Untuk mengatakan "kalah" atau akan "tutup" tentu tidak mudah. Apalagi kalau lembaga pendidikan konvensional itu segera menyadari tantangan ini dan lantas merubah diri. Permainan pasti menjadi seru, bukan?
Lagipula, pemain startup di bidang edu-tech tadi, toh biasanya "hanya" menembak sasaran dan memposisikan diri sebagai brigdging (menjembatani) semata. Misal menjembatani siswa SMU ke perguruan tinggi, atau SD ke SMP dan SMU.
Atau, mereka menangkap ceruk pasar berupa peningkatan kualitas pelajaran siswa, bukan langsung "menghajar" lembaga utama seperti sekolah atau universitas. Membuat kursus bahasa asing atau bahkan membuat pasar bagi lembaga pendidikan ala marketplace itu. Cerdas sekali.
Tapi, itu prediksi awal saja. Moga itu yang terjadi. Bisa saja skenarionya berubah. Bisa gawat.
Nah, ketimbang pura-pura nyaman dengan ancaman di atas, mengapa tidak mempersiapkan diri bertindak menghadapinya? Misal, anggap saja edu-tech akan membuat lembaga pendidikan yang kita kelola tutup, dihentikan, atau diturunkan statusnya.
Atau, mungkin saja muncul beragam aturan yang membuat lembaga pendidikan di semua tingkatan "dipaksa" meng-upgrade diri secara cepat. Entah itu peraturan dari pemerintah yang mengharuskan ini itu, atau aturan stakeholder lainnya.
Nah, kalau kondisi ini yang terjadi, secara perlahan, lembaga pendidikan itu akan kehilangan eksistensi dan pengaruh. Nah, kalau ini berlangsung lama, bisa saja ia akan tutup. Masuk akal bukan?
Maka, sebelum kondisi memburuk, persiapkan saja antisipasi.
Lakukan langkah-langkah yang disarankan pakar disrupsi seperti:
1) Shifthing paradigm, merubah paradigma biasa ke paradigma disrupsi. Termasuk merubah pola bisnis. Kalau biasanya dari A-Z, mengapa tidak dari Z-A?
2) Men-delete produk. Nah, ini yang menyakitkan. Pasti tidak tega, bukan?