Penjabaran secara lebih konkret terjadi di dalam bentuk kaidah-kaidah, dalam hal ini kaidah-kaidah hukum, yang mungkin berisi suruhan, larangan atau kebolehan.
Di dalam bidang hukum tata negara Indonesia, misalnya, terdapat kaidah-kaidah tersebut yang berisikan suruhan atau perintah untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, atau tidak melakukannya.
Di dalam kebanyakan kaidah hukum pidana tercantum larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, sedangkan di dalam bidang hukum perdata ada kaidah-kaidah yang berisikan kebolehan-kebolehan (Soerjono Soekanto, 2014: 6).
Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas, atau yang seharusnya.
Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian.
Demikianlah konkretisasi daripada penegakan hukum secara konsepsional.
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi (Wayne LaFavre 1964).
Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFavre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada di antara hukum dan moral (etika dalam arti sempit).
Atas dasar uraian tersebut dapatlah dikatakan, bahwa gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara "tritunggal" nilai, kaidah dan pola perilaku.
Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 2014: 7).
Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer.