Mohon tunggu...
gema teugoeh
gema teugoeh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Andalas

Magister Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membungkam Kritik dengan Aksi dan Komunikasi, Membalik Krisis Menjadi Reputasi (Cara Terbaik PR dalam Penanganan Krisis)

16 Mei 2024   21:46 Diperbarui: 16 Mei 2024   21:58 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Krisis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu organisasi. Bagaimanapun bentuk organisasi dimungkinkan untuk berhadapan dengan krisis. Lalu siapa yang berperan dalam menghadapi krisis? Ada peran yang disebut dengan Hubungan Masyarakat (Humas). Menurut Scott Cutlip, Allen Center, dan Glen Broom (2016: 6) Hubungan Masyarakat (Humas) merupakan fungsi manajemen yang menyatakan, membujuk, dan memelihara hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dengan berbagai macam publiknya, dimana hal tersebut dapat menentukan sukses atau gagalnya sebuah organisasi.

Krisis sebagaimana didefinisikan oleh KBBI merupakan (1) Keadaan yang berbahaya (dalam menderita sakit); (2) parah sekali; keadaan yang genting; kemelut (3) keadaan suram (tentang ekonomi, moral, dan sebagainya). Normalnya krisis di dalam organisasi bahwa diistilah oleh Chatra dan Nasrullah (2008 : 6) sebagai “habitat” kehumasan dimana menjadi tempat bagi humas untuk lahir dan berkembang dan menunjukkan kegunaannya bagi organisasi. Melalui istilah ini dapat disimpulkan bahwa krisis merupakan lingkungan tempat dimana humas menjalankan tugas dan fungsinya.

Namun demikian pada praktiknya peran humas sering terabaikan dan disepelekan di dalam organisasi. Oleh karena itu penting bagi praktisi humas untuk memposisikan diri sebagai tokoh penting di dalam organisasi dengan menunjukkan profesionalismenya salah satunya dalam upaya penanganan krisis yang dialami oleh organisasi. Dengan sikap profesionalisme yang dilandasi pengetahuan terhadap praktik humas, diharapkan upaya membangun kepercayaan dan meraih dukungan publik tidak pernah terhenti sepanjang aktifitas organisasi.

Selanjutnya upaya untuk mengatasi krisis memiliki hubungan yang tidak terpisahkan dengan upaya untuk terus membangun reputasi yang baik. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Fombrun dkk yang dikutip oleh Helm (2011 : 13) bahwa di dalam praktiknya reputasi yang baik membawa peluang yang lebih baik dalam upaya mengatasi krisis karena reputasi berguna sebagai penyangga atau jarring pengaman.

Keseriusan organisasi dalam memitigasi krisis dapat terlihat dari bagaimana suatu organisasi memperlakukan publiknya. Suatu hari saya pernah mendapat layanan dari salah satu perbankan di kota Padang sehubungan dengan adanya kendala yang berkaitan dengan kartu ATM yang tertelan pada salah satu mesin ATM. Permasalahan tersebut saya laporkan kepada satpam perbankan tersebut untuk mendapatkan solusi. Satpam perbankan yang idealnya hanya berfungsi sebagai petugas keamanan ternyata mampu memberikan rekomendasi agar saya segera menonaktifkan ATM tersebut menggunakan aplikasi perbankan online dengan tujuan agar ATM yang tertelan tersebut tidak disalahgunakan. Kemudian beliau mengambilkan nomor antrian untuk saya dan mengarahkan saya ke ruang tunggu untuk mendapatkan layanan dari Customer Service.

Apa yang tampak dari kejadian tersebut menunjukkan bahwa organisasi telah mengupayakan penyelesaian setiap permasalahan dengan melibatkan setiap anggota organisasi. Ditunjang dengan kemampuan komunikasi yang baik dan kompetensi yang baik dalam menyelesaikan permasalahan pelanggan, suatu kondisi yang semula berpotensi sebagai krisis (berkurangnya tingkat kepercayaan pelanggan dalam menggunakan ATM perbankan) berubah menjadi meningkatkan kepercayaan pelanggan kepada perbankan tersebut. Walaupun pada kasus ini tidak terlihat siapa yang menjadi humas pada organisasi perbankan tersebut, tetapi yang pasti setiap anggota organisasi dengan kemampuan komunikasi yang baik telah mampu menjadi humas untuk organisasi tempat ia bekerja sehingga mampu “membalik” sesuatu yang semula berpotensi sebagai krisis menjadi sebuah reputasi.

