Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dhammacakkappavattana Sutta: Ajaran Pertama Sang Buddha (bagian 2)

20 Juli 2011   13:30 Diperbarui: 31 Juli 2016   21:23 3884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dua jenis keinginan yang terakhir merupakan keinginan yang sangat halus di mana seringkali kita sendiri pun tidak menyadarinya karena dipengaruhi oleh pandangan salah yang telah berakar kuat dari budaya, bahasa dan pandangan hidup kita. Kedua jenis keinginan ini bisa menimbulkan keinginan terhadap kesenangan indera yang lebih kasar dan mudah kita sadari.

Timbul pertanyaan: Apakah ini berarti kita tidak boleh memiliki keinginan atau cita-cita untuk maju? Selama cita-cita tersebut tidak menjurus pada pemuasan kesenangan indera, kelangsungan, dan pemusnahan diri, maka cita-cita tersebut tidak masalah bagi umat awam seperti kita. Misalnya cita-cita untuk menjadi orang kaya dan makmur adalah baik selama tidak menganggap kekayaan dan kemakmuran sebagai sumber kepuasan indera semata, tetapi menyadari bahwa kekayaan tersebut hanya bersifat sementara dan tidak melekat padanya serta digunakan sebaik-baiknya untuk menunjang kehidupan semata. Dengan demikian, ketika cita-cita tersebut tidak terwujud, tidak timbul kesengsaraan dan kesedihan; atau ketika cita-cita tersebut tercapai, tidak menjadi serakah dan gelap mata karenanya.

Selanjutnya bagaimanakah keinginan dapat menimbulkan nafsu dan kemelekatan serta menyebabkan penderitaan? Hal ini dapat dijelaskan melalui hukum sebab akibat yang saling bergantungan (Paticcasamuppada) yang direnungkan Sang Buddha pada minggu pertama setelah mencapai Penerangan Sempurna:

Bergantung pada ketidaktahuan (avijja), timbul aktivitas atau bentuk-bentuk mental (sankhara);

Bergantung pada bentuk-bentuk mental, timbul kesadaran (viññana);

Bergantung pada kesadaran, timbul batin dan jasmani (namarupa);

Bergantung pada batin dan jasmani, timbul enam landasan indera (salayatana);

Bergantung pada enam landasan indera, timbul kontak (phassa);

Bergantung pada kontak, timbul perasaan (vedana);

Bergantung pada perasaan, timbul keinginan (tanha);

Bergantung pada keinginan, timbul kemelekatan (updana);

Bergantung pada kemelekatan, timbul kemunculan atau kemenjadian (bhava);

Bergantung pada kemenjadian, timbul kelahiran (jati);

Bergantung pada kelahiran, timbul kelapukan atau usia tua (jara), kematian (marana), kesedihan (soka), ratap tangis (parideva), penderitaan (dukkha), kesakitan (domanassa), dam keputusasaan (upayasa).

Demikianlah keseluruhan penderitaan ini berawal mula.

Dari rumusan hukum sebab akibat yang saling bergantungan di atas, keinginan muncul dari serangkaian sebab akibat yang berawal mula dari ketidaktahuan, yaitu ketidaktahuan akan hakekat kehidupan sebagaimana adanya. Keinginan ini menimbulkan kemelekatan yang pada akhirnya menyebabkan kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, penderitaan, kesakitan, dan keputusasaan.

"Dari keinginan timbul kesedihan, dari keinginan timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari keinginan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan." (Dhammapada syair 216)

Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan

Dengan meninggalkan dan melenyapkan sepenuhnya keinginan, maka sebab penderitaan dicabut dan dengan lenyapnya sebab penderitaan, maka penderitaan tidak akan timbul lagi. Dengan demikian tercapailah kebahagiaan sejati atau Nibbana. Karena ajaran Buddha mengajarkan adanya kebahagiaan dengan melepaskan sebab penderitaan beserta jalan menuju kebahagiaan tersebut, maka tidak tepat mengatakan ajaran Buddha sebagai pesimistik yang hanya mengajarkan tentang penderitaan kehidupan ini.

Membicarakan Kebenaran Mulia keempat ini sama dengan membicarakan tentang Nibbana, yang di luar pemahaman akal dan logika kita karena Nibbana adalah yang tidak berkondisi dan di atas duniawi. Hal ini diibaratkan dalam perumpamaan seekor kura-kura yang berusaha menjelaskan daratan kering kepada seekor ikan yang hidup di perairan dan tidak pernah melihat daratan; kura-kura itu adalah mereka yang telah melepaskan diri dari kelahiran kembali dan mencapai Nibbana, sedangkan ikan adalah kita orang-orang biasa yang masih belum lepas dari lingkaran kelahiran kembali.  Semua pembicaraan tentang Nibbana, realitas tertinggi yang menjadi tujuan akhir agama Buddha, pada akhirnya akan menjadi semacam spekulasi filosofis semata karena Nibbana bukan untuk dibicarakan atau didiskusikan, melainkan untuk direalisasi melalui praktek Jalan Mulai Berunsur Delapan.

Namun demikian, sedikit pengertian Nibbana akan dibahas di sini sebagai bekal pengetahuan bagi kita semua. Nibbana berasal dari kata Pali "ni" yang merupakan awalan yang bermakna negatif (penyangkalan) dan "vana" yang berarti nafsu atau keinginan. Secara harfiah, Nibbana berarti pelepasan dari nafsu keinginan. Ketika nafsu keinginan (tanha) telah dilenyapkan, kekuatan karma yang membentuk kelahiran berikutnya terputuskan. Inilah yang disebut pembebasan dari kelahiran kembali atau Nibbana.

Pengertian Nibbana yang dapat ditemukan dalam teks-teks Buddhis antara lain:

"Nibbana ialah terhentinya tanha secara total, melepaskan diri, meninggalkan, terbebas dan terlepas dari keinginan."

"O bhikkhu, apakah yang tidak berkondisi (asankhata) itu? Itu adalah, padamnya nafsu (ragakkhayo), padamnya kebencian (dosakkhayo) dan padamnya kebodohan (mohakkhayo). Itulah, O bhikkhu yang disebut yang tidak berkondisi.

"O Radha, padamnya keinginan adalah Nibbana."

"O bhikkhu, di antara semua fenomena, yang berkondisi maupun yang tidak berkondisi, maka viraga (pelenyapan nafsu) adalah yang paling tinggi. Itu berarti bebas dari kesombongan, menghancurkan kehausan, membasmi ikatan-ikatan, memutuskan kelangsungan, padamnya tanha, tidak terpengaruh, terhenti, itulah Nibbana."

"Pelepasan dan pelenyapan nafsu keinginan dan kemelekatan kepada lima kelompok kehidupan inilah akhir dari penderitaan."

"Penghentian kelangsungan dan kelahiran kembali adalah Nibbana."

"O, bhikkhu, terdapat keadaan di mana tidak ada tanah,  tidak ada air, tidak ada api, dan tidak ada udara; tidak ada dasar yang terdiri dari ketidak-terbatasan ruang, tidak ada dasar yang terdiri dari ketidak-terbatasan kesadaran, tidak ada dasar yang terdiri dari kekosongan, tidak ada dasar yang terdiri dari bukan persepsi dan tidak bukan persepsi; tidak ada dunia ini atau dunia lain ataupun kedua dunia itu; tidak ada matahari atau rembulan. Di sini, O, bhikkhu, saya katakan tidak ada kedatangan, tidak ada kepergian, tidak ada yang tinggal, tidak ada kematian, tidak ada kemunculan. Tidak terpasang, tidak dapat digerakkan, tidak mempunyai penyangga (yaitu tidak berkondisi). Inilah akhir dari penderitaan.” (Udana bab VIII Parinibbana Sutta 1)

"Di manakah tanah, air, api, dan angin tidak menemukan landasannya?
Di manakah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, cantik dan buruk rupa –
Di manakah batin dan jasmani dihancurkan seluruhnya?

Di mana kesadaran adalah tanpa gambaran, tidak terbatas, cerah-cemerlang.
Di sanalah tanah, air, api, dan angin tidak menemukan landasan.
Di sanalah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, cantik dan buruk rupa -
Di sana batin dan jasmani dihancurkan seluruhnya.
Dengan lenyapnya kesadaran, semuanya dihancurkan."
(Digha Nikaya 11 -  Kevaddha Sutta)

Nibbana bukan pemusnahan diri (nihilisme) karena pemusnahan diri merupakan salah satu bentuk keinginan (yaitu keinginan terhadap pemusnahan diri) yang harus dilenyapkan untuk mencapai Nibbana. Nibbana juga bukan pengekalan diri (eternalisme) karena tidak ada diri yang kekal yang mencapai Nibbana. Oleh sebab itu, lebih tepat mengatakan bahwa Nibbana merupakan akhir dari semua proses yang berkondisi yang tidak bisa digambarkan dengan keterbatasan bahasa kita. Untuk lebih jelasnya, tentang pembahasan Nibbana sebagai fenomena yang tidak berkondisi dalam filsafat agama Buddha bisa dibaca pada tulisan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun