Mohon tunggu...
Wahyu irawan
Wahyu irawan Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang aktivis pengamat transportasi dan pengamat kebijakan publik

Seorang aktivis pengamat transportasi dan pengamat kebijakan publik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pura-pura Pikun, Pengusaha Asal Padang Rugikan Negara

13 Januari 2018   10:49 Diperbarui: 13 Januari 2018   10:59 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengusaha merupakan orang yang menjalankan kegiatan usaha jual-beli, produksi yang memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Menjalankan usaha pasti ada pasang surutnya, dan untuk memulai usaha biasanya berawal dari hal yang kecil hingga usaha yang besar.

Semakin banyak pengusaha, akan membuat dampak baik untuk negara tercinta ini. Dengan banyaknya usaha yang dijalankannya maka akan membuat lapangan kerja untuk lingkungan sekitarnya, selain itu juga akan membawa dampak naiknya tingkat ekonomi di sekitar lokasi usaha.

Berbeda dengan salah satu pengusaha besar di Padang ini yang bernama Basrizal Koto (Basko). Pengusaha yang memualai usahanya berawal dari berjualan pete ini memang memiliki banyak akal, hingga dia berhasil mempunyai banyak perusahaan wilayah Sumatera. Salah satu bidang usaha yang dijalankan oleh Basko ini adalah PT Basko Minang Plaza, PT Cerya Riau Mandiri Printing, dan beberapa media seperti radio dan media online.

PT Basko Minang Plaza (BMP) yang beralamatkan di Kel. Air Tawar, Padang tersebut salah satu usaha terbesar yang dimiliki oleh pengusaha ini. Pada tahun lalu pengusaha ini terjerat kasus sengketa tanah dengan salah satu perusahaan BUMN yakni PT KAI (persero). Sebagian lahan yang digunakan lahan parkir di BMP tersebut adalah tanah pemerintah, yang penguasaannya diserahkan kepada PT KAI.

Berawal dari Basko melakukan pengajuan untuk sewa lahan yang akan digunakan untuk parkir. Kontrak sewa pertama kali ditandatangani pada 1 Juli 1994 antara PT KAI selalu pemilik lahan dengan PT Basko Minang Plaza untuk tanah seluas  2.223 meter persegi.

Perjanjian pertama ditandatangani dengan masa sewa selama 2 tahun 11 bulan yang masa akhir sewa berada pada tanggal 21 Mei 1997. Setelah masa sewa berakhir akhirnya Basko melakukan perpanjangan kontrak pada 2 Juli 1997 dengan masa sewa selama 1 tahun.

Setelah masa kontrak habis pihak BMP tetap menggunakan lahan tersebut tanpa melakukan pembayaran uang sewa kepada pihak KAI, hingga akhirnya pada Juli 2001 PT Kai mengirimkan surat tagihan kepada pengusaha tersebut. Akhirnya sewa dilakukan perpanjangan pada 15 Agustus 2001 yang masa kontraknya berakhir hingga 30 Mei 2004.

Setelah masa berakhir kontrak tersebut, tidak nampak niatan baik dari BMP untuk memenuhi kewajibannya kepada perusahan negara tersebut. Bukan hanya tidak membayar sewa BMP juga melakukan perluasan tanah tanpa melakukan konfirmasi terlebih dahulu. Sehingga dari tahun 2004 ini BMP tidak membayar uang sewa yang menjadi pendapatan bagi negara.

Berkali-kali surat yang dilayangkan oleh PT KAI tidak digubris, seakan pengusaha kaya tersebut tutup telinga dan mengabaikan surat tersebut. Tidak mau membayar sewa dan menikmati lahan tersebut Basko semakin merajalela dengan kepandaian serta hartanya, pengusaha serakah tersebut berusaha menguasai lahan tersebut.

Dengan memanfaatkan banyak relasi dan kecerdikannya, serta media yang dimilikinya, Basko menyerang pemilik yang sah atas lahan yang ditempatinya. Hingga pengusaha serakah tersebut mengunakan strategi pura-pura pikun. Mengangap bahwa dia tidak pernah melakukan sewa kepada pihak PT KAI.

Basko juga menganggap bahwa tanah yang dipermasalahkan tersebut adalah miliknya. Sudah jelas bahwa tanah yang digunakan BMP ini adalah tanah negara yang dikelola oleh PT KAI yang telah dibuktikan dengan kepemilikan Grondkaart.

Dalam FGD yang gelar di Lampung 2017 lalu, M Noor Marzuki selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjelaskan secara tegas bahwa bukti kepemilikan atas aset tanah PT KAI (Persero) adalah Grondkaart. Sementara Grondkaart adalah final sebagai bukti yang dimiliki PT KAI (Persero) atas asetnya.  

Pengusaha yang umurnya semakin tua tersebut tidak pernah menyadari bahwa perbuatanya tersebut dapat merugikan negara, dan menghambat pendapatan negara. Seharusnya diumur yang semakin sepuh banyak melakukan renungan atas kesalahannya.

Tentunya kerugian yang disebabkan akibat kelakuan Pengusaha Serakah ini pasti banyak sekali, baik materi maupun non materi, dan jika menghitung sewa yang belum dibayar dari 2004 hingga 2010 sekitar Rp 245.000.000,- nah kalau sampai sekarang sudah berapa ya? Silahkan disimpulkan sendiri. Itu baru kerugian tidak bayar sewa belum kerugian-kerugian lainya pasti menghambat dan mengurangi pendapatan negara.

Semoga kelakukan Basko ini tidak dicontoh oleh orang lain. Bagaimanapun semua orang punya posisi sama dimata hukum. Harus patuh hukum. Perlu dicatat, Keputusan MA (Mahkamah Agung) pun dalam kasus ini memenangkan PT KAI selaku pihak yang sah atas lahan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun