Prinsipnya, siapapun yang sedang berjuang ingin dipilih, pasti berbicara yang manis-manis kepada calon pemilihnya. Nyaris tidak ada yang bicara jelek.
Bahkan, pembicaraannya itu bak angin surga. Sehingga, masyarakat atau calon pemilih terbuai dan sebagainya dan kemudian menganggap si calon berjanji.
"Bapak bapak, ibu ibu, saya pasangan Anu. Misalkan begitu. Jika saya terpilih, saya akan menggratiskan pendidikan. Dari Paud hingga S3."
"Jika saya terpilih, kota ini tidak akan banjir. Walaupun hujan deras, tidak akan banjir. "
"Jika saya terpilih, jalanan tidak akan macet, ect."
"Saya akan menata permukiman. Tapi tidak menggusur."
Kalau sedikit contoh janji itu diumbar di atas panggung kampanye, atau di berbagai bentuk kampanye yang kesannya monolog, pasti itu memang janji.
Berbeda halnya, ketika bertemu masyarakat secara random. Misalkan saat mengunjungi suatu tempat pariwisata. Kemudian menyapa warga yang berjualan di sekitar area itu.
Dan warga itu merespons sapaan dengan meminta, "Bapak, kalau terpilih, jangan gusur kami ya pak. Jangan kayak calon sebelumnya. Pas kampanye kami didatangi dan kami minta tidak digusur. Tapi faktanya kami digusur dan tidak manusiawi lagi."
Kalau contoh janji di atas, bisa saja si calon awalnya tidak memiliki niat untuk berjanji, tapi karena permintaan, atà u desakan, akhirnya terlontar janji dari mulut si calon.
Bahkan, janji itu pun ikut tertuang di secarik kertas bermaterai. Sehingga, masyarakat menjadi lega.