Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dhammacakkappavattana Sutta: Ajaran Pertama Sang Buddha (bagian 2)

20 Juli 2011   13:30 Diperbarui: 31 Juli 2016   21:23 3884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Sambungan dari bagian pertama)

Penjelasan Dhammacakkappavattana Sutta

Empat Kebenaran Mulia

Setelah menjelaskan tentang Jalan Tengah yang mendukung pandangan dan pengetahuan serta membawa pada ketenangan, kebijaksanaan yang lebih tinggi, pencerahan, dan Nibbāna, Sang Buddha menguraikan tentang Empat Kebenaran Mulia kepada lima pertapa.

Empat Kebenaran Mulia merupakan kebenaran yang ditemukan oleh Sang Buddha dalam upayanya mencapai Penerangan Sempurna. Melalui praktek Jalan Tengah yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, seseorang dapat menyadari dan menyelami Empat Kebenaran Mulia. Apakah para Buddha muncul atau tidak di dunia ini, kebenaran ini selalu ada. Adalah seorang Buddha yang mengungkap kebenaran ini kepada dunia yang telah melupakannya. Kebenaran ini tidak berubah seiring waktu karena mereka adalah kebenaran yang abadi.

Empat Kebenaran Mulia terdiri atas Kebenaran Mulia tentang Penderitaan (dukkha), Sebab Penderitaan (dukkha samudaya), Lenyapnya Penderitaan (dukkha nirodha), dan Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan (dukkha nirodha gāminipatipadā).

Kebenaran Mulia tentang Penderitaan

Secara harfiah, kata "dukkha" diterjemahkan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, atau hal yang tidak menyenangkan. Sebagai bentuk perasaan, dukkha berarti yang sulit untuk dipertahankan (du = sulit, kha = dipertahankan). Sebagai kebenaran, dukkha digunakan dalam pengertian rendah dan kosong (du = rendah, kha = kosong). Dunia ini bersifat tidak menyenangkan karena ia rendah; dunia ini kosong dari realitas yang sejati. Oleh sebab itu, dukkha berarti kekosongan yang rendah.

Kesenangan dan kebahagiaan yang ada di dunia ini hanyalah bersifat sementara dan hanya pemuasan keinginan. Bagi mereka yang telah menyadarinya dengan pandangan benar, kehidupan ini tidak memuaskan. Kebahagiaan sejati bukan kebahagiaan yang didasarkan pada pemuasan keinginan karena keinginan jika dipuaskan tidak akan habis-habisnya. Oleh sebab itu, para bijaksana menerima kebahagiaan dan penderitaan dunia dengan seimbang dan tidak melekat padanya.

Semua yang muncul atau lahir pasti akan tunduk pada kelapukan atau usia tua, penyakit, dan akhirnya kematian. Tidak ada yang dapat mengelak dari empat jenis penderitaan fisik ini. Keinginan atau harapan yang tidak terpenuhi juga adalah penderitaan. Kita tidak berharap untuk bertemu dengan hal-hal yang tidak menyenangkan atau orang yang tidak disukai dan berharap untuk bertemu dengan hal-hal yang menyenangkan atau orang yang disukai. Namun, harapan atau keinginan tersebut tidak selalu terjadi. Seringkali apa yang tidak kita harapkan itulah yang terjadi pada kita. Ini menyebabkan penderitaan batin yang tidak terelakkan oleh siapa pun.

Ini bukan berarti ajaran Buddha bersifat pesimistik karena memandang kehidupan ini sebagai penderitaan. Sang Buddha juga mengajarkan bahwa terdapat kebahagiaan dari perolehan duniawi, seperti kekayaan, kedudukan, dan kehormatan. Namun jika kebahagiaan yang bersifat sementara ini dipandang dengan penuh kemelekatan dan tidak dipergunakan sebaik-baiknya, ini akan menjadi sumber penderitaan. Kebahagiaan sejati bukan terletak pada hal-hal yang di luar diri kita, melainkan dapat ditemukan dalam diri kita.

Secara singkat, penderitaan berasal dari kemelekatan pada jasmani dan batin, yang disebut lima kelompok kehidupan. Lima kelompok kehidupan merupakan lima unsur yang membentuk kehidupan semua makhluk, yang terdiri atas kelompok jasmani (rupa), perasaan (vedana), pencerapan atau persepsi (sañña), bentuk-bentuk pikiran (sankhara), dan kesadaran (viññana). Empat kelompok terakhir membentuk apa yang disebut batin atau pikiran.

