Selidik punya selidik ternyata, anak ini berbohong. Disebutkan, bahwa Nasyirah telah belajar akting sebelumnya untuk mengungkap testimoni palsu itu. Narasi terkadang memang butuh latihan dan akting.Â
Sudah terlanjur, nasi telah menjadi bubur. Invasi Amerika ke Irak telah menjadi kisah kelam dunia. Puluhan ribu manusia harus meregang nyawa termasuk para bayi. Â
Tentu, saya tidak bermaksud membela atau membenarkan tindak tanduk Presiden Saddam Husein melakukan invasi saat itu. Namun, fokus saya, perang Teluk sedikit banyak terjadi karena kontribusi dari hoaks yang dinarasikan, bukan?
Ada pula hoaks yang diciptakan oleh individu-individu.Â
Hoaks ini dinarasikan dengan cermat sehingga terlihat layak dipercaya. Naratornya paham seluk-beluk otak manusia yang mudah percaya akan informasi bohong sekalipun, jika diulang berkali-kali akhirnya diterima sebagai kebenaran.
Bentuk narasinya macam-mavam. Ada narasi untuk mendeskreditkan, ada pula narasi menyanjung. Ada narasi menakut-nakuti, ada pula narasi menyembunyikan ketakutan. Tiba-tiba, dengan mudah seseorang membuat narasi dan memberi label seseorang, dengan narasi juga.Â
Cukup complicated...
Peristiwa di negeri ini, menjadi bukti bahwa narasi berbasis kebohongan itu berbahaya. Â Narasi yang salah akan memicu Amigdala manusia untuk bertahan dan menyerang. Amigdala ini disebut juga otak reptile karena sifatnya yang bertahan dan menyerang. Merespon narasi yang salah, maka manusia bisa saja menyerang dan membunuh.
Korbannya, orang-orang yang tak berdosa dan tentunya tak pandai membuat narasi. Maka, berhati-hatilah dalam membuat narasi.
Seorang narator, tidak hanya harus pintar merangkai kata atau lisan. Tapi ia memerlukan ketulusan dan kejujuran, untuk memperbaiki keadaan, bukan memperkeruh, apalagi menghancurkan.