Apakah suatu bangsa atau negeri dapat hancur karena sebuah narasi? Jawabannya, SANGAT BISA...!!
Silahkan di googling. Saya kaget bahwa perang Vietnam dan Amerika 1964 yang dikenal kejam dan brutal itu justru dipicu oleh Hoaks.
Alkisah, Kementerian Pertahanan Amerika membuat narasi bahwa ada kapal perang Vietnam yang menyerang kapal Amerika. Sontak saja, Amerika marah. Padahal, isu ini hoaks semata. Kebohongan ini baru diakui oleh Amerika pada tahun 2005 lalu.Â
Sayangnya, perang terlanjur terjadi dan memakan korban lebih dari 3 juta orang. Seramnya...!! Â Film Rambo sampai dibuat beberapa versi berdasarkan perang ini.
Tak kalah dustanya. Sebelum itu, tepatnya tahun 1939, Hitler membuat narasi bahwa Polandia telah menembak tentara Jerman. Narasi  ini diterima publik, terlihat masuk akal. Jerman lalu menyerang Polandia dan perang Dunia II berkecamuk.
Padahal, justru tentara Jerman-lah yang melakukan penembakan itu. Bayangkan betapa kejinya.Â
Perang Dunia II telah kadung meluluhlantakkan berbagai negeri. Orang Yahudi memang menjadi korban terbanyak. Jutaan manusia tewas sia-sia. Diakhiri dengan luluh lantaknya Hiroshima dan Nagasaki. Oh manusia.
Pemimpin Jerman, di Tahun 2019, secara terbuka meminta maaf kepada Polandia atas tragedi yang menyedihkan ini. Termasuk Amerika meminta maaf kepada Jepang.
Look, Polandia dan berbagai negara di dunia, kehilangan jutaan penduduk karena narasi berbalut hoaks yang begitu apik.Â
Atau, pernahkah kita menyaksikan kesaksian seorang anak perempuan bernama Nasyirah al-Sabah, dengan berurai air mata, di depan kongres Amerika, menyatakan bahwa dengan mata kepalanya menyaksikan tentara Irak melakukan pembunuhan bayi di RS Kuwait ketika invasi di tahun 1990 lalu?Â
Selidik punya selidik ternyata, anak ini berbohong. Disebutkan, bahwa Nasyirah telah belajar akting sebelumnya untuk mengungkap testimoni palsu itu. Narasi terkadang memang butuh latihan dan akting.Â
Sudah terlanjur, nasi telah menjadi bubur. Invasi Amerika ke Irak telah menjadi kisah kelam dunia. Puluhan ribu manusia harus meregang nyawa termasuk para bayi. Â
Tentu, saya tidak bermaksud membela atau membenarkan tindak tanduk Presiden Saddam Husein melakukan invasi saat itu. Namun, fokus saya, perang Teluk sedikit banyak terjadi karena kontribusi dari hoaks yang dinarasikan, bukan?
Ada pula hoaks yang diciptakan oleh individu-individu.Â
Hoaks ini dinarasikan dengan cermat sehingga terlihat layak dipercaya. Naratornya paham seluk-beluk otak manusia yang mudah percaya akan informasi bohong sekalipun, jika diulang berkali-kali akhirnya diterima sebagai kebenaran.
Bentuk narasinya macam-mavam. Ada narasi untuk mendeskreditkan, ada pula narasi menyanjung. Ada narasi menakut-nakuti, ada pula narasi menyembunyikan ketakutan. Tiba-tiba, dengan mudah seseorang membuat narasi dan memberi label seseorang, dengan narasi juga.Â
Cukup complicated...
Peristiwa di negeri ini, menjadi bukti bahwa narasi berbasis kebohongan itu berbahaya. Â Narasi yang salah akan memicu Amigdala manusia untuk bertahan dan menyerang. Amigdala ini disebut juga otak reptile karena sifatnya yang bertahan dan menyerang. Merespon narasi yang salah, maka manusia bisa saja menyerang dan membunuh.
Korbannya, orang-orang yang tak berdosa dan tentunya tak pandai membuat narasi. Maka, berhati-hatilah dalam membuat narasi.
Seorang narator, tidak hanya harus pintar merangkai kata atau lisan. Tapi ia memerlukan ketulusan dan kejujuran, untuk memperbaiki keadaan, bukan memperkeruh, apalagi menghancurkan.
Banyak jiwa yang bisa terbunuh karena narasi. Banyak nestapa yang akan muncul karena salah niat ketika membuat narasi.
Seorang narator yang dipenuhi nafsu angkara mungkin bisa mengemas narasi yang enak dibaca dan didengar. Ia bisa mendapatkan semua pujian manusia. Namun, tentu, Tuhanlah yang akan tahu isi hati seseorang. Tuhan pasti "membaca" narasinya, setiap detik.
Kelak, Dia akan meminta pertanggungan jawaban atas segala narasi negatif yang dibuat. Bahkan, ada karma di dunia yang akan menderanya. Yakinlah.
Saya berdoa, negeri besar ini tidak hancur karena narasi yang menghancurkan. Atau, saling klaim bahwa narasinya yang paling benar dan layak dipercaya.
Ketimbang berlomba membuat narasi yang menunjukkan ke-aku-an,
Mengapa tidak berlomba saja membuat narasi-narasi yang membangun jiwa?Â
Kasihanilah negeri ini...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H