Kelompok jasmani merupakan tubuh kita yang dapat dilihat dan dirasakan secara fisik. Menurut filsafat Buddhis (Abhidhamma), tubuh fisik terbentuk dari empat unsur utama, yaitu unsur padat, cair, panas, dan gerak. Unsur padat terlihat pada bagian tubuh yang padat seperti daging, otot, dan tulang; unsur cair terlihat pada bagian tubuh berbentuk cairan seperti darah, nanah, dan ingus; unsur panas memberikan energi dan vitalitas pada tubuh yang terlihat dari suhu dan panas tubuh; unsur gerak memberi pergerakan pada tubuh dan fungsi pernapasan adalah salah satu contohnya. Dalam tubuh jasmani inilah terdapat pancaindera yang menjadi sarana hubungan atau kontak antara batin dengan dunia luar, yaitu objek-objek pancaindera tersebut.

Kelompok perasaan merupakan semua perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan maupun netral yang timbul dari kontak antara indera dengan objeknya. Kelompok pencerapan merupakan fungsi mental yang mengenali objek yang ditanggapi oleh indera; di sinilah seseorang dapat mengingat suatu objek dengan ingatannya. Kelompok bentuk-bentuk pikiran merupakan semua bentuk mental yang timbul karena kontak indera dengan objeknya, seperti kehendak, dorongan mental, pemikiran, gagasan, keyakinan, kebijaksanaan, keinginan, keserakahan, dan kebencian. Dari bentuk-bentuk pikiran inilah hukum karma bekerja dan memberikan akibat sesuai dengan baik atau buruknya bentuk pikiran tersebut. Kelompok kesadaran merupakan fungsi mental yang mengetahui sepenuhnya objek tersebut. Dalam hal ini antara kesadaran dan faktor mental lainnya (perasaan, pencerapan, dan bentuk-bentuk pikiran) adalah tidak terpisahkan dan berkaitan satu sama lainnya, seperti buah apel yang tidak dapat dibedakan dari atribut-atributnya seperti bau, bentuk, dan warnanya. Keempat kelompok mental inilah membentuk keseluruhan dunia psikologis kita.

Melekat pada jasmani, seseorang menganggap jasmani sebagai aku, diriku, milikku; berharap jasmani tersebut kekal dan tidak berubah. Ketika jasmani ini berubah, melapuk karena usia tua, diliputi penyakit, dan dihantui kematian, seseorang yang melekat padanya tidak dapat menerima hal ini, maka timbul penderitaan. Demikian pula, melekat pada perasaan, seseorang menganggap perasaan sebagai aku, diriku, miliki; berharap perasaan yang menyenangkan selalu timbul dan tidak mengharapkan timbulnya perasaan yang tidak menyenangkan. Namun saat perasaan yang tidak menyenangkan timbul, perasaan yang menyenangkan lenyap, maka seseorang yang melekat pada perasaan merasakan penderitaan. Demikian juga hal yang sama berlaku untuk pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran.

Di sini lima kelompok kehidupan merupakan objek dari kemelekatan (upadana) itu sendiri. Kemelekatan atau keterikatan itulah yang menimbulkan hal-hal yang tidak menyenangkan atau tidak memuaskan yang kita sebut penderitaan. Pemuasan kesenangan indera juga berasal dari kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan ini. Bagi mereka yang tercerahkan (para Buddha dan Arahat), walaupun memiliki batin dan jasmani dalam kehidupan terakhirnya sebelum mencapai Nibbana yang sempurna (Parinibbana), tidak terdapat kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan lagi. Oleh sebab itu, penderitaan tidak timbul dalam diri mereka; meskipun mereka masih merasakan penderitaan fisik karena sakit, luka, dan sejenisnya, tetapi batin mereka tetap seimbang dan tidak terpengaruh.

"Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan." (Dhammapada syair 214)

Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan

Keinginan yang menyebabkan kelahiran kembali dan disertai nafsu dan kemelekatan adalah sumber penderitaan atau permasalahan kehidupan ini. Terdapat tiga jenis keinginan, yaitu keinginan terhadap kesenangan indera, keinginan terhadap kelangsungan, dan keinginan terhadap pemusnahan diri.

Keinginan terhadap kesenangan indera meliputi semua jenis keinginan terhadap objek-objek yang menyenangkan bagi indera kita, seperti bentuk yang indah, suara yang merdu, rasa yang enak, sentuhan yang menyenangkan, dan seterusnya, yang menimbulkan pemuasan nafsu-nafsu indera. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan atau kegelapan batin yang menganggap objek-objek tersebut adalah kekal dan menyenangkan dan oleh sebab itu dianggap sumber kebahagiaan.

Keinginan terhadap kelangsungan merupakan keinginan yang didasari oleh pandangan tentang adanya suatu diri yang kekal yang akan tetap ada setelah kematian (eternalisme). Dalam hal ini, seseorang memuaskan keinginannya agar dirinya tetap dapat menikmati kesenangan indera tersebut pada masa yang akan datang, bahkan setelah kematian. Keinginan untuk terus hidup nyawan dan mewah, terlahir kembali sebagai manusia, terlahir di alam surga termasuk keinginan jenis ini.

Keinginan terhadap pemusnahan diri berhubungan pandangan nihilisme bahwa segala sesuatu lenyap setelah kematian. Karena pandangan ini, seseorang menganggap kehidupan ini hanya sekali dan cenderung mencari kesenangan indera yang ada saat ini karena tidak mau kehilangan kesempatan memuaskan keinginannya tersebut di masa yang akan datang. Kasus orang-orang yang bunuh diri karena suatu masalah yang tidak terpecahkan juga termasuk keinginan jenis ini.

Dua jenis keinginan yang terakhir merupakan keinginan yang sangat halus di mana seringkali kita sendiri pun tidak menyadarinya karena dipengaruhi oleh pandangan salah yang telah berakar kuat dari budaya, bahasa dan pandangan hidup kita. Kedua jenis keinginan ini bisa menimbulkan keinginan terhadap kesenangan indera yang lebih kasar dan mudah kita sadari.

Timbul pertanyaan: Apakah ini berarti kita tidak boleh memiliki keinginan atau cita-cita untuk maju? Selama cita-cita tersebut tidak menjurus pada pemuasan kesenangan indera, kelangsungan, dan pemusnahan diri, maka cita-cita tersebut tidak masalah bagi umat awam seperti kita. Misalnya cita-cita untuk menjadi orang kaya dan makmur adalah baik selama tidak menganggap kekayaan dan kemakmuran sebagai sumber kepuasan indera semata, tetapi menyadari bahwa kekayaan tersebut hanya bersifat sementara dan tidak melekat padanya serta digunakan sebaik-baiknya untuk menunjang kehidupan semata. Dengan demikian, ketika cita-cita tersebut tidak terwujud, tidak timbul kesengsaraan dan kesedihan; atau ketika cita-cita tersebut tercapai, tidak menjadi serakah dan gelap mata karenanya.

Selanjutnya bagaimanakah keinginan dapat menimbulkan nafsu dan kemelekatan serta menyebabkan penderitaan? Hal ini dapat dijelaskan melalui hukum sebab akibat yang saling bergantungan (Paticcasamuppada) yang direnungkan Sang Buddha pada minggu pertama setelah mencapai Penerangan Sempurna:

Bergantung pada ketidaktahuan (avijja), timbul aktivitas atau bentuk-bentuk mental (sankhara);

Bergantung pada bentuk-bentuk mental, timbul kesadaran (viññana);

Bergantung pada kesadaran, timbul batin dan jasmani (namarupa);

Bergantung pada batin dan jasmani, timbul enam landasan indera (salayatana);

Bergantung pada enam landasan indera, timbul kontak (phassa);

Bergantung pada kontak, timbul perasaan (vedana);

Bergantung pada perasaan, timbul keinginan (tanha);

Bergantung pada keinginan, timbul kemelekatan (updana);

Bergantung pada kemelekatan, timbul kemunculan atau kemenjadian (bhava);

Bergantung pada kemenjadian, timbul kelahiran (jati);

Bergantung pada kelahiran, timbul kelapukan atau usia tua (jara), kematian (marana), kesedihan (soka), ratap tangis (parideva), penderitaan (dukkha), kesakitan (domanassa), dam keputusasaan (upayasa).

Demikianlah keseluruhan penderitaan ini berawal mula.

Dari rumusan hukum sebab akibat yang saling bergantungan di atas, keinginan muncul dari serangkaian sebab akibat yang berawal mula dari ketidaktahuan, yaitu ketidaktahuan akan hakekat kehidupan sebagaimana adanya. Keinginan ini menimbulkan kemelekatan yang pada akhirnya menyebabkan kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, penderitaan, kesakitan, dan keputusasaan.

"Dari keinginan timbul kesedihan, dari keinginan timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari keinginan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan." (Dhammapada syair 216)

Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan

Dengan meninggalkan dan melenyapkan sepenuhnya keinginan, maka sebab penderitaan dicabut dan dengan lenyapnya sebab penderitaan, maka penderitaan tidak akan timbul lagi. Dengan demikian tercapailah kebahagiaan sejati atau Nibbana. Karena ajaran Buddha mengajarkan adanya kebahagiaan dengan melepaskan sebab penderitaan beserta jalan menuju kebahagiaan tersebut, maka tidak tepat mengatakan ajaran Buddha sebagai pesimistik yang hanya mengajarkan tentang penderitaan kehidupan ini.

Membicarakan Kebenaran Mulia keempat ini sama dengan membicarakan tentang Nibbana, yang di luar pemahaman akal dan logika kita karena Nibbana adalah yang tidak berkondisi dan di atas duniawi. Hal ini diibaratkan dalam perumpamaan seekor kura-kura yang berusaha menjelaskan daratan kering kepada seekor ikan yang hidup di perairan dan tidak pernah melihat daratan; kura-kura itu adalah mereka yang telah melepaskan diri dari kelahiran kembali dan mencapai Nibbana, sedangkan ikan adalah kita orang-orang biasa yang masih belum lepas dari lingkaran kelahiran kembali.  Semua pembicaraan tentang Nibbana, realitas tertinggi yang menjadi tujuan akhir agama Buddha, pada akhirnya akan menjadi semacam spekulasi filosofis semata karena Nibbana bukan untuk dibicarakan atau didiskusikan, melainkan untuk direalisasi melalui praktek Jalan Mulai Berunsur Delapan.

Namun demikian, sedikit pengertian Nibbana akan dibahas di sini sebagai bekal pengetahuan bagi kita semua. Nibbana berasal dari kata Pali "ni" yang merupakan awalan yang bermakna negatif (penyangkalan) dan "vana" yang berarti nafsu atau keinginan. Secara harfiah, Nibbana berarti pelepasan dari nafsu keinginan. Ketika nafsu keinginan (tanha) telah dilenyapkan, kekuatan karma yang membentuk kelahiran berikutnya terputuskan. Inilah yang disebut pembebasan dari kelahiran kembali atau Nibbana.

Pengertian Nibbana yang dapat ditemukan dalam teks-teks Buddhis antara lain:

"Nibbana ialah terhentinya tanha secara total, melepaskan diri, meninggalkan, terbebas dan terlepas dari keinginan."

"O bhikkhu, apakah yang tidak berkondisi (asankhata) itu? Itu adalah, padamnya nafsu (ragakkhayo), padamnya kebencian (dosakkhayo) dan padamnya kebodohan (mohakkhayo). Itulah, O bhikkhu yang disebut yang tidak berkondisi.

"O Radha, padamnya keinginan adalah Nibbana."

"O bhikkhu, di antara semua fenomena, yang berkondisi maupun yang tidak berkondisi, maka viraga (pelenyapan nafsu) adalah yang paling tinggi. Itu berarti bebas dari kesombongan, menghancurkan kehausan, membasmi ikatan-ikatan, memutuskan kelangsungan, padamnya tanha, tidak terpengaruh, terhenti, itulah Nibbana."

"Pelepasan dan pelenyapan nafsu keinginan dan kemelekatan kepada lima kelompok kehidupan inilah akhir dari penderitaan."

"Penghentian kelangsungan dan kelahiran kembali adalah Nibbana."

"O, bhikkhu, terdapat keadaan di mana tidak ada tanah,  tidak ada air, tidak ada api, dan tidak ada udara; tidak ada dasar yang terdiri dari ketidak-terbatasan ruang, tidak ada dasar yang terdiri dari ketidak-terbatasan kesadaran, tidak ada dasar yang terdiri dari kekosongan, tidak ada dasar yang terdiri dari bukan persepsi dan tidak bukan persepsi; tidak ada dunia ini atau dunia lain ataupun kedua dunia itu; tidak ada matahari atau rembulan. Di sini, O, bhikkhu, saya katakan tidak ada kedatangan, tidak ada kepergian, tidak ada yang tinggal, tidak ada kematian, tidak ada kemunculan. Tidak terpasang, tidak dapat digerakkan, tidak mempunyai penyangga (yaitu tidak berkondisi). Inilah akhir dari penderitaan.” (Udana bab VIII Parinibbana Sutta 1)

"Di manakah tanah, air, api, dan angin tidak menemukan landasannya?
Di manakah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, cantik dan buruk rupa –
Di manakah batin dan jasmani dihancurkan seluruhnya?

Di mana kesadaran adalah tanpa gambaran, tidak terbatas, cerah-cemerlang.
Di sanalah tanah, air, api, dan angin tidak menemukan landasan.
Di sanalah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, cantik dan buruk rupa -
Di sana batin dan jasmani dihancurkan seluruhnya.
Dengan lenyapnya kesadaran, semuanya dihancurkan."
(Digha Nikaya 11 -  Kevaddha Sutta)

Nibbana bukan pemusnahan diri (nihilisme) karena pemusnahan diri merupakan salah satu bentuk keinginan (yaitu keinginan terhadap pemusnahan diri) yang harus dilenyapkan untuk mencapai Nibbana. Nibbana juga bukan pengekalan diri (eternalisme) karena tidak ada diri yang kekal yang mencapai Nibbana. Oleh sebab itu, lebih tepat mengatakan bahwa Nibbana merupakan akhir dari semua proses yang berkondisi yang tidak bisa digambarkan dengan keterbatasan bahasa kita. Untuk lebih jelasnya, tentang pembahasan Nibbana sebagai fenomena yang tidak berkondisi dalam filsafat agama Buddha bisa dibaca pada tulisan ini.

Sebagai kebahagiaan, Nibbana merupakan kebahagiaan tertinggi. Dalam Bahuvedaniya Sutta (Majjhima Nikaya 59), Sang Buddha menguraikan tentang berbagai jenis kebahagiaan yang dapat dicapai dalam kehidupan ini, dari kebahagiaan yang timbul dari kesenangan indera sampai dengan berbagai jenis kebahagiaan yang timbul dari pencapaian meditasi (jhana). Melampaui berbagai jenis kebahagiaan ini, terdapat kebahagiaan yang dicapai dengan berhentinya persepsi dan perasaan, yaitu ketika seseorang mencapai Nibbana.

Mungkin timbul pertanyaan: Bagaimanakah Nibbana disebut kebahagiaan jika tidak dapat dirasakan dengan perasaan? Hal ini dijawab dalam teks sutta tersebut sebagai berikut: "Teman-teman, Sang Bhagavā menggambarkan kebahagiaan bukan hanya dengan merujuk pada perasaan menyenangkan; akan tetapi, teman-teman, Sang Tathāgata menggambarkan segala jenis kebahagiaan dimanapun dan dalam cara apapun kebahagiaan itu ditemukan."

Segala sesuatu yang dialami oleh indera dan dirasakan melalui perasaan adalah penderitaan karena seseorang yang menderita ingin menjadi bahagia dan yang bahagia ingin menjadi lebih bahagia. Dengan demikian, tidak akan pernah terpuaskan kebahagiaan yang tidak kekal, bergantung pada kondisi-kondisi, seperti ini. Oleh sebab itu, dikatakan dalam Dhammapada syair 204 bahwa Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi (Nibbānam paramam sukham).

Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan

Untuk mencapai akhir penderitaan, diperlukan suatu jalan atau cara yang dapat membawa pada pelenyapan penderitaan tersebut. Inilah yang dijelaskan sebagai Kebenaran Mulia keempat dan terakhir, yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan yang telah dibahas pada bagian di atas (bagian 1 dari tulisan ini).

Pemahaman terhadap Empat Kebenaran Mulia ini dapat digunakan sebagai objek meditasi untuk mengembangkan perhatian benar seperti yang dijelaskan dalam Mahasatipatthana Sutta berikut ini:

"Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia. Bagaimanakah ia melakukannya? Di sini, seorang bhikkhu mengetahui sebagaimana adanya: 'Ini adalah penderitaan'; ia mengetahui sebagaimana adanya: 'Ini adalah asal-mula penderitaan'; ia mengetahui sebagaimana adanya: 'Ini adalah lenyapnya penderitaan'; ia mengetahui sebagaimana adanya: 'Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.'

Demikianlah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal, merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara eksternal, berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal dan eksternal. Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam objek-objek pikiran, merenungkan lenyapnya fenomena dalam objek-objek pikiran, ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena dalam objek-objek pikiran. Atau, penuh perhatian bahwa 'ada objek-objek pikiran' muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia."

Pengetahuan Intuitif Sejati atas Empat Kebenaran Mulia

Dengan pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan, seorang praktisi akan memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang Empat Kebenaran Mulia yang dapat digunakan untuk menghancurkan kekotoran batin dan mencapai Penerangan Sempurna seperti yang dikatakan Sang Buddha dalam kotbah pertama-Nya ini:

"Ketika, O para bhikkhu, pengetahuan intuitif sejati yang mutlak tentang Empat Kebenaran Mulia ini dalam tiga aspeknya dan dua belas caranya caranya menjadi sepenuhnya jelas bagi-Ku, maka hanya dengan demikian Aku menyatakan di dunia ini termasuk para dewa, Māra, dan Brahma, dan di antara kumpulan para pertapa, dewa, dan manusia, bahwa Aku telah memperoleh Penerangan Sempurna yang tiada bandingnya."

