Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dhammacakkappavattana Sutta: Ajaran Pertama Sang Buddha (bagian 1)

14 Juli 2011   22:29 Diperbarui: 31 Juli 2016   21:13 7511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul

Judul kotbah ini terdiri dari kata Pali "Dhamma" (ajaran atau kebenaran), "cakka" (roda), "pavattana" (memutar), dan "sutta" (kotbah atau ceramah). Secara harfiah, Dhammacakkappavattana Sutta berarti Kotbah Pemutaran Roda Dhamma. Di sini Dhamma biasanya diterjemahkan sebagai ajaran atau kebenaran yang ditemukan Sang Buddha di bawah pohon Bodhi, walaupun para guru spiritual India kuno pada masa Sang Buddha juga menyebut ajaran mereka sebagai Dhamma (sehingga secara khusus disebut Buddha Dhamma, ajaran Buddha, untuk membedakan dengan ajaran lain).

Disebut Pemutaran Roda Dhamma karena sebelumnya kebenaran ini telah ada di alam semesta, namun terlupakan oleh para manusia seiring dengan kemerosotan moral manusia itu sendiri. Dengan kemunculan seorang Buddha di dunia ini, kebenaran ini ditemukan kembali dan diajarkan kepada mereka yang mau mendengarkan, menerima, dan menjalankannya. Dengan demikian, Dhamma yang sebelumnya berhenti berputar karena terlupakan, kini telah diputar kembali oleh Sang Buddha Gotama, Buddha keempat yang muncul pada periode dunia saat ini. Pada masa yang akan datang, ajaran kebenaran ini pun akan dilupakan kembali seiring dengan penurunan moral manusia hingga akhirnya saat kemunculan  Buddha berikutnya bernama Maitreya atau Metteya yang akan memutar kembali roda kebenaran tersebut. Ajaran pertama para Buddha dari masa lampau, masa sekarang dan masa yang mendatang adalah sama, yaitu tentang Jalan Tengah dan Empat Kebenaran Mulia. Demikian pula, Buddha Maitreya akan mengajarkan Dhammacakkappavattana Sutta ini kepada para siswa pertamanya.

Demikianlah Telah Kudengar

Kalimat "Demikianlah telah kudengar" merupakan perkataan Bhikkhu Ananda yang dikenal sebagai pengulang ajaran Sang Buddha pada pertemuan para Arahat di bawah Bhikkhu Mahakassapa tak lama setelah wafatnya Sang Buddha (dikenal sebagai Konsili Buddhis I). Ananda merupakan seorang pangeran Sakya sepupu Siddhartha Gautama yang kemudian menjadi siswa sekaligus pelayan tetap Sang Buddha yang selalu menemani Beliau setiap saat. Karena kedekatannya dengan Sang Buddha dan ditambah lagi ingatan beliau yang kuat, Bhikkhu Ananda mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan kotbah-kotbah yang diulangi Sang Buddha kepadanya. Dengan demikian, walaupun saat pengajaran pertama ini, Ananda belum menjadi siswa Sang Buddha, tetapi pada kesempatan lain Sang Buddha mengulangi kotbah pertama-Nya kepada Bhikkhu Ananda. Demikianlah kotbah ini bisa sampai kepada kita.

Tempat dan Pendengar

Kotbah ini diajarkan di sebuah taman rusa di Isipatana di kota Benares. Daerah tersebut merupakan hutan belantara di mana hewan rusa bebas berkeliaran tanpa takut diburu oleh manusia. Pada masa lampau raja Benares memberikan perlindungan pada para rusa dan hewan lainnya di hutan tersebut setelah tergerak hatinya melihat pengorbanan raja rusa di sana yang menggantikan seekor rusa betina yang tengah hamil yang akan dibunuh oleh sang raja. Raja rusa tersebut tak lain adalah kelahiran lampau Bodhisatta yang kelak akan menjadi Buddha Gotama. Para ahli sejarah menemukan Isipatana sebagai kota kecil Sarnath yang berjarak enam mil dari kota Benares saat ini. Nama Sarnath diambil dari nama raja rusa tersebut, Sāranganātha (pelindung para rusa).

Seperti dalam pembukaan sutta ini, ajaran ini diberikan kepada lima orang pertapa (yang disebut sebagai bhikkhu, pertapa Buddhis). Kelima pertapa tersebut tak lain adalah Kondañña, Bhaddiya, Vappa, Mahānāma, dan Assaji. Kondañña adalah yang tertua di antara kelimanya, ia adalah salah seorang brahmana yang pernah diundang Raja Suddhodana untuk meramalkan masa depan putranya yang baru lahir. Para brahmana lainnya meramalkan bahwa bayi Siddhartha Gautama akan menjadi seorang raja dunia (cakkavatti) atau menjadi seorang Buddha, tetapi Kondañña dengan pasti menyatakan bahwa kelak sang bayi akan menjadi Buddha. Ketika berusia 29 tahun Pangeran Siddhartha meninggalkan kehidupan istana dan menjadi pertapa. Kondañña mengajak serta empat orang putra dari para brahmana lainnya untuk mengikuti jejak Pangeran dengan harapan agar jika Pangeran memang menjadi Buddha, mereka bisa mendapatkan manfaat yang sama.

Namun enam tahun bertapa di hutan Uruvela dengan berbagai cara penyiksaan diri tidak membawa pada tujuan akhir yang ingin dicapai. Akhirnya, Pertapa Gotama menyadari kesia-siaan praktek penyiksaan diri yang ia lakukan bahwa kesehatan fisik juga diperlukan untuk kemajuan spiritual. Maka ia memutuskan untuk mengembalikan kondisi tubuhnya yang digambarkan dalam teks-teks Buddhis seperti kerangka hidup. Kelima pertapa yang mengikutinya merasa kecewa dan menganggap Pertapa Gotama telah menjadi lengah dan meninggalkan praktek keras untuk kembali pada kehidupan yang nyaman. Mereka pun meninggalkannya dan pergi menuju Taman Rusa di Isipatana. Setelah memulihkan kondisi tubuhnya, Pertapa Gotama melanjutkan perjalanan menuju ke Gaya. Di sana ia menemukan tempat bermeditasi yang cocok di bawah pohon assattha (Ficus religiosa) yang kelak akan dikenal dengan nama pohon Bodhi.

Mempraktekkan meditasi dengan objek keluar masuknya napas yang pernah beliau lakukan ketika masih balita, Pertapa Gotama mencapai tingkat pemusatan pikiran (jhana) hingga memperoleh pengetahuan akan kehidupan lampau. Kemudian ia mencapai pengetahuan akan kelahiran dan kematian para makhluk sesuai dengan perbuatan mereka. Setelah itu beliau menyadari: "Inilah penderitaan (dukkha), inilah munculnya penderitaan, inilah lenyapnya penderitaan, inilah jalan menuju lenyapnya penderitaan; inilah kekotoran batin, inilah munculnya kekotoran batin, inilah lenyapnya kekotoran batin (asava), inilah jalan menuju lenyapnya kekotoran batin." Dengan menyadari hal ini, pikirannya terbebaskan dari kekotoran batin dari nafsu indera (kama), keinginan untuk melangsungkan diri (bhava), dan ketidaktahuan (avijja). Dengan demikian ia mencapai pengetahuan atas lenyapnya kekotoran batin.

Sekarang Pertapa Gotama telah memahami semua sebab persoalan kehidupan dan mengetahui cara untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan, ketidakbahagiaan, usia tua, dan kematian. Batinnya menjadi tenang dan penuh kedamaian. Ia telah menjadi seorang Buddha yang maha sempurna (Samma Sambuddha) yang dapat mengajarkan orang lain untuk mencapai pencerahan batin yang sama. Sekarang Beliau dikenal sebagai Buddha Gotama, salah satu dari rangkaian terhitung para Buddha yang telah muncul di masa lampau dan akan muncul di masa mendatang. Setelah menghabiskan waktu tujuh minggu berpuasa, Buddha Gotama merenungkan apakah akan mengajarkan apa yang Beliau temukan di bawah pohon Bodhi kepada orang lain atau tidak. Karena Dhamma yang Beliau temukan sangat mendalam dan sulit untuk dimengerti, maka timbul keengganan Sang Buddha untuk mengajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun