Pencoblosan pemilihan presiden (Pilpres) dan legislatif (Pileg) sudah usai.
Saat ini para petugas pemilu sedang melakukan penghitungan hasil suara, baik di PPS, PPK maupun KPU-KPUD.
Namun demikian, sejumlah lembaga survei sejak tiga hari lalu sudah mengeluarkan hasil hitung cepat (quick count), yang menyatakan pemenang sementara Pilpres maupun pemenang suara parpol untuk legislatif.
Di Indonesia metode quick count mulai dilakukan sejak pemilu 1997 oleh sebuah lembaha survei.
Namun quick count mulai terkenal ketika pemilihan presiden yang dilakukan pada tahun 2004 lalu.
Penghitungan cepat merupakan proses pencatatan hasil perolehan suara di ribuan TPS yang dipilih secara acak.
Sistem ini merupakan prediksi ilmiah hasil pemilu berdasarkan fakta, bukan berdasarkan opini.
Karena itu ia tidak sama dengan jajak pendapat, terhadap pemilih yang baru saja mencoblos atau yang biasa disebut exit poll.
Seperti biasanya, hasil hitung cepat ini memang paling dinanti semua orang, guna mengetahui secara awal dan cepat gambaran hasil pemilu.
Walaupun hasil hitung cepat itu bukan resmi dari KPU, namun tetap saja jadi gambaran masyarakat tentang siapa yang menjadi pemenang dalam pemilu.
Karena itu, sejak pagi media televisi berlomba menyatakan bahwa mereka menayangkan hitung cepat tersebut, walaupun hasil hitung cepat itu baru dilakukan di sore harinya.
Bagi kandidat yang hasil hitung cepatnya dinyatakan menang atau unggul, hasil quick count tentu menjadi penambah moral dan keyakinan akan kemenangan.
Sehingga rasa senang dan gembira muncul dalam dirinya, bahkan terkadang disertai dengan euforia berlebihan.
Tapi sebaliknya, bagi kandidat yang dinyatakan kalah suara, seringkali hasil penghitungan cepat itu dianggap menyesatkan dan diragukan kebenarannya.
Apalagi sampel dalam quick count itu sangat terbatas, sehingga dianggap tak bisa menjadi acuan siapa yang menjadi pemenang.
Bahkan, ada yang mengeluarkan hasil hitung rill berdasarkan C1, yang diklaim lebih akurat.
Akibatnya, sebagian masyarakat masih diliputi kebingungan, sejauhmana keberadaan metode-metode quick count tersebut, sehingga informasi dapat dilakukan secara cepat, tepat dan akurat.
Kehadiran sistem hitung ini tentu menjadi sebuah dilema.
Di satu sisi sebagai ilmu pengetahuan, hal itu tentu sebuah yang niscaya.
Sehingga membantu masyarakat mengetahui dengan cepat apa yang diinginkan, termasuk dalam hal pemilu.
Karena itu, menjadi semacam makhluk yang paling dicari setelah pencoblosan.
Namun di sisi lain, dia akan menjadi sumber keresahan masyarakat, karena akhirnya masing-masing kelompok akan saling klaim kemenangan.
Sehingga, dalam hal ini quick count justru menjadi makhluk yang paling dicaci, karena dianggap menyajikan hasil yang belum tentu akurat, bahkan diragukan kebenarannya.
Apalagi bila lembaga yang melakukan hitung cepat selama ini memang dikenal sebagai konsultan pasangan calon.
Semoga quick count ini tak menjadi kambing hitam yang memicu keresahan baru.
Karena itu KPU harus secepat mungkin menyelesaikan hasil hitung manual resmi.
Selain mencegah peluang kecurangan, juga memberikan kepastian kepada masyarakat akan siapa menjadi pemenang.
Semoga !!
Sumber Artikel: Koran Sriwijaya Post, Tanggal Terbit Sabtu, 20 April 2019, Halaman 2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H