat sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan tindak pidana (yang memuat semua unsur pasal) tersebut.
Tindak pidana merupakan kesatuan (kompleksitas) dari sejumlah unsur-unsur, dan semua unsur-unsur itu diketahui si pembuat.
Dengan pengetahuan itu si pembuat berbuat.
Oleh karena itu semua unsur-unsur itu juga dikehendakinya.
Tidaklah mungkin seseorang berbuat terhadap hal yang sebelumnya tidak diketahuinya.
Demikian juga terhadap sifat melawan hukumnya perbuatan.
Si pembuat menyadari bahwa perbuatan mengirimkan informasi elektronik yang isinya ancaman kekerasan itu adalah tidak dibenarkan, tercela atau melawan hukum.
Dari sudut ini, maka sifat melawan hukumnya adalah subjektif.
Keadaan tercelanya suatu perbuatan, yang keadaan itu harus disadari si pembuat.
Kesadaran terhadap sifat tercelanya perbuatan itulah yang dimaksud sifat melawan hukum subjektif (Adami Chazawi, 2015: 134).
Oleh karena dicantumkan dalam rumusan, maka kesadaran yang demikian haruslah dibuktikan oleh jaksa.
Bagaimana cara membuktikan unsur kesengajaan yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana?
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam usaha membuktikan unsur "dengan sengaja" (opzettelijk) yang dicantumkan dalam rumusan (Adami Chazawi, 2015: 13):
- Keterangan di dalam Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda.
- Keadaan jiwa si pembuat ketika melakukan perbuatan.
- Semua keadaan objektif ketika perbuatan dilakukan.
Tiga pedoman dalam hal membuktikan unsur sengaja tersebut, hendaknya digunakan serentak.
Pertimbangan hukum tentang tiga pedoman tersebut dimulai dalam requisitoir jaksa.
Bila cara pembuktian mengenai unsur sengaja oleh jaksa tersebut baik dan tepat, tentu saja bisa diambil alih ke dalam pertimbangan hukum putusan oleh majelis hakim (Adami Chazawi, 2015: 20).
Unsur melawan hukum ditulis dengan frasa "tanpa hak".
Mencantumkan unsur tanpa hak dirasa berlebihan.
Sebagaimana keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa, unsur melawan hukum baru dicantumkan apabila ada kekhawatirkan tentang adanya orang yang berhak dipidana karena perbuatan yang serupa.
Mengingat sifat melawan hukumnya perbuatan mengirimkan informasi elektronik (objektif) bukan terletak pada diri si pembuat, misalnya bukan pemilik dari sistem elektronik yang digunakannya.
Sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut justru terletak pada isinya informasi berupa ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang bersifat pribadi.
Maka tidak mungkin ada perbuatan serupa yang boleh dilakukan oleh seseorang yang berhak.
Perbuatan mengirimkan sesungguhnya include masuk dalam perbuatan mendistribusikan atau mentransmisikan ialah mengirimkan.
Mengirimkan adalah menyampaikan (mengantarkan dan sebagainya) sesuatu (objek) dengan perentaraan (KBBI, 2008: 703) yang in casu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Adami Chazawi, 2015: 135).
Perentaraan yang digunakan dalam hal menyampaikan informasi elektronik adalah sistem elektronik.
Menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 5 UU ITE:
"Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik".
Kata kekerasan dalam frasa ancaman kekerasan mengandung arti perbuatan (aktif atau fisik) orang dengan menggunakan kekuatan fisik yang besar/kuat, atau menggunakan kekuatan yang lebih dari biasanya (het aanwenden van kracht vanenige betekenis) (Satochid Kartanegara, tanpa tahun: 587).
Sementara pada ancaman kekerasan, kekuatan fisik yang besar tadi belum diwujudkan, namun akan diwujudkan/terwujud yang menyebabkan orang yang dituju merasa khawatir, cemas dan ketakutan.
Wujud nyata kekuatan fisik yang besar itu tidak dikehendaki oleh si penerima informasi.
Karena dapat menimbulkan penderitaan fisik.
Misalnya ancaman akan dibunuh atau akan di pukul.
Si penerima informasi sangat percaya bahwa wujud nyata akan diwujudkan.
Oleh karena itu menimbulkan tekanan psikis, seperti perasaan khawatir, takut, cemas kekerasan itu benar-akan terwujud/terjadi.
Perasaan-perasaan semacam itu sangat tidak mententramkan jiwa, suatu penderitaan batiniah.
Tekanan psikis semacam itu selalu dihindari oleh setiap orang (Adami Chazawi, 2015: 136).
Secara filosofi, disinilah letak sifat melawan hukumnya perbuatan dalam tindak pidana Pasal 29 UU ITE ini.
Sementara menakut-nakuti, mengandung pengertian yang lebih luas dari ancaman kekerasan.
Ancaman kekerasan juga bisa menimbulkan rasa takut, rasa khawatir.
Menakut-nakuti adalah berbuat sesuatu untuk menjadikan orang lain takut.
Meskipun ancaman kekerasan dapat menimbulkan orang lain yang dituju juga menjadi takut.
Namun rasa takut yang ditimbulkan oleh upaya menakut-nakuti, harus bukan oleh-oleh sebab ancaman kekerasan.
Harus dengan cara lain.
Sifat rasa takut oleh ancaman kekerasan merupakan rasa takut yang bersifat fisik.
Maksudnya akibat yang akan dialami adalah semata-mata terhadap fisik.
Misalnya luka fisik atau hilangnya nyawa dari fisik (kematian).
Namun rasa takut oleh perbuatan menakut-nakuti tidaklah bersifat fisik.
Misalnya takut akan dicerai, takut kehilangan pekerjaan, takut terbuka rahasianya, takut perkaranya diusut polisi, takut dihukum dan lain-lain.
Perasaan takut tersebut, tidak bersifat umum atau berlaku terhadap semua orang.
Alasannya adalah dalam rumusan tindak pidana Pasal 29 secara tegas dicantumkan frasa "yang ditujukan secara pribadi".
Oleh karena itu jaksa harus dapat membuktikan individu tertentu (identitasnya) yang dituju oleh pembuat.
Kesengajaan si pembuat harus ditujukan pada akibat rasa takut pribadi orang tertentu.
Ada pribadi orang yang dituju.
Apabila rasa takut yang dituju si pembuat untuk semua orang, bukan orang tertentu maka Pasal 29 tidak dapat diterapkan.
Meskipun perbuatan mengirim informasi elektronik terbukti, terdakwa harus dibebaskan.
Karena tindak pidana tidak terjadi, oleh sebab salah satu unsur tindak pidana tidak timbul/tidak terbukti (Adami Chazawi, 2015: 137).
DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adami. 2015. Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik: Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Malang: MNC Publishing.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. 4. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kartanegara, Satochid. tanpa tahun. Hukum Pidana Bagian II. Balai Lektur Mahasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H