Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kisah Hakim Bao dan Para Pendekar Penegak Keadilan (Bagian 16)

3 Mei 2018   07:52 Diperbarui: 3 Mei 2018   08:40 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kemudian teman baik Bao Xing mengundangnya makan malam. Ia mengucapkan terima kasih lalu membersihkan dirinya dan pergi makan malam bersama temannya tersebut. Saat itu ia berbincang-bincang tentang beberapa masalah pemerintahan dan menceritakan bagaimana mereka melindungi Bao dari seorang pembunuh dan bagaimana Bao menghukum mati Pang Yu. "Apakah dari dalam istana ada kabar tentang reaksi si tua Pang?" tanya Bao Xing. "Tepat sekali. Pang melaporkan hal ini kepada Yang Mulia, tetapi Yang Mulia marah lalu melemparkan pengakuan putranya ke hadapannya. Ia membacanya dan tidak dapat berkata apa-apa, hanya dapat memohon ampun kepada Yang Mulia. Yang Mulia berbaik hati memaafkannya dan tidak menyalahkannya. Dengan kejadian ini Tuan kita telah menanamkan bibit kebencian yang besar dalam diri Pang. Kelak Tuan Bao harus lebih berhati-hati," cerita sang teman.

Bao Xing menganggukkan kepalanya lalu menceritakan secara singkat bahwa Bao telah bertemu dengan ibunya di Chenzhou dan menenangkan temannya agar tidak khawatir. Takut telat menyambut kedatangan tandu ibu suri, setelah bercerita Bao Xing segera menghabiskan makanannya. Pengurus kuda telah membawakan kudanya dan Bao Xing segera naik ke atas kuda. Setelah memberi salam kepada temannya dengan mengangkat tangannya, ia pun pergi untuk menyambut kedatangan Bao.

Sementara itu Nyonya Li mempersiapkan segala sesuatunya seperti yang dituliskan dalam surat tersebut. Setiap hari ia menunggu kedatangan Ibu Suri Li dengan penuh hormat dan tulus. Suatu hari dua orang petugas datang dan mengetuk pintu kamarnya sambil memberitahu, "Nyonya Besar telah sampai di ibukota dan berada tak jauh dari sini." Nyonya Li segera bertukar pakaian kebesarannya dan membawa para pelayan wanita menuju aula ketiga untuk menunggu kedatangan ibu suri. Tak lama kemudian sebuah tandu besar dibawa ke depan aula ketiga; para petugas dan pengangkut tandu pun mengundurkan diri. Nyonya Li segera menutup pintu samping dan pergi ke depan tandu tersebut. Sebelumnya seorang pelayan wanita mengangkat tirai tandu. Nyonya Li membantu melepaskan sandaran lengan ibu suri kemudian berlutut sambil berkata, "Saya, Li, menantu yang tidak berbakti, istri Bao Zheng, memberi hormat kepada Ibu. Mohon Ibu memaafkan saya."

Ibu suri mengulurkan tangannya. Nyonya Li dengan cepat memegangnya dan mereka saling berpelukan. "Berdirilah, menantuku," kata ibu suri. Nyonya Li dengan perlahan-lahan membantu ibu suri keluar dari tandu kemudian membawanya ke kamar suci di sebelah aula Buddha. Setelah ibu suri duduk di sana, Nyonya Li menyajikan teh lalu menyuruh para pelayan wanitanya mengikuti para pelayan wanita ibu suri untuk beristirahat di luar kamar. Setelah semua orang keluar, Nyonya Li berlutut sambil berkata, "Hamba, Li, berharap semoga Yang Mulia Ibu Suri berumur panjang."

Ibu suri segera mengulurkan tangannya dan berkata, "Anakku, kamu sama sekali tidak perlu melakukan hal ini. Mulai sekarang kita adalah mertua dan menantu. Jangan karena ingin memenuhi tata krama kerajaan sehingga menyebabkan rahasia ini bocor. Akibatnya akan tidak bagus. Kita harus menunggu Pejabat Bao kembali baru kemudian membicarakan masalah ini. Lagipula aku bermarga Li dan kamu juga bermarga Li; kita sesungguhnya adalah ibu dan anak. Kamu bukan menantuku, tetapi anak perempuanku." Nyonya Li pun mengucapkan terima kasih.

Ibu suri kemudian menceritakan kisah pilu masa lalunya dan tanpa sadar kedua matanya yang buta meneteskan air mata. Ia bergumam sendiri, "Karena memikirkan kaisar dan merindukan anakku, kedua mata ini telah kehilangan penglihatannya akibat banyak mengeluarkan air mata. Sampai sekarang aku tidak dapat melihat, mau bagaimana lagi?" Nyonya Li di sampingnya juga ikut menitikkan air mata. Tiba-tiba ia teringat akan suatu benda yang mungkin bisa menyembuhkan kebutaan ibu suri.

"Mengapa aku tidak mencoba berdoa dengan tulus memohon kesembuhan bagi mata ibu suri? Jika melalui doa tersebut aku bisa mendapatkan embun langit untuk menyembuhkan mata ibu suri, selain dapat menunjukkan kesetiaanku, ini juga bisa membuktikan apakah benda berharga yang kumiliki berguna atau tidak," pikir Nyonya Li. Ia ingin memberitahukan hal ini kepada ibu suri, tetapi takut jika cara ini tidak berhasil; namun jika tidak memberitahukannya, maka ibu suri pasti tidak mau membersihkan matanya dengan embun tersebut. Setelah berpikir beberapa lama, akhirnya ia memberanikan diri untuk memberitahukannya kepada ibu suri.

"Hamba memiliki sebuah benda berharga bernama Pot Kuno dan Modern yang di atasnya memiliki dua lubang menyimbolkan Yin dan Yang dan dapat mengumpulkan embun langit, yang bisa menyembuhkan mata Yang Mulia agar kembali dapat melihat. Malam ini hamba akan bersujud memohon kepada langit untuk mendapatkan embunnya," kata Nyonya Li. Mendengar hal ini, ibu suri berpikir, "Sungguh seorang wanita yang berbudi luhur. Ia turut merasakan penderitaanku dan berusaha menghiburku dengan cara ini. Aku tidak boleh mengecewakan niat baiknya."

Ibu suri pun berkata, "Jika demikian, anakku, kamu segeralah memohon kepada langit untuk mendapatkan embunnya. Jika ketulusanmu bisa mencapai langit dan kedua mataku bisa melihat lagi, bukankah ini mengagumkan!" Setelah menerima persetujuan ibu suri, Nyonya Li berbincang-bincang dengannya lalu menyiapkan makan malam. Setelah itu ia mengundurkan diri.

Dengan membawa lentera keluar, ia mencuci tangannya lalu mengeluarkan Pot Kuno dan Modern. Ia menyuruh para pelayan wanita membawa lilin ke taman lalu dengan setulus hati membakar dupa dan berdoa kepada langit dan bumi. Dengan membawa pot tersebut pada tangannya, ia bersujud memohon agar memperoleh embun langit. Sesungguhnya kesetiaannya menggerakkan langit dan bumi. Dikarenakan ketulusannya dan juga penderitaan ibu suri seharusnya berakhir, isi dalam pot tersebut menjadi lembab dan basah kemudian muncul tetesan embun bagaikan uap yang mengembun dan perlahan-lahan menjadi semakin besar. Tampak embun berputar-putar secara acak memenuhi pot itu bagaikan butiran mutiara yang berputar ke kanan dan ke kiri di dalam panci yang dipanaskan. Semuanya mengalir ke dalam lubang Yin dan Yang sampai akhirnya menjadi tenang.

Nyonya Li sangat bergembira dan membawa pot tersebut ke kamar suci. Namun ia kelelahan, kedua tangannya terasa sakit, dan keringat bercucuran bagaikan hujan. Ternyata Ibu suri belum tidur dan Nyonya Li memberikan pot berisi embun itu kepadanya. Ibu suri mencelupkan tangannya ke dalam embun tersebut untuk mencuci matanya. Ia merasakan hawa dingin menembus jantungnya dan bau harum semerbak mengelilingi tubuhnya. Kemudian dari pelipisnya mengeluarkan tetesan keringat yang wangi dan kedua bola matanya terasa seperti bergerak-gerak. Ia menutup matanya dan menarik napas. Tak lama kemudian tiba-tiba dadanya terasa lega dan berbahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun