Dewa tersebut berkata: "Perwujudan Avalokitesvara tidak terikat oleh tempat, namun perwujudan fisiknya, memiliki jodoh karma yang sangat kuat di Pegunungan Gandhamadana (Xiangshan)." Master berkata: "Gandhamadana (Xiangshan) – di manakah pegunungan tersebut berada?"
Deva tersebut berkata: "Dua ratus li ke selatan Gunung Song terdapat tiga bukit yang sejajar. Bukit yang tengah bernama Xiangshan dan di tempat itulah Sang Bodhisattva mencapai pencerahan. Di tenggara bukit tersebut hiduplah seorang raja di masa lampau, bernama Raja Subhavyuha (Miaozhuangyan). Ia mempunyai istri bernama Baode atau Jingde (Vimaladatta). Pikiran sang raja berada dalam ketidaktahuan dan tidak menghormati Triratna (Buddha, Dharma, dan Sangha). Ia tidak memiliki pangeran (anak laki-laki), hanya memilki 3 orang putri, yang tertua bernama Miaoyan, yang kedua Miaoyin (Gadgadasvara) dan yang paling muda Miaoshan. Dari tiga putrinya ini, dua telah menikah. Hanya yang ketiga […] Pada saat Miaoshan masih berada dalam kandungan, ibunya bermimpi menelan bulan. Ketika malam kelahiran tiba, seluruh bumi bergetar, bau harum yang tidak dikenal memenuhi ruangan, cahaya bersinar baik di dalam maupun di luar. Masyarakat di kerajaan tersebut menjadi terkejut dan kagum, berpikir bahwa ada kebakaran di istana. Di malam ia lahir, tubuhnya telah bersih tanpa dimandikan, tanda-tanda sucinya agung dan mulia, dipayungi oleh awan warna warni. Masyarakat di kerajaan tersebut berkata bahwa mungkin seorang suci telah muncul di kerajaan mereka. Sang raja ayahnya juga berpikir demikian dan memberinya nama Miaoshan. Ketika ia tumbuh, perilaku dan sikapnya jauh melampaui orang biasa, ia selalu memakai pakaian lusuh dan tidak memakai perhiasan sama sekali, ia hanya makan sekali dalam sehari dan tidak pernah makan makanan yang rasanya sangat kuat. Ia tidak pernah berbicara omong kosong dan ketika ia berbicara, selalu untuk menasehati. Ia banyak berbicara mengenai sebab akibat, ketidakkekalan, ilusi dan ketidaktahuan. Di kerajaan ia dikenal memiliki "hati Buddha" [Bodhicitta]. Mereka yang mengikuti ajarannya semuanya berubah menjadi baik. Mereka masuk ke dalam kehidupan pengendalian diri dan disiplin religius tanpa melanggar keputusan mereka.
Miaoshan Ingin Menjalankan Kehidupan Spiritual
Ketika sang raja mendengar ini, ia berkata pada istrinya: "Anak perempuan termuda kita mengabdikan hidupnya pada kebaikan [Dharma]. Di kerajaan ia mengajar para pelayan wanitaku untuk menjalani kehidupan religius dan menanggalkan perhiasan. Ini sangat dekat dengan […]." […] Ia kemudian berkata pada anak perempuannya: "Engkau sekarang telah tumbuh besar. Engkau harus menuruti perintahku, tidak menciptakan kebingungan terhadap para pelayan wanitaku di dalam istana. Ayahmu sebagai pemimpin kerajaan tidak senang dengan hal ini. Aku dan ibumu akan mencarikan suami untukmu. Mulai dari sekarang engkau harus mengikuti tradisi kerajaan, tidak belajar ajaran salah yang dapat merusak kebiasaan dari kerajaanku."
Miaoshan mendengar perintah ayahnya sang raja dan menjawab dengan senyuman, "Ayahku sang raja melihat […]. Sungai nafsu deras ombaknya, lautan penderitaan tidak memiliki dasar. […] datang, tidak ada jalan untuk menghindar darinya. Aku tidak akan pernah, hanya untuk kepuasan dalam satu kehidupan saja, jatuh ke dalam penderitaan selama berkalpa-kalpa lamanya. Ketika aku merenungkan hal ini, menyebabkan keinginan yang kuat muncul dalam diriku. Aku berikrar untuk mencari cara menjadi bhiksuni, untuk menempuh disiplin dan belajar Dharma, untuk mendapatkan kebijaksanaan agung Sang Buddha, untuk membalas budi cinta kasih kedua orang tuaku dan membebaskan semua makhluk dari penderitaan mereka. Jika engkau memerintahkanku untuk menikah, aku tidak dapat memberanikan diri untuk mematuhinya. Aku memohon padamu, berikanlah belas kasihmu!"
Ketika ayahnya sang raja mendengar kata-kata ini ia berkata pada istrinya: "Anak perempuan termuda kita tidak akan […]." Istrinya dikirim untuk pergi ke anaknya dan mencoba untuk membujuknya. Namun Miaoshan berkata: "Kenapa engkau dengan susah payah mencoba untuk membuat anak perempuanmu menikah? Aku akan mematuhi perintah ibuku jika itu dapat menghalangi datangnya tiga ketidakberuntungan". Ibunya berkata: "Apa yang kamu maksud dengan tiga ketidakberuntungan?"
Anak perempuannya berkata: "Yang pertama adalah ini: ketika laki-laki di dunia ini masih muda, wajah mereka tampan, setampan bulan giok, namun ketika usia tua datang, rambut menjadi putih, wajahnya mengkerut, segala gerakan mereka memburuk tidak seperti ketika mereka masih muda. Yang kedua adalah ini: otot seorang pria bisa sehat dan kuat, ia dapat berjalan bagaikan terbang di udara, namun ketika penyakit datang padanya, ia berbaring di tempat tidur tanpa satupun kenikmatan hidup. Yang ketiga adalah ini: seorang pria mungkin memiliki sekelompok besar teman, dapat mempunyai mereka yang paling dekat dan paling dikasihinya berada di sampingnya, namun ketika suatu hari ketidakkekalan datang, bahkan kerabat dekat seperti ayah maupun anak laki-laki tidak dapat menggantikan tempatnya. Jika seorang suami dapat menolak atau menghalau tiga ketidakberuntungan ini, aku akan menikahinya. Jika ia tidak bisa, aku berikrar untuk tidak menikah. Aku kasihan kepada manusia di dunia ini, terjerumus ke dalam penderitaan seperti itu. Jika kita menghendaki untuk menghindari hal-hal tersebut, maka hanya bisa dilakukan lewat ajaran kebenaran Sang Buddha. Tujuanku adalah menjadi seorang bhiksuni dengan harapan mendapatkan terwujudnya pencegahan dari ketiga ketidakberuntungan semua manusia melalu disiplin Dharma. Dengan alasan ini, aku dengan pengertian benar, berikrar […].
Tidak Menghiraukan Bujukan Ibu dan Saudari-Saudarinya
Sang raja menjadi semakin marah. Ia mengusir keluar anak perempuannya ke halaman [taman kerajaan], di bawah jerami […], makanan dan minuman tidak diperbolehkan lagi untuk diberikan padanya dan tidak ada pelayan wanita satupun yang diperbolehkan untuk pergi ke dekatnya. Dengan rasa kasih dan perhatian, ibunya sang ratu secara diam-diam memberitahu para pelayan istana untuk menyajikan makanan dan minuman. Sang raja berkata: “Aku melihat bahwa meskipun aku mengusirnya keluar ke halaman, ia tidak takut akan kematian dan [bahkan] melakukan segala sesuatu tanpa makanan. Engkau harus membawa kedua kakak perempuannya, Miaoyan dan Miaoyin untuk pergi dan melihatnya, memintanya untuk mengubah jalan pikirannya. Dengan cara itulah ayah dan anak dapat bertemu lagi; jika tidak, maka […].
[…] pergi ke taman luar dan melihat Miaoshan duduk dengan tegap dan tanpa bergerak, tidak memperhatikan ibunya sama sekali. Sang ibu datang menghampirinya, menepuknya dan menangis keras-keras sambil berkata: “Sejak engkau meninggalkan istana, kedua mataku hampir saja buta, tubuh dalamku telah tercerai-berai. Bagaimana kamu bisa begitu tenang ketika engkau membawa ibumu dalam kondisi seperti ini? Ayahmu di kerajaan sangat takut, khawatir, hari-hari ini belum mengadakan pengadilan dan urusan kerajaan tidak dihadiri. Ia telah memberitahu ibu, Miaoyan dan Miaoyin untuk datang bersama-sama membujukmu: jika engkau memiliki pikiran belas kasih pada ayahmu, maka kembalilah […] praktek yang bagus.”
Miaoshan berkata: “Anakmu tidak mengalami penderitaan di sini – mengapa orang tuaku harus pergi sampai sejauh ini? Di [dalam] semua keterikatan batin yang ada di dunia ini, tidak ada istilah pembebasan. Jika keluarga dekat saling berkumpul, mereka pasti akan berpisah dan terpencar. Meskipun kedua orang tuaku bersama-sama terus sampai usia seratus tahun, ketidakkekalan akan datang menghampiri, dan mereka harus berpisah. Tenanglah, ibuku. Beruntung engkau memiliki kedua kakak perempuanku untuk menjagamu. Dengan tujuan apa ibu membutuhkan anak satu ini? Kembalilah ke dalam istana, karena anakmu ini tidak memiliki niat untuk kembali.”