Mohon tunggu...
M. Ridwan Umar
M. Ridwan Umar Mohon Tunggu... Dosen - Belajar Merenung

Warga Negara Biasa

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Dematerialisasi: Kita Hidup untuk Apa?

18 September 2019   02:22 Diperbarui: 18 September 2019   02:34 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau dipikir-pikir. Layak kita bertanya, untuk apa sih lakon hidup seperti ini kita jalani?.
Ada seorang Bapak yang stress karena anaknya nunggak SPP sekolah.


Ada pemuda muda yang bingung mempersiapkan pernikahannya.
Ada pula caleg yang menghitung-hitung biaya pembuatan kartu nama dan alat peraga. Dahinya mengertit, ternyata mahal.


Ada timses sibuk mensosialisasikan jagoannya sebagai calon paling layak pilih. Segala tindak tanduk jagoannya di matanya tak tercela. Sebaliknya, segala aib mungkin adalah milik lawan tanding semata. Tiba-tiba hanya ada dua kategori di negeri ini, lue pilih jagoan gue, atau calon sono?.


Pliz, jujurkah kita, apakah hati ini nyaman dengan situasi hitam putih dan kebiasaan baru bernama saling menggunjing dan menjatuhkan?. 

Apakah kualitas hidup kita tidak semakin rendah setiap paginya membaca berita dan konten yang merendahkan orang lain?.


Sebagai manusia JAMAN NOW, kita memang menghadapi kondisi riskan yaitu DEMATERIALISASI tanpa SPIRITUAL. Apa pula itu?


DEMATERIALISASI adalah proses merubah MATERI menjadi IMMATERI, atau ABSTRAK.


Misal, kita merubah uang menjadi makanan dan setelah makan, kita menjadi KENYANG. Nah, kenyang itu adalah dematerialisasi dari makanan. Kenyang tidak bisa dipegang atau dilihat. Ia hanya bisa dirasakan.


Atau, katakanlah kita merubah UANG menjadi umbul-umbul, kartu nama, spanduk, iklan tv, koran dan majalah, untuk mengajak orang memilih jagoan kita. Kita menjual mereka dengan materi.


Setelah jabatan diraih, kita merasa SENANG, BANGGA dan TERHORMAT. Ada sensasi kemenangan ketika mengalahkan lawan. Ada kehormatan diraih. Itu contoh dematerialiasi.


Uang yang menjadi KEKUASAAN itu menimbulkan RASA. Entah itu rasa positif atau negatif. Bentuknya abstrak. Tak bisa digenggam, hanya bisa dirasa. 

Itulah hakikat DEMATERIALISASI dari fisik menjadi abstrak. Itulah kerja DUNIA setiap saatnya. Sudah ketemu bukan?


DEMATERIALISASI itu menjadi bagus jika melahirkan RASA POSITIF.
Namun, kalau berubah menjadi RASA NEGATIF. Itu DEMATERIALISASI yang menghancurkan. Tak ada gunanya.


Misal, kalau kita bangga lawan-lawan terjungkal. Bahagia melihat aib orang diumbar ke publik. Senang melihat kebodohan orang ditertawakan. Atau merasa, paling pintar dan ujub sendiri. Itu adalah DEMATERIALISASI NEGATIF.


Akibatnya Fatal. Kualitas hidup pasti turun. Itu yang terjadi kepada Fir'uan, Namruz, Haman, atau Qarun. Materi yang mereka peroleh berubah menjadi DEMATERIALISASI namun menghancurkna mereka.


Sekarang tinggal diukur. Kita melakoni DEMATERIALISASI yang mana?


Kita bekerja untuk mencari apa? Sekedar uang untuk makan, jabatan untuk dapat uang kembali, atau mencari pengabdian dan pelayanan tanpa pamrih?


Apakah ketika fisik jari jemari mengetik di medsos, sudahkah kita bertanya, sedang melakukan DEMATERIALISASI POSITIF atau NEGATIF?. Hanya kita yang tahu.


Nah, Untuk menjadikan proses DEMATERIALISASI menjadi POSITIF harus ada proses SPIRITUALISASI yaitu memasukkan nilai-nilai kebaikan universal seperti ADIL, TULUS, DERMAWAN, IKHLAS, atau PENGABDIAN. Spiritualisasi inilah yang menyebabkan sebuah dematerialisasi menjadi sebanding.


Tanpa itu, maka apapun yang kita lakukan di dunia, hanya merugikan saja.


Betapa ruginya kuota internet yang habis untuk browsing dan memepelototi medsos namun tak ada nilai kebaikan yang dilahirkan.


Betapa buntungnya, jika uang habis untuk membeli alat peraga kampanye, untuk menjual jagoan, namun tak ada kemaslahatan yang tercipta sesudahnya.
Berbuih mulut menjajakan jagoannya, namun bergumpal "kotoran" juga masuk ke hati.


Sayangnya, banyak manusia kini merasa benar karena merasa dalam kondisi PERANG dan MENJATUHKAN. Wow, permainan orang dewasa yang kekanak-kanakan.


So, sebelum terlambat. Sebelum menua sadarlah.
Berhentilah bermain-main dengan waktu.
Berhentilah melakukan DEMATERIALISASI NEGATIF yaitu bertindak aktif dan bersemangat, namun memproduksi keburukan. dan permusuhan.


Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun