Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konflik Rohingya dan Politisasi Agama di Myanmar

5 September 2017   13:27 Diperbarui: 16 September 2017   09:27 10077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa tahun belakangan konflik yang berkepanjangan dan diwarnai kekerasan dan pelanggaran HAM yang ditujukan kepada kelompok etnis minoritas Rohingya di Rakkhine, Myanmar, telah menjadi topik yang hangat dibicarakan di media-media massa dan media sosial. Pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab membuat berbagai isu dan berita hoax yang mengatakan bahwa konflik ini merupakan  konflik agama untuk memperkeruh suasana sehingga mengganggu kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Dalam artikel yang pernah penulis buat beberapa tahun yang silam, kita dapat mengetahui berdasarkan tinjauan sejarah bahwa konflik di Rakkhine tersebut bukanlah konflik agama, melainkan konflik politik yang bermula dari ketegangan etnis akibat migrasi pendatang Bengal ke daerah tersebut sejak ratusan tahun yang lalu.

Namun, konflik politik tersebut diperparah oleh kenyataan bahwa terdapat kelompok etnis minoritas dengan identitas agama tertentu ditindas oleh rejim militer dengan identitas agama mayoritas. Seperti halnya di belahan bumi lain, agama telah dijadikan sarana untuk membenarkan tindakan politik penguasa. Demikian juga, pihak-pihak yang merasa tertindas juga memanfaatkan isu agama untuk mendapatkan simpati. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas bagaimana agama Buddha dijadikan alat politik di Myanmar, kondisi sesungguhnya di daerah konflik, dan respon para tokoh agama di Indonesia, yang menunjukkan bahwa akar sesungguhnya konflik ini bukanlah sentimen agama seperti yang banyak diisukan selama ini.

Agama Buddha mengajarkan pelatihan personal untuk mencapai kedamaian batin tertinggi yang disebut Nibbana dan tidak pernah menganjurkan kekerasan baik kepada sesama manusia maupun makhluk hidup apa pun. Namun di negara-negara di mana Buddhisme berkembang menjadi agama mayoritas, seperti Sri Lanka, Thailand, dan Myanmar, banyak tokoh Buddhis yang memanfaatkan isu agama dalam pergolakan politik di negaranya sehingga memunculkan gerakan politik yang tak jarang diwarnai kekerasan dan kebencian terhadap agama dan etnis lain dengan mengatasnamakan Buddhisme. Ini tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip kerukunan dan perdamaian yang diajarkan Sang Buddha.

Buddhisme dan Politik di Myanmar

Di Burma atau saat ini kita kenal sebagai Myanmar, pemerintahan militer telah menjadikan Buddhisme sebagai agama negara di negeri itu. Sejak tahun 1988 pemerintah Myanmar mengembangkan ideologi politik dan budaya berdasarkan Buddhisme yang melahirkan visi nasionalisme Buddhis Myanmar untuk melegitimasi pemerintahannya.

Hubungan yang erat antara para bhikkhu, bhikkhuni, dan umat awam di Burma secara historis telah berjalan sangat erat sehingga ketika satu bagian mengalami kesengsaraan, maka yang lainnya merespon. Para bhikkhu Burma telah memiliki sejarah panjang bersuara melawan ketidakadilan. Mereka telah berani menentang kolonialisme Inggris, pemerintahan diktator, dan dua dasawarsa junta militer. Salah satunya yang terkenal adalah terjadinya Revolusi Saffron pada tahun 2007.

Revolusi Saffron merupakan suatu protes damai dan tanpa kekerasan yang digerakkan oleh para bhikkhu Burma terhadap penindasan pemerintahan militer yang dipicu oleh naiknya harga bahan bakar secara tiba-tiba dan drastis. Namun pemerintah mengerahkan kekuatan militer untuk mencegah upaya protes  yang berkepanjangan ini sehingga menyebabkan puluhan orang luka-luka dan ratusan orang ditangkap dan dipenjara, termasuk aktivis pemenang hadiah Nobel perdamaian, Aung San Suu Kyi.

Gerakan 969 dan Ashin Wirathu

Walaupun mayoritas Buddhis di Myanmar adalah cinta damai dan anti kekerasan, beberapa kelompok politik berdasarkan ideologi agama di kalangan Buddhis Myanmar bermunculan akibat adanya gelojak politik berkepanjangan disertai kebencian terhadap etnis minoritas di sana. Salah satunya adalah Gerakan 969 yang dipimpin oleh Bhikkhu Ashin Wirathu.

Gerakan 969 merupakan gerakan politik yang bertujuan terutama melindungi orang-orang Rakhine dari teror kelompok radikal Rohingya. Angka 969 diinspirasi dari numerologi dalam Buddhisme, yaitu 9 atribut Sang Buddha, 6 atribut Dhamma, dan 9 atribut Sangha. Gerakan ini diinspirasi dari buku yang ditulis oleh U Kyaw Lwin, seorang pejabat Kementerian Agama Myanmar, pada tahun 1990-an. Gerakan ini mendapatkan banyak dukungan setelah peristiwa kerusuhan etnis di Rakkhine tahun 2012. Para pendukung gerakan sendiri ini menolak disebut gerakan radikal atau ekstremis yang anti-Muslim.

Ashin Wirathu bergabung dengan Gerakan 969 pada tahun 2001  dan pernah dihukum penjara pada tahun 2003 selama 25 tahun, namun dibebaskan pada tahun 2010 bersama dengan tahanan politik lainnya. Sejak reformasi pemerintahan tahun 2011 ia aktif berceramah di YouTube dan Facebook dan mendapatkan banyak pengikut di media sosial. Setelah kerusuhan rasial terjadi di Rakhine tahun 2012, media-media Barat menyebutkan bahwa ia menyuarakan kebencian terhadap komunitas Muslim Rohingya, tetapi ia sendiri menolak disebut bertanggung jawab atas kekerasan anti-Muslim di negeri itu. Kepada media lokal, ia menyatakan dirinya membenci kekerasan dan menentang terorisme.

Sejak awal pemerintahan militer Myanmar sendiri tidak berbuat apa-apa terhadap gerakan Ashin Wirathu ini, namun justru terkesan membiarkan karena gerakan ini memberikan suara pada pandangan populer terhadap komunitas Rohingya yang tidak dapat disuarakan oleh pemerintah karena alasan diplomatis. Walaupun Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu dan pemerintahan berganti, pemerintah Myanmar saat ini masih bersikap diam terhadap gerakan Ashin Wirathu ini seperti pada masa pemerintahan sebelumnya karena masih banyak pejabat pemerintah yang bersimpati pada gerakan ini.

Gerakan Ashin Wirathu mendapatkan cukup banyak kecaman baik dari orang-orang Myanmar sendiri maupun pihak internasional. Beberapa tokoh Myanmar yang menentangnya, misalnya Bhikkhu U Ottara dan Bhikkhu Arriya Wuttha Bewuntha serta aktivis pro-demokrasi Maung Zarni. Beberapa tokoh spiritual Buddhis dunia, seperti Thich Nhat Hanh, Bhikkhu Bodhi, Shodo Harada dan Dalai Lama juga mengecam tindak kekerasan terhadap Muslim di Myanmar dan menyuarakan perdamaian melalui praktek  utama Buddhis yang tanpa kekerasan, saling menghormati dan berbelas kasih.

Kondisi Terkini di Rakkhine

Setelah kerusuhan rasial yang pecah pada tahun 2012, pada tahun 2016 kembali merebak kabar bahwa terjadi pembantaian etnis (genosida) Rohingya oleh militer Myanmar. Namun kabar ini dibantah oleh Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi Djunisanyoto, yang meninjau lokasi pembakaran di sebuah desa di Rakhine pada bulan November 2016. Ito menjelaskan bahwa memang betul ada rumah-rumah yang dibakar, tetapi hanya sebagian kecil saja (dari ratusan rumah yang ada hanya belasan yang terbakar). Sebab pembakaran itu bukan dari pihak militer Myanmar, melainkan adanya serangan kelompok separatis Rohingya yang menamakan dirinya RSO (Rohingya Solidarity Organisation).

Pada akhir Agustus 2017 yang lalu kelompok militan yang menamakan dirinya sebagai ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) menyerang sejumlah pos polisi di Rakkhine utara dan menewaskan 10 orang polisi, 1 orang tentara, dan seorang petugas imigrasi serta melukai 9 orang petugas keamanan dan sejumlah warga sipil. Hingga tulisan ini dibuat, keadaan masih tidak aman di sejumlah daerah membuat ribuan warga di Rakhine mengungsi, termasuk warga yang beragama Buddha dan HIndu di sana. Informasi terakhir korban berjumlah 100 orang dari pihak keamanan, warga sipil dan pihak militan.

Kelompok ARSA ini muncul pertama kali pada Oktober 2016 ketika melakukan serangan serupa pada pos polisi yang menewaskan 9 orang petugas. Tujuan utama kelompok ini adalah melindungi minoritas Muslim Rohingya dari penindasan di Myanmar. Pemimpinnya, menurut International Crisis Group, adalah Ata Ullah, seorang Rohingya yang lahir di Pakistan dan dibesarkan di Arab Saudi. Namun mereka membantah memiliki kaitan dengan kelompok jihad mana pun dan mengatakan bahwa anggota-anggota mereka adalah kaum muda Rohingya yang marah oleh berbagai peristiwa sejak kekerasan komunal pada tahun 2012.

Setelah serangan militan pada bulan Oktober 2016, militer Myanmar melakukan operasi pembalasan yang keras dan banyak warga Rohingya menuduh bahwa dalam operasi itu pasukan keamanan melakukan pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran desa dan penyiksaan. Data dari PBB dan IOM (International Organisation for Migration) menunjukkan lebih dari 100.000 orang telah melarikan diri ke Bangladesh.

Sementara itu, pasukan perbatasan Bangladesh mengusir gelombang pengungsi ini karena negaranya sudah menampung banyak imigran Rohingya sejak kekerasan di Rakhine memanas beberapa tahun lalu, walaupun PBB menyuarakan agar Bangladesh dapat membantu mereka, terutama perempuan dan anak-anak. Pemerintah Bangladesh sendiri menawarkan operasi militer gabungan dengan Myanmar untuk melawan militan Rohingya di perbatasan dengan Myanmar.

Saat ini, pemerintah baru Myanmar sejak Maret 2016 di bawah Aung San Suu Kyi tidak dapat berbuat banyak terhadap banyaknya pelanggaran HAM akibat konflik berkepanjangan di Rakkhine karena berdasarkan konstitusi yang berlaku, militer beroperasi secara independen dari pemerintah. Selain itu, mayoritas posisi penting pemerintahan masih dikuasai para pejabat militer sehingga sulit bagi pemerintah sipil mengambil alih kendali sepenuhnya dari militer.

Suu Kyi telah berupaya mendamaikan konflik di Rakkhine, tetapi tampaknya tidak berbuah hasil yang diharapkan. Ia telah membentuk Central Committee for Implementation of Peace and Development in Rakhine State yang bertugas mendorong kesepahaman dan kepercayaan antara etnis mayoritas Burma dan minoritas Rohingya, tetapi hanya beranggotakan sedikit orang Rohingya sehingga tidak efektif membawakan perdamaian di negara bagian tersebut. Selain itu, Suu Kyi juga membentuk Advisory Commission on Rakhine State yang diketuai oleh mantan sekjen PPB Kofi Annan, namun mendapat pertentangan dari para nasionalis Buddhis yang menganggap dimasukkannya anggota orang asing dalam komisi tersebut akan mengancam kedaulatan nasional. Setelah para legislator Rakkhine, yang kebanyakan adalah para nasionalis Buddhis, menolak komisi-komisi ini, kedua komisi tersebut tidak berdaya untuk menghentikan kekerasan di Rakkhine.

Respon Para Tokoh Agama Indonesia

Para tokoh Buddhis Indonesia mengecam aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya di Myanmar. Melalui Bhikkhu Sri Pannavaro, Sangha Theravada Indonesia (STI) dalam pernyataan sikapnya mendesak pemerintah Myanmar untuk mengambil tindakan hukum pada pelaku kekerasan rasial di Rakkhine secepat dan seadil mungkin. STI juga mendesak pemerintah Myanmar bersama pemerintah lain di ASEAN untuk mencari solusi bagi etnis Rohingya yang sudah turun-temurun tinggal di Myanmar dengan memberikan jaminan tempat tinggal dan hidup yang nyaman. 

Sementara itu, Sangha Agung Indonesia (SAGIN) juga mendesak pemerintah Myanmar memberikan perlindungan dan bantuan untuk kelompok minoritas dalam hal ini masyarakat Rakkhine dan menghimbau pemerintah Myanmar untuk memenuhi hak asasi dasar (status warga negara dan tempat tinggal) untuk masyarakat Rohingya. SAGIN juga menghimbau ke semua jaringan Buddhayana di bawah binaannya untuk menggalakkan bantuan kemanusiaan berupa moril dan materiil untuk masyarakat Rakkhine.

Pada tanggal 30 Agustus 2017 majelis-majelis agama Buddha di Indonesia dari 16 organisasi mengeluarkan 10 pernyataan sikap terhadap kekerasan yang berkepanjangan di Rakkhine, di antaranya menyuarakan Keprihatinan mendalam atas krisis kemanusiaan di Rakhine dan penghentian kebencian dan tindak kekerasan di sana, mendesak pemerintah Myanmar untuk memberikan perlindungan HAM terhadap masyarakat Rakkhine, menolak segala bentuk provokasi untuk memperluas dan membawa isu konflik dan krisis Rakhine ke Indonesia, dan menghimbau seluruh umat beragama, khususnya umat Buddha untuk tidak terprovokasi.

Dari kalangan non-Buddhis, sejumlah tokoh dan ormas Muslim Indonesia juga mengecam kekerasan yang berkepanjangan di Rakkhine. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) saat menghadiri dialog dengan para bhiksu dan pemuka agama di Vihara Dharma Bakti, Jakarta Barat, menegaskan bahwa peristiwa kekerasan yang dialami warga Rohingya di Myanmar tidak ada kaitannya dengan konflik agama antara umat Islam dan Buddha. Menurut Cak Imin, tidak dapat dipungkiri sejak peristiwa kekerasan tersebut, banyak pihak yang mengaitkannya dengan isu agama mengingat mayoritas masyarakat Myanmar memeluk agama Buddha dan Rohingya beragama Islam. Namun demikian, kekerasan pemerintah Myanmar justru mendapat kecaman dari seluruh tokoh agama, termasuk pemuka agama Buddha di Indonesia.

KH R Ahmad Azaim Ibrahimy, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, mengatakan persoalan yang terjadi di Myanmar tidak lebih dari persoalan wilayah dan kekuasaan, hanya saja untuk mendapatkannya penguasa Myanmar yang kebetulan beragama Buddha melakukannya denagn cara kekerasan terhadap penduduk Rohingya yang kebetulan beragama Islam. Tokoh Muslim kharismatik itu juga menegaskan bahwa kekejaman pemimpin dan umat Buddha di Myanmar sama sekali tidak mewakili perilaku umat Buddha di Indonesia bahkan di dunia sekalipun. Menurutnya, pemikiran bahwa tragedi kemanusiaan di Rohingya adalah konflik agama tidak dapat dibiarkan karena sangat berbahaya bagi kehidupan antar umat beragama di suatu negara bahkan bagi perdamaian dunia.

Sementara itu, Gerakan Pemuda Ansor, organisasi kemasyarakatan pemuda yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), mengeluarkan pernyataan sikapnya terhadap konflik di Rakkhine, di antaranya bahwa sesungguhnya tragedi kemanusiaan terhadap etnis Rohingya merupakan konflik geopolitik, khususnya pertarungan kuasa dan kekuasaan (yang tidak seimbang) yang didasarkan pada perebutan secara paksa tanah dan sumber daya di wilayah tersebut, terjadinya tragedi ini karena situasi di mana pemeluk agama mayoritas yang sebenarnya moderat memilih diam dan bukan memilih melawan pada saat terjadi persekusi terhadap kaum minoritas, dan mengajak organisasi kepemudaan dan masyarakat Indonesia lainnya untuk melakukan aksi solidaritas kemanusiaan dan lebih aktif melakukan people-to-people diplomacy.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konflik Rohingya telah diperumit oleh kuatnya dominasi militer dalam pemerintahan saat ini dan penerapan ideologi politik yang memanfaatkan isu agama di Myanmar. Oleh sebab itu, para nasionalis Buddhis Myanmar mau tidak mau memilih opsi untuk mempertahankan kedaulatan tanah airnya dari serangan separatis Rohingya dengan operasi militer. Adalah tidak mudah bagi pihak luar untuk mengintervensi kebijakan militer Myanmar tersebut, tetapi hal ini bukanlah tidak mungkin karena adanya desakan internasional, termasuk pemerintah Indonesia sendiri telah gencar melakukan pendekatan diplomatis terhadap pemerintah Myanmar.

Adalah penting agar kita mudah tidak terprovakasi oleh berbagai isu dan sentimen SARA yang beredar saat ini dan tetap menciptakan suasana yang rukun dan damai di dalam tanah air kita sendiri. Jangan sampai konflik di negeri orang lain terbawa ke negeri sini yang berpotensi merugikan keutuhan dan persatuan bangsa kita sendiri.

Semoga semua makhluk berbahagia dan bebas dari kebencian, permusuhan dan konflik.

Sumber:

Dubes RI untuk Myanmar Bantah Terjadi Genosida Muslim Rohingya
Buddhism and violence
Saffron Revolution
969 Movement
Ashin Wirathu
Ashin Wirathu: Myanmar and its vitriolic monk
Krisis terbaru Rohingya: bagaimana seluruh kekerasan bermula?
Bangladesh Tawarkan Bantuan Militer untuk Lawan Rohingya
Serangan Teroris “Rohingya”, Ribuan Warga Rakhine Mengungsi ke Vihara dan Sekolah
Aung San Suu Kyi sangkal terjadi genosida Rohingya
Understanding Aung San Suu Kyi’s Silence on the Rohingya
Umat Buddha Indonesia Desak Pemerintah Myanmar Lindungi Etnis Rohingya
Kecam Kekerasan terhadap Rohingya, Wihara Mendut Tolak Kedatangan Aung San Suu Kyi
10 Poin Sikap Majelis-majelis Agama Buddha Indonesia Terkait Rohingya
Cak Imin: Kekerasan terhadap Warga Rohingya Bukan Konflik Agama
Kiai Azaim: Tragedi Rohingya Bukan Konflik Agama
Ini Pernyataan Sikap GP Ansor Terkait Nasib Rohingya, Arakan-Rakhine, Myanmar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun