Penyebaran berita bohong dan penyesatan melalui internet diatur dalam Pasal 28 ayat (1) menentukan:
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik".
Dalam teks dari Pasal 28 ayat (1) ini sangat sempit yaitu hanya pada perbuatan penyebaran berita bohong dan penyesatan yang mengakibatkan kerugian konsumen.
Dalam hal ini terdapat beberapa celah hukum, di antaranya:
Pertama, pihak yang menjadi korban adalah konsumen dan yang menjadi pelaku adalah perusahaan produsennya.
Sementara di lain pihak perlu dipertanyakan apakah produsen juga dapat menjadi korban dari ulah konsumen?
Jika demikian terjadi penyebaran berita bohong dan penyesatan yang dilakukan oleh konsumen terhadap produsen melalui internet, maka tidak dapat dikenakan pasal ini.
Bahkan bisa jadi terjadi antarprodusen melakukan manufer-manufer untuk saling menjatuhkan perusahaan produsen saingannya dengan menyebarkan berita bohong dan penyesatan terhadap sesama produsen.
Maka dengan teks yang demikian perbuatan-perbuatan antarprodusen tersebut tidak dapat dijerat berdasarkan pasal ini.
Hanya saja jika aparat penegakan hukum berani melakukan terobosan hukum secara progresif.
Maka bisa jadi dilakukan upaya penemuan hukum pidana supaya tercipta keadilan hukum di balik kepastian hukum yang telah ada dan terbentuk.
Kedua, akibat dari perbuatannya adalah kerugian konsumen.
Hal ini terdapat pertanyaan jika tidak terdapat kerugian konsumen, maka tidak dapat dipidana dengan pasal ini, meskipun berita tersebut bohong dan menyesatkan.
Di sisi lain, jika dengan pemberitaan bohong dan menyesatkan itu malah menjadikan konsumen mendapatkan keuntungkan maka tidak dapat dipidana juga dengan pasal ini (Budi Suhariyanto, 2013: 175).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu dilakukan upaya-upaya hukum untuk menutupi celah-celah tersebut di antaranya upaya penemuan hukum oleh hakim dan upaya kriminalisasi dalam undang-undang cybercrime baru yang lebih bersifat umum dan komprehensif.
Jadi tidak hanya mengatur tindak pidana-tindak pidana yang terkait transaksi elektronik saja (Budi Suhariyanto, 2013: 176).
DAFTAR PUSTAKA
Suhariyanto, Budi. 2013. Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime): Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya. Jakarta: Rajawali Pers.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H