Ilustrasi pembunuhan. Thinkstock
Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2016, tercoreng dengan kabar seorang mahasiswa yang nekat menghabisi dosennya. Kabar itu menyeruak di permukaan.
Sungguh tragis. Perilaku keji tersebut sangat tidak pantas untuk dilakukan. Apalagi bagi seorang yang menyandang status terpelajar tersebut.
Namun, kita harus memerhatikan sebab-akibat. Kita tidak perlu harus menyalahkan akibat atau menyesalkan peristiwa tersebut.
Kabarnya, motif pembunuhan oleh sang mahasiswa tersebut karena menaruh rasa dendam kepada sang dosen. Di antaranya karena mengancam memberi nilai rendah dan mempersulit proses penyusunan skripsi.
Sudah menjadi rahasia umum, penyusunan skripsi merupakan momok bagi sebagian besar mahasiswa. Tidak hanya dituntut mencari data, akan tetapi mahasiswa dituntut untuk telaten mengelus dada.
Misalkan, sang dosen pembimbing skripsi yang sangat mudah menyalahkan draft skripsi. Tapi tidak menjelaskan hal yang mana yang salah. Asal coret dan meminta mahasiswa itu memperbaikinya.
Kemudian, jadwal dosen yang sangat tidak ramah dengan mahasiswa saat bimbingan. Dosen kerap membatalkan janji pertemuan dan bimbingan secara sepihak. Bahkan ada dosen sejak awal ditunjuk sebagai pembimbing nyaris tidak bisa ditemui atau dihubungi.
Ditemui di ruang kerjanya, tidak pernah ada. Dihubungi, tidak menjawab. Bahkan jika bisa ditemui, dosen tersebut malas-malasan. Seakan bertemu dengan seseorang yang tidak ada harganya sama sekali.
Memang, filosofi menyusun skripsi itu tidak hanya melihat kualitas intelektual mahasiswa. Akan tetapi juga menguji sejauh mana kekuatan mental dan usaha mahasiswa tersebut selama proses bimbingan.
Tapi, alasan menguji mental kerap tidak relevan. Karena tak jarang dosen yang dianggap killer tersebut memiliki tabiat yang buruk.
Dia berlaku killer, karena memiliki pengalaman buruk saat menyusun skripsi. Sehingga ketika menjadi dosen, dia membalaskan dendamnya kepada mahasiswanya.
Ada juga dosen yang mengaku sibuk. Jarang sekali berada di kampus. Padahal tercatat sebagai dosen aktif, tapi seakan-akan seperti dosen tamu. Yang hanya menginjakkan kaki di kampus sekali setahun atau beberapa hari saja yang bisa dihitung dengan jari.
Saya selalu berpendapat bahwa tidak akan ada anak durhaka, kalau orang tuanya tidak durhaka atau tidak mampu menutup celah peluang berbuat durhaka.
Begitupun dengan mahasiswa nakal. Tidak akan ada mahasiswa nakal, jika tidak ada dosen yang nakal.
Artinya setiap pribadi itu unik. Butuh pendekatan yang unik pula. Namun di sini, dosen harus mampu mengalah. Dengan menyesuaikan pendekatan kepada mahasiswanya agar tetap terjaga semangat belajar dan berubahnya.
Bukan harus menunggu mahasiswa yang melakukan pendekatan. Hanya berpendapat yang tua harus dan mutlak dihormati yang muda. Jika sang dosen yang notabene lebih berumur daripada mahasiswanya, sejatinya dapat berlaku bijak. Mengingat segudang pengalaman memakan asam garam kehidupan.
Saya menulis ini tidak mengarang. Cobalah tanya random ke mahasiswa mana pun dan di kampus mana pun, pasti menemui sosok dosen seperti itu. Yang selalu mempersulit bukan memudahkan, dengan alasan melihat bentuk usaha sang mahasiswa.
Dosen-dosen pun pasti sadar. Karena sebelum menjadi dosen, mereka pernah menjadi mahasiswa. Mereka juga pernah mencaci dosennya. Namun ketika sudah menjadi dosen, mereka lupa, Â bahwa prilaku mereka rentan untuk dicaci atau bahkan dibunuh seperti kasus di Medan itu.
Bagi saya, sudah waktunya dosen harus berubah. Menyadari bahwa profesi mereka sangat mulia. Turut membantu mencerdaskan anak bangsa dan penerus bangsa.
Dosen harus memahami kebutuhan mahasiswanya. Bukan harus menunggu dipahami oleh mahasiswanya.
Bukan berarti, tidak menghormati yang lebih tua, atau yang lebih berpengalaman, akan tetapi dosen harus mengubah mindsetnya. Apalagi dosen tersebut bertitel doktor atau Phd. Mereka seharusnya banyak berfikir filosofis, mencari jalan keluar dan bukan membuat suram jalan penerus bangsa.
Kalau pun dosen tidak mau berubah, mereka pasti akan diingat sepanjang hidup mahasiswa tersebut. Dosen yang selalu maunya menang sendiri, memaksakan kehendak tanpa memberikan argumentasi yang jelas.
Begitu pun wahai para mahasiswa.
Kalian sering turun ke jalan. Melakukan aksi menuntut ini dan itu kepada pemerintah atau siapapun. Menuntut rektorat atau dekanat untuk mengabulkan permintaan kalian. Kalian berani dan suara kalian lantang.
Tapi, kalian nyaris hampir tidak bisa berkutik ketika berhadapan dengan dosen pembimbing. Kepala kalian sering tertunduk lesu dan mulut kalian mendadak membisu ketika dosen pembimbing kalian membuat kalian kecewa.
Kalian hanya bisa mengumpat di balik punggung mereka. Cobala berubah. Berani sampaikan keluh kesah kalian tepat di depan dua bola mata sang dosen. Tatap tajam dua bola mata ituu dan sampaikan keluh kesah kalian personally.
Datang sendiri dan ajak mereka face to face berbincang. Tentu ini lebih sopan dan elegan. Nada bicara kalian harus diperhatikan.
Karena kampus atau tempat pendidikan mana pun, sejatinya adalah sarana bagi kita mencari jalan keluar. Terpelajar saja tidak cukup. Tapi harus juga bijak.Â
Tulisan ini bukan berarti menghujat dosen dan profesinya. Tapi sekadar mengingatkan. Dan bukan pula menggurui. Tapi saling mengingatkan. Karena kita diajarkan untuk saling mengingatkan. Semoga tidak ada lagi cerita pembunuhan itu. Siapapun dan apapun bentuknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H