Ada kompetensi lain yang harus dimiliki praktisi humas dalam upaya penanganan krisis yakni dengan memahami anatomi krisis yakni kemampuan melihat ruang-ruang kemunculan krisis dari publik organisasi apakah berasal dari lingkungan internal (perbedaan kultur di dalam organisasi, dominasi structural organisasi, diskriminasi di dalam organisasi), lingkungan eksternal I (protes yang dilakukan LSM, Aksi boikot investo, Aksi Pemerintah) atau lingkungan eksternal II (bencana alam, situasi politik di luar negeri). Melalui pemahaman ini praktisi humas mengetahui mana yang masih dapat dikendalikan dan mana yang tidak dapat dikendalikan. Chatra & Nasrullah (2008 : 53) menjelaskan bahwa dengan Humas memperhatikan ruang ruang terjadinya komplikasi yang melahirkan krisis, maka pemahaman humas terhadap krisis menjadi anatomi dan terstruktur.

Selanjutnya, dalam upaya penyelesaian krisis ada yang dikenal dengan komunikasi krisis. Adanya anggapan bahwa komunikasi krisis merupakan tindakan menyampaikan kata kata yang menenangkan dalam situasi yang sulit merupakan anggapan yang tidak tepat. Hal ini karena publik tidak dengan mudahnya mempercayai setiap kata-kata yang disampaikan oleh perwakilan organisasi. Publik perlu melihat tindakan setelahnya apakah benar apa yang telah disampaikan tersebut telah dilakukan oleh organisasi? Atau hanya sekedar upaya untuk “menenangkan” publik. Griffin (2008 : 84) menjelaskan komunikasi krisis adalah tentang mengkomunikasikan tindakan, bukan sekedar memilih kata-kata yang tepat. Definisi tersebut perlu diterapkan oleh praktisi humas dengan menjelaskan apa yang sedang dilakukan bukan melakukan terlebih dahulu baru kemudian menjelaskan.

Salah satu contoh yang bisa kita pelajari adalah tentang suatu kasus rumah makan Payakumbuh milik Arief Muhammad yang dikritik oleh pelanggannya di media sosial mengenai suhu ruangan yang tidak dingin sekitar bulan September tahun 2022. Kritik tersebut tidak hanya ditanggapi dalam bentuk komunikasi tetapi juga aksi oleh pemilik rumah makan yakni dengan memajang tulisan pada rumah makan “AC sudah dingin”. Tindakan tersebutselain mampu menyelesaikan krisis juga secara efektif membuat rumah makan ini dikenal oleh masyarakat karena tidak hanya menjawab keluhan pelanggan melalui aksi dan komunikasi tetapi juga mampu mengubah setiap komentar dari pelanggan menjadi sebagai masukan yang berharga.

Griffin (2008 : 106) menjelaskan bahwa Krisis yang tidak dikelola dengan baik akan memberikan dampak yang besar bagi organisasi. Belajar kepada kasus yang dialami rumah makan tersebut, praktisi humas selain melihat krisis selain sebagai ancaman juga harus mampu memandang krisis sebagai peluang bagi organisasi untuk meningkatkan citranya. Dengan adanya krisis organisasi memiliki peluang untuk bisa semakin terhubung dengan publiknya melalui penyediaan informasi yang dibutuhkan oleh publik sehingga publik melihat organisasi memiliki tanggung jawab kepadanya.

Daftar Pustaka

Chatra, Emeraldy dan Rulli Nasrullah. (2008). Public Relations Strategi. Kehumasan dalam Menghadapi Krisis. Bandung: PT Karya Kita

Griffin, Andrew. 2008. New Strategies For Reputation Management. London: Kogan Page Limited.

Helm, Sabrina, dkk (2011) Reputation Management. New York: Springer.

Cutlip, Scott M, Allen H. Center & Glen M. Broom. (2016). Efective Public. Relations. Edisi Kesembilan. Cetakan ke 5. Jakarta: Prenadamedia group

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun