Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih konkret (Soerjono Soekanto, 2014: 5).
Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk.
Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan tertentu.
Misalnya, ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketenteraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan ahli inovatisme, dan seterusnya.
Di dalam penegakan hukum, pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan; umpamanya, perlu penyerasian antara nilai ketertiban dengan nilai ketenteraman.
Sebab, nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai ketenteraman titik tolaknya adalah kebebasan.
Di dalam kehidupannya, maka manusia memerlukan keterikatan maupun kebebasan di dalam wujud yang serasi.
Apakah hal itu sudah cukup?
Pasangan nilai-nilai yang telah diserasikan tersebut, memerlukan penjabaran secara lebih konkret lagi, oleh karena nilai-nilai lazimnya bersifat abstrak.
Penjabaran secara lebih konkret terjadi di dalam bentuk kaidah-kaidah, dalam hal ini kaidah-kaidah hukum, yang mungkin berisi suruhan, larangan atau kebolehan.
Di dalam bidang hukum tata negara Indonesia, misalnya, terdapat kaidah-kaidah tersebut yang berisikan suruhan atau perintah untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, atau tidak melakukannya.
Di dalam kebanyakan kaidah hukum pidana tercantum larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, sedangkan di dalam bidang hukum perdata ada kaidah-kaidah yang berisikan kebolehan-kebolehan (Soerjono Soekanto, 2014: 6).
Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas, atau yang seharusnya.
Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian.
Demikianlah konkretisasi daripada penegakan hukum secara konsepsional.
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi (Wayne LaFavre 1964).
Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFavre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada di antara hukum dan moral (etika dalam arti sempit).
Atas dasar uraian tersebut dapatlah dikatakan, bahwa gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara "tritunggal" nilai, kaidah dan pola perilaku.
Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 2014: 7).
Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer.
Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.
Perlu dicatat, bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan apabila pelaksanaan perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut malahan mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 2014: 8):
- Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja.
- Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
- Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
- Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
- Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum (Soerjono Soekanto, 2014: 9).
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono. 2014. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Cet. 13. Jakarta: Rajawali Pers.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H