Dengan berkembangnya jaringan internet dan telekomunikasi kini dikenal istilah "digital crimes" dan "cybercrime" (Puslitbang MA, 2004: 4).
Sistem teknologi informasi berupa internet telah dapat menggeser paradigma para ahli hukum terhadap definisi kejahatan komputer sebagaimana ditegaskan sebelumnya.
Bahwa pada awalnya para ahli hukum terfokus pada alat/perangkat keras yaitu komputer.
Namun dengan adanya perkembangan teknologi informasi berupa jaringan internet, maka fokus identifikasi terhadap definisi cybercrime lebih diperluas lagi.
Yaitu seluas aktivitas yang dapat dilakukan di dunia cyber/maya melalui sistem informasi yang digunakan.
Jadi tidak sekedar pada komponen hardwarenya saja kejahatan tersebut dimaknai dengan cybercrime, tetapi sudah dapat diperluas dalam lingkup dunia yang dijelajah oleh sistem teknologi informasi yang bersangkutan.
Sehingga akan lebih tepat jika pemaknaan dari cybercrime adalah kejahatan teknologi informasi, juga sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. sebagai kejahatan mayantara (Suhariyanto, 2013: 11).
Oleh karena itu menurut Dikdik M. Arief Mansur dan Elisataris Gultom (2005: 10) pada dasarnya cybercrime meliputi semua tindak pidana yang berkenaan dengan sistem informasi.
Sistem informasi (information system) itu sendiri, serta sistem komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian/pertukaran informasi kepada pihak lainnya (transmitter/originator to reciptient).
DAFTAR PUSTAKA
M. Arief, Didik Mansur dan Elisataris Gultom. (2005). Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung: Refika Aditama.