Sebentar lagi pesta demokrasi berlangsung di Indonesia. Bukan saja Pilpres di tahun 2019 nanti, tetapi Pemilu Legislatif yang terdiri dari Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat 2019 akan berlangsung April 2019 mendatang.
Diantaranya 136 anggota DPD akan dipilih. Tentu saja menjelang tahun pesta demokrasi ini setiap calon harus mendapat dukungan suara. Untuk memperoleh dukungan suara, setiap calon membawa program-program yang akan diperjuangkan.
Namun, akan sangat disayangkan bila program atau isu yang dibawa justru berpotensi menimbulkan masalah lebih besar karena sejak awal gagal memahami persoalan sehingga gagal mencarikan solusi.
Hal ini sama juga potensinya dengan Andi Surya (AS) yang akan maju lagi mencalonkan diri sebagai anggota DPD perwakilan Lampung. Sebuah berita tentang opininya dimuat di salah satu surat kabar lokal Haluan. Salah satunya yang disinggung mengenai aset kereta api yang diduduki warga adalah mengenai Grondkaart.Â
Kitapun tidak dapat menakar sampai dimana pengetahuan kearsipannya. Lalu apabila yang bersangkutan mengatakan pernah melakukan pengecekan, apa kewenangannya menelusuri keberadaan Grondkaart, sementara kereta api tidak memiliki hubungan hukum dengan AS. Kecuali AS berurusan hukum dan mari gunakan kesempatan  ini menjadi ajang pembuktian.
Karena tidak ada relevansinya, dapat diduga AS telah melakukan pelanggaran etika atau jika tidak mau disebut demikian maka mungkin pelanggaran administrasi lebih tepat. 2) AS mengatakan bahwa Grondkaart tidak sah menurut UUPA 1960 karena tidak dikonversi dari hak barat ke hal nasional. Opini ini justru menunjukan ketidakpahaman seorang AS dalam hal sejarah.
Ketika dia mengatakan hak-hal barat (eigendom, opstal, erfpacht) semua itu berlaku untuk tanah individu atau lembaga swasta. Sementara itu Grondkaart adalah bukti tanah negara. Lalu dari tanah negara mau dikonversi kemana? Kan sudah final. Ketidakpahaman AS semakin parah ketika ia menduga bahwa tanah negara itu bisa menjadi milik masyarakat.
Pemikiran seperti ini mirip seperti pola pikir komunis di Indonesia pada akhir masa tahun 1950-an yang berdalil bahwa PKI pada masa itu menuntut landreform dari tanah negara menjadi tanah rakyat untuk dibagi-bagikan kepada buruh dan tani. 3) AS mengatakan bahwa Grondkaart tidak tercatat dalam simak Kementerian Keuangan. Ini menunjukan bahwa pengetahuan administratif AS sangat rendah karena Menteri Keuangan justru pernah memberi surat kepada Kepala BPN yang menyebutkan bahwa Grondkaart adalah alas hak yang sah bagi tanah-tanah Perumka. Dengan demikian apakah mungkin Menteri Keuangan tidak mengetahui tentang Grondkaart tetapi berani meminta kepada Kepala BPN untuk mengakui Grondkaart sebagai alas hak kepemilikan tanah kereta api. Tentu tidak demikian.Â
Kesalahan AS ke-4) adalah mengatakan bahwa Grondkaart bukan merupakan alas hak bagi kepemilikan tanah KAI, ini membuktikan bahwa pemahaman hukum AS hampir nol, karena Grondkaart memiliki dua dasar hukum yang sangat kuat yaitu hukum administrasi dan hukum materi.Â
Hukum administrasi adalah peraturan yang melegalkan Grondkaart sebagai bukti kepemilikan (bijblad no 4905) dan hukum administrasi yang merupakan surat keputusan kepala negara bagi setiap Grondkaart yang diterbitkan.
Surat keputusan ini memuat riwayat dan asal-usul tanah yg tertera diatas Grondkaart, dengan demikian Grondkaart sudah bisa menjadi bukti pembebasan tanah sekaligus kepemilikan tanah. Hal ini yang tampaknya tidak pernah dipelajari oleh AS.Â
Dengan empat kesalahan diatas tulisan AS bukan hanya menunjukan kurangnya pengetahuan dan kebodohan tetapi juga perilaku tidak etis seorang politikus. Seyogyanya sebagai calon wakil rakyat dan politikus nasional AS wajib ikut melindungi aset negara , bukan justru melemahkan  kepemilikan oleh negara.
KAI tidak pernah merampas tanah rakyat kecuali menjalankan tugas untuk menjaga aset tanah negara yang sesuai tertera diatas Grondkaart, sebaliknya justru tanah yang ada di dalam Grondkaart yang merupakan tanah KAI digerogoti dan diakupansi oleh orangorang yang tidak bertanggungjawab dan dilindungi oleh AS.Â
Dengan informasi yang selama ini didengungkan AS diberbagai media, bukan hanya membodohi publik, tetapi dapat dijudge membuat keterangan palsu, penyimpangan hukum, dan pemelesetan sejarah. Dengan kata lain AS telah menjerumuskan masyarakat Lampung demi kepentingan popularitasnya dan keuntungan pribadi.Â
Kini tergantung pada masyarakat Lampung sendiri, apakah mereka menerima begitu saja opini AS yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena tidak mampu membuktikan kebenaran opininya. Pada prinsipnya kai hanya bertanggungjawab dan wajib mempertahankan asetnya sebagai kekayaan negara yang kelak diwakilkan kepada generasi masa depan demi kepentingan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H