Pengetahuan atas Empat Kebenaran Mulia ini dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu pengetahuan bahwa inilah Kebenaran Mulia (sacca ñāna), pengetahuan bahwa fungsi tertentu dari Kebenaran Mulia yang seharusnya dilakukan (kicca ñāna), dan pengetahuan bahwa fungsi tertentu dari Kebenaran Mulia yang telah dilakukan (kata ñāna). Karena terdapat empat Kebenaran Mulia dengan masing-masing tiga aspek pengetahuannya, maka secara keseluruhan ada dua belas pengetahuan atas Kebenaran Mulia ini.

Kebenaran Mulia tentang Penderitaan adalah untuk dipahami, bukan hanya dipahami secara teoritis, tetapi juga secara praktek melalui pengembangan pandangan benar sehingga kita memahami hakekat kehidupan ini sebagaimana adanya. Ketika dalam praktek meditasi Pandangan Terang (vipassana), seseorang mengetahui bahwa kelahiran, usia tua, sakit, kematian, dan seterusnya adalah penderitaan, inilah yang disebut pengetahuan atas Kebenaran Mulia tentang Penderitaan (sacca ñāna). Saat menyadari bahwa Kebenaran Mulia tentang Penderitaan ini seharusnya diketahui dan dipahami, inilah yang disebut pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia tentang Penderitaan seharusnya diketahui (kicca ñāna). Ketika mengetahui melalui pengingatan kembali bahwa Kebenaran Mulia tentang Penderitaan telah sepenuhnya dipahami dengan benar, inilah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia tentang Penderitaan ini telah diketahui (kata ñāna).

Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan adalah untuk dilenyapkan. Mengetahui bahwa keinginan atas kesenangan indera, keinginan atas kelangsungan, dan keinginan atas pemusnahan diri adalah sebab penderitaan merupakan pengetahuan tentang Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan (sacca ñāna). Menyadari bahwa Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan ini seharusnya ditinggalkan dan dilenyapkan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia kedua ini seharusnya dilenyapkan (kicca ñāna). Mengetahui melalui pengingatan kembali bahwa Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan telah sepenuhnya dilenyapkan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia kedua ini telah dilenyapkan (kata ñāna).

Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan adalah untuk direalisasikan atau dicapai. Mengetahui bahwa pelepasan dan pelenyapan atas keinginan adalah lenyapnya penderitaan merupakan pengetahuan tentang Kebenaran Mulia ketiga ini (sacca ñāna). Menyadari bahwa Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan ini seharusnya direalisasikan dan dicapai adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia ketiga ini seharusnya direalisasikan (kicca ñāna). Mengetahui melalui pengingatan kembali bahwa Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan telah sepenuhnya direalisasikan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia ketiga ini telah direalisasikan (kata ñāna).

Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan adalah untuk dikembangkan atau dipraktekkan. Mengetahui bahwa Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan merupakan pengetahuan tentang Kebenaran Mulia keempat ini (sacca ñāna). Menyadari bahwa Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan ini seharusnya dikembangkan dan dipraktekkan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia keempat ini seharusnya dikembangkan (kicca ñāna). Mengetahui melalui pengingatan kembali bahwa Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan telah sepenuhnya dikembangkan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia keempat ini telah dikembangkan (kata ñāna).

Demikianlah, dengan memahami dan menyelami pengetahuan Empat Kebenaran Mulia dalam tiga aspek dan dua belas caranya ini, seseorang dapat mengakui bahwa dirinya telah mencapai Penerangan Sempurna karena pengetahuan ini membawa pada tujuan akhir, Nibbana. Ini juga tercermin dalam kalimat terakhir Sang Buddha: "Tidak tergoyahkan pembebasan pikiran-Ku. Inilah kelahiran terakhir-Ku, dan saat ini tidak ada kelahiran kembali lagi." Semua pengetahuan ini bukan semata-mata pengetahuan teoritis, melainkan pengetahuan dari hasil praktek kebijaksanaan pandangan terang seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya.

Bagi seorang Buddha, pengetahuan ini diperoleh dengan upayanya sendiri, tanpa mendapatkannya dari guru mana pun. Walaupun dalam masa pencariannya, Pertapa Gotama berguru kepada Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta, namun keduanya hanya mengajarkan beliau cara mencapai arupa jhana (tingkat pemusatan pikiran dengan menggunakan objek-objek yang tidak berbentuk), bukan pengetahuan atas Empat Kebenaran Mulia ini. Oleh sebab itu, disebutkan dalam teks sutta ini bahwa "berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan" (atas pengetahuan tentang Empat Kebenaran Mulia ini). Dengan alasan yang sama, pengetahuan ini disebut pengetahuan intuitif sejati atas Empat Kebenaran Mulia.

Akhir Kotbah

Setelah mendengarkan kotbah pertama ini, Kondañña mencapai apa yang disebut Mata Dhamma atau mata kebijaksanaan, yaitu pencapaian tingkat kesucian pertama (Sotapanna), dengan menyadari bahwa segala sesuatu yang muncul pasti tunduk pada kelenyapan. Ini adalah pemahaman sejati atas hukum sebab akibat yang saling bergantungan bahwa semua fenomena yang muncul karena sebab dan kondisi, di dalamnya terdapat sebab yang menyebabkannya lenyap kembali. Dengan mata kebijaksanaan ini, seseorang memandang segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu sebagai proses timbul dan lenyapnya fenomena karena sebab dan kondisi tertentu.

Sering dipertanyakan, bagaimana mungkin Kondañña hanya dengan mendengarkan kotbah ini dapat mencapai tingkat kesucian pertama? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Jauh pada masa lampau Kondañña telah mengembangkan kesempurnaan (parami) untuk menjadi seorang yang pertama kali mendapatkan Mata Dhamma pada masa Buddha Gotama ini. Dikisahkan pada masa Buddha Padumuttara, satu asankheyya dan seratus ribu kappa yang lampau, ia terlahir kembali sebagai seorang perumah tangga kaya. Melihat Buddha Padumuttara menyebutkan salah seorang siswa-Nya yang terkemuka di antara mereka yang pertama kali mencapai kesucian, sang perumah tangga bertekad untuk mencapai hal yang sama pada masa yang akan datang. Sejak saat itulah, dalam setiap kelahiran ia berlatih mengembangkan kesempurnaan guna memenuhi tekadnya. Pada kelahirannya sebagai Kondañña, ia dapat mencapai tingkat kesucian pertama karena latihan yang telah ia lakukan dari banyak kehidupan sebelumnya, yang disempurnakan pada saat mendengarkan kotbah ini.

Setelah kotbah ini dibabarkan, para dewa mulai dari yang terendah yang berdiam di bumi sampai pada para dewa brahma yang tertinggi meneriakkan seruan tentang pengajaran pertama ini yang tidak dapat diajarkan oleh siapa pun di dunia ini, kecuali seorang Samma Sambuddha, yang diberikan Sang Buddha di Taman Rusa di Isipatana, dekat Benares.

Seketika itu juga sepuluh ribu tata surya berguncang, bergoyang, dan bergetar dengan hebat. Dalam Mahaparinibbana Sutta, kotbah terakhir Sang Buddha sebelum wafat-Nya, dijelaskan tentang delapan sebab gempa bumi, yaitu:

  1. Bumi ini ditopang oleh air, air ditopang oleh udara, udara ditopang oleh ruang kosong; ketika terjadi gangguan pada udara, maka air akan mendapatkan tekanan dan lapisan bumi akan bergeser sehingga timbullah gempa bumi.
  2. Seorang pertapa atau dewa dengan kekuatan konsentrasinya menyebabkan bumi berguncang.
  3. Ketika seorang calon Buddha (Bodhisatta) meninggalkan surga Tusita untuk masuk ke rahim ibunya dengan penuh kesadaran, bumi berguncang dengan hebat.
  4. Ketika Bodhisatta keluar dari rahim ibunya dengan penuh kesadaran, bumi berguncang dengan hebat.
  5. Ketika Bodhisatta mencapai Penerangan Sempurna yang tiada bandingnya, bumi berguncang dengan hebat.
  6. Ketika Buddha memutar roda Dhamma, bumi berguncang dengan hebat.
  7. Ketika Buddha memutuskan untuk melepaskan proses yang menunjang kehidupannya, bumi berguncang dengan hebat.
  8. Ketika Buddha meninggal dunia dengan sempurna (Parinibbana), bumi berguncang dengan hebat.

Sebab pertama merupakan proses terjadinya gempa bumi secara alamiah, sedangkan tujuh sebab sisanya diakibatkan oleh kekuatan batin seorang pertapa, dewa, atau seseorang luar biasa yang akan atau telah mencapai Penerangan Sempurna. Terjadinya gempa bumi yang dahsyat sampai mengguncang sepuluh ribu tata surya saat kotbah pertama Sang Buddha ini adalah sebab keenam dari delapan sebab gempa bumi ini. Tak hanya itu, cahaya cemerlang yang melampaui cahaya para dewa meliputi seluruh alam semesta saat itu.

Saat itu Sang Buddha juga memuji Kondañña yang telah memahami Empat Kebenaran Mulia ini dengan mata Dhamma. Oleh sebab itu, Kondañña dikenal juga sebagai Aññāta Kondañña (Kondañña yang memahami).

Kemudian Kondañña meminta untuk ditahbiskan sebagai bhikkhu dan Sang Buddha menahbiskannya dengan kata-kata: "Datanglah, O bhikkhu. Dhamma telah diajarkan dengan baik. Jalankanlah kehidupan suci demi pelenyapan penderitaan sepenuhnya." Demikianlah Kondañña menjadi bhikkhu pertama dalam sejarah agama Buddha.

Tak lama kemudian, setelah mendengarkan uraian Dhamma dari Sang Buddha, dua orang pertapa lainnya, Vappa dan Bhaddiya, memperoleh Mata Dhamma dan meminta untuk ditahbiskan sebagai bhikkhu juga. Mereka pun ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan perkataan "Datanglah, O bhikkhu." Demikian juga, Mahanama dan Assaji, dua orang pertapa sisanya, mencapai kesucian batin Sotapanna dan ditahbiskan sebagai bhikkhu dengan cara yang sama. Maka pada saat itu telah ada 5 orang bhikkhu di dunia ini dan perkumpulan para siswa yang telah mencapai kesucian batin (Ariya Sangha) telah terbentuk. Lengkaplah Tiga Permata: Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Lima hari kemudian Sang Buddha memberikan kotbah kedua-Nya yang diberi nama Anattalakkhana Sutta (Kotbah tentang Karakteristik Bukan Aku)  kepada lima orang bhikkhu pertama ini. Setelah mendengarkan kotbah ini, kelima bhikkhu mencapai tingkat kesucian Arahat. Namun kita akan membahas isi kotbah kedua Sang Buddha ini pada kesempatan lain.

Penutup

Demikianlah, ajaran pertama Sang Buddha yang dikotbahkan kepada lima pertapa lebih dari 2500 tahun yang lalu di Taman Rusa di Isipatana, Benares. Ajaran ini berisi tentang Jalan Tengah atau Jalan Mulia Berunsur Delapan untuk menghindari kedua ekstrem praktek kehidupan yang salah dan membawa pada tujuan akhir, Nibbana, dan Empat Kebenaran Mulia yang menunjukkan hakekat kehidupan ini yang tidak menyenangkan dan sebabnya serta jalan atau solusi untuk mencapai kebahagiaan sejati.

Tentu saja, ajaran kebenaran ini tidak hanya untuk dibaca atau direnungkan saja, tetapi untuk dijalankan dalam kehidupan kita sehari-hari agar tercapai kebahagiaan yang diharapkan semua orang.

Dalam kehidupan sehari-hari sebagai umat awam di zaman modern ini, Kebenaran Mulia Pertama menunjukkan pada kita bahwa terdapat masalah kehidupan yang timbul dari perubahan-perubahan dalam kehidupan yang tidak kita harapkan. Kebenaran Mulia Kedua menunjukkan bahwa sebab masalah kehidupan tersebut adalah keinginan atau harapan yang berlebihan terhadap kehidupan, hanya mengharapkan hal-hal yang menyenangkan saja yang terjadi dalam kehidupan kita. Kebenaran Mulia Ketiga menyatakan bahwa terdapat kebahagiaan jika kita bisa mengatasi harapan kita yang berlebihan tersebut. Akhirnya, Kebenaran Mulia Keempat menyatakan solusi mengatasi permasalahan kehidupan tersebut, yang tercermin dari Jalan Tengah di mana kita menghindari melekat pada kesenangan indera dan pada sisi lain menghindari penyiksaan diri yang tidak perlu.

Selamat Hari Asadha 2555 BE/2011. Semoga kebenaran mulia yang diajarkan Sang Guru dapat menjadi pegangan hidup kita semua dalam mengarungi lautan kehidupan ini hingga akhirnya tiba di Pantai Bahagia. Semoga semua makhluk berbahagia.

Sumber:

1. Dhammacakkappavattana Sutta dalam The Buddha and His Teaching oleh Ven. Narada Mahathera.

2. The Wheel of Dhamma (Dhammacakkappavattana Sutta) oleh Ven. Mahasi Sayadaw.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun