Para tokoh Buddhis Indonesia mengecam aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya di Myanmar. Melalui Bhikkhu Sri Pannavaro, Sangha Theravada Indonesia (STI) dalam pernyataan sikapnya mendesak pemerintah Myanmar untuk mengambil tindakan hukum pada pelaku kekerasan rasial di Rakkhine secepat dan seadil mungkin. STI juga mendesak pemerintah Myanmar bersama pemerintah lain di ASEAN untuk mencari solusi bagi etnis Rohingya yang sudah turun-temurun tinggal di Myanmar dengan memberikan jaminan tempat tinggal dan hidup yang nyaman.
Sementara itu, Sangha Agung Indonesia (SAGIN) juga mendesak pemerintah Myanmar memberikan perlindungan dan bantuan untuk kelompok minoritas dalam hal ini masyarakat Rakkhine dan menghimbau pemerintah Myanmar untuk memenuhi hak asasi dasar (status warga negara dan tempat tinggal) untuk masyarakat Rohingya. SAGIN juga menghimbau ke semua jaringan Buddhayana di bawah binaannya untuk menggalakkan bantuan kemanusiaan berupa moril dan materiil untuk masyarakat Rakkhine.
Pada tanggal 30 Agustus 2017 majelis-majelis agama Buddha di Indonesia dari 16 organisasi mengeluarkan 10 pernyataan sikap terhadap kekerasan yang berkepanjangan di Rakkhine, di antaranya menyuarakan Keprihatinan mendalam atas krisis kemanusiaan di Rakhine dan penghentian kebencian dan tindak kekerasan di sana, mendesak pemerintah Myanmar untuk memberikan perlindungan HAM terhadap masyarakat Rakkhine, menolak segala bentuk provokasi untuk memperluas dan membawa isu konflik dan krisis Rakhine ke Indonesia, dan menghimbau seluruh umat beragama, khususnya umat Buddha untuk tidak terprovokasi.
Dari kalangan non-Buddhis, sejumlah tokoh dan ormas Muslim Indonesia juga mengecam kekerasan yang berkepanjangan di Rakkhine. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) saat menghadiri dialog dengan para bhiksu dan pemuka agama di Vihara Dharma Bakti, Jakarta Barat, menegaskan bahwa peristiwa kekerasan yang dialami warga Rohingya di Myanmar tidak ada kaitannya dengan konflik agama antara umat Islam dan Buddha. Menurut Cak Imin, tidak dapat dipungkiri sejak peristiwa kekerasan tersebut, banyak pihak yang mengaitkannya dengan isu agama mengingat mayoritas masyarakat Myanmar memeluk agama Buddha dan Rohingya beragama Islam. Namun demikian, kekerasan pemerintah Myanmar justru mendapat kecaman dari seluruh tokoh agama, termasuk pemuka agama Buddha di Indonesia.
KH R Ahmad Azaim Ibrahimy, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, mengatakan persoalan yang terjadi di Myanmar tidak lebih dari persoalan wilayah dan kekuasaan, hanya saja untuk mendapatkannya penguasa Myanmar yang kebetulan beragama Buddha melakukannya denagn cara kekerasan terhadap penduduk Rohingya yang kebetulan beragama Islam. Tokoh Muslim kharismatik itu juga menegaskan bahwa kekejaman pemimpin dan umat Buddha di Myanmar sama sekali tidak mewakili perilaku umat Buddha di Indonesia bahkan di dunia sekalipun. Menurutnya, pemikiran bahwa tragedi kemanusiaan di Rohingya adalah konflik agama tidak dapat dibiarkan karena sangat berbahaya bagi kehidupan antar umat beragama di suatu negara bahkan bagi perdamaian dunia.
Sementara itu, Gerakan Pemuda Ansor, organisasi kemasyarakatan pemuda yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), mengeluarkan pernyataan sikapnya terhadap konflik di Rakkhine, di antaranya bahwa sesungguhnya tragedi kemanusiaan terhadap etnis Rohingya merupakan konflik geopolitik, khususnya pertarungan kuasa dan kekuasaan (yang tidak seimbang) yang didasarkan pada perebutan secara paksa tanah dan sumber daya di wilayah tersebut, terjadinya tragedi ini karena situasi di mana pemeluk agama mayoritas yang sebenarnya moderat memilih diam dan bukan memilih melawan pada saat terjadi persekusi terhadap kaum minoritas, dan mengajak organisasi kepemudaan dan masyarakat Indonesia lainnya untuk melakukan aksi solidaritas kemanusiaan dan lebih aktif melakukan people-to-people diplomacy.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konflik Rohingya telah diperumit oleh kuatnya dominasi militer dalam pemerintahan saat ini dan penerapan ideologi politik yang memanfaatkan isu agama di Myanmar. Oleh sebab itu, para nasionalis Buddhis Myanmar mau tidak mau memilih opsi untuk mempertahankan kedaulatan tanah airnya dari serangan separatis Rohingya dengan operasi militer. Adalah tidak mudah bagi pihak luar untuk mengintervensi kebijakan militer Myanmar tersebut, tetapi hal ini bukanlah tidak mungkin karena adanya desakan internasional, termasuk pemerintah Indonesia sendiri telah gencar melakukan pendekatan diplomatis terhadap pemerintah Myanmar.
Adalah penting agar kita mudah tidak terprovakasi oleh berbagai isu dan sentimen SARA yang beredar saat ini dan tetap menciptakan suasana yang rukun dan damai di dalam tanah air kita sendiri. Jangan sampai konflik di negeri orang lain terbawa ke negeri sini yang berpotensi merugikan keutuhan dan persatuan bangsa kita sendiri.
Semoga semua makhluk berbahagia dan bebas dari kebencian, permusuhan dan konflik.
Sumber:
Dubes RI untuk Myanmar Bantah Terjadi Genosida Muslim Rohingya
Buddhism and violence
Saffron Revolution
969 Movement
Ashin Wirathu
Ashin Wirathu: Myanmar and its vitriolic monk
Krisis terbaru Rohingya: bagaimana seluruh kekerasan bermula?
Bangladesh Tawarkan Bantuan Militer untuk Lawan Rohingya
Serangan Teroris “Rohingya”, Ribuan Warga Rakhine Mengungsi ke Vihara dan Sekolah
Aung San Suu Kyi sangkal terjadi genosida Rohingya
Understanding Aung San Suu Kyi’s Silence on the Rohingya
Umat Buddha Indonesia Desak Pemerintah Myanmar Lindungi Etnis Rohingya
Kecam Kekerasan terhadap Rohingya, Wihara Mendut Tolak Kedatangan Aung San Suu Kyi
10 Poin Sikap Majelis-majelis Agama Buddha Indonesia Terkait Rohingya
Cak Imin: Kekerasan terhadap Warga Rohingya Bukan Konflik Agama
Kiai Azaim: Tragedi Rohingya Bukan Konflik Agama
Ini Pernyataan Sikap GP Ansor Terkait Nasib Rohingya, Arakan-Rakhine, Myanmar