(Sambungan dari bagian pertama)
Siklus Alam Semesta
Menurut agama Buddha, alam semesta telah mengalami banyak siklus pembentukan dan kehancuran yang tidak terhitung. Periode dari terbentuknya alam semesta sampai dengan kehancurannya disebut mahakappa atau mahakalpa. Lamanya satu siklus semesta atau satu mahakappa tidak pernah dