Mohon tunggu...
M. Ridwan Umar
M. Ridwan Umar Mohon Tunggu... Dosen - Belajar Merenung

Warga Negara Biasa

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Dematerialisasi: Kita Hidup untuk Apa?

18 September 2019   02:22 Diperbarui: 18 September 2019   02:34 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itulah hakikat DEMATERIALISASI dari fisik menjadi abstrak. Itulah kerja DUNIA setiap saatnya. Sudah ketemu bukan?


DEMATERIALISASI itu menjadi bagus jika melahirkan RASA POSITIF.
Namun, kalau berubah menjadi RASA NEGATIF. Itu DEMATERIALISASI yang menghancurkan. Tak ada gunanya.


Misal, kalau kita bangga lawan-lawan terjungkal. Bahagia melihat aib orang diumbar ke publik. Senang melihat kebodohan orang ditertawakan. Atau merasa, paling pintar dan ujub sendiri. Itu adalah DEMATERIALISASI NEGATIF.


Akibatnya Fatal. Kualitas hidup pasti turun. Itu yang terjadi kepada Fir'uan, Namruz, Haman, atau Qarun. Materi yang mereka peroleh berubah menjadi DEMATERIALISASI namun menghancurkna mereka.


Sekarang tinggal diukur. Kita melakoni DEMATERIALISASI yang mana?


Kita bekerja untuk mencari apa? Sekedar uang untuk makan, jabatan untuk dapat uang kembali, atau mencari pengabdian dan pelayanan tanpa pamrih?


Apakah ketika fisik jari jemari mengetik di medsos, sudahkah kita bertanya, sedang melakukan DEMATERIALISASI POSITIF atau NEGATIF?. Hanya kita yang tahu.


Nah, Untuk menjadikan proses DEMATERIALISASI menjadi POSITIF harus ada proses SPIRITUALISASI yaitu memasukkan nilai-nilai kebaikan universal seperti ADIL, TULUS, DERMAWAN, IKHLAS, atau PENGABDIAN. Spiritualisasi inilah yang menyebabkan sebuah dematerialisasi menjadi sebanding.


Tanpa itu, maka apapun yang kita lakukan di dunia, hanya merugikan saja.


Betapa ruginya kuota internet yang habis untuk browsing dan memepelototi medsos namun tak ada nilai kebaikan yang dilahirkan.


Betapa buntungnya, jika uang habis untuk membeli alat peraga kampanye, untuk menjual jagoan, namun tak ada kemaslahatan yang tercipta sesudahnya.
Berbuih mulut menjajakan jagoannya, namun bergumpal "kotoran" juga masuk ke hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun