Adanya persyaratan bahwa hakimlah yang akan menentukan apakah perbuatan pencemaran nama baik itu dapat dihukum atau tidak sebagaimana ditentukan Pasal 310 ayat (3) KUHP.
Juga merupakan "peluang" yang dapat dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum di tingkat kepolisian dan kejaksaan untuk menjerat seseorang yang dituduh telah melakukan pencemaran nama baik.
Karena, dengan diserahkannya penentuan ini sepenuhnya kepada hakim.
Polisi atau jaksa menjadi tidak memiliki beban untuk memproses seseorang telah melakukan pencemaran nama baik sekalipun tindakannya telah memenuhi unsur Pasal 310 ayat (3) KUHP.
Yaitu unsur-unsur yang tidak dapat menghukum tindakan seseorang dengan dalih melakukan "pencemaran nama baik".
Alhasil, akan semakin banyaklah orang dijerat dengan pasal pencemaran nama baik oleh polisi maupun jaksa.
Karena, pada akhirnya keputusan terpenuhi atau tidaknya unsur Pasal 310 ayat (3) KUHP itu terletak di tangan hakim.
Dan bicara keputusan hakim adalah bicara keputusan yang dinyatakan di pengadilan.
Sekalipun demikian, pendapat Prof. Dr. Muladi, S.H., Guru besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro rasanya patut dijadikan rujukan bagi aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, maupun hakim (www.hukumonline.com tanggal 30 Mei 2005).
Menurutnya, yang bisa melaporkan pencemaran nama baik seperti yang tercantum dalam Pasal 310 dan 311 KUHP adalah pihak yang diserang kehormatannya, direndahkan martabatnya, sehingga namanya menjadi tercela di depan umum.
Namun, tetap ada pembelaan bagi pihak yang dituduh melakukan pencemaran nama baik apabila menyampaikan suatu informasi ke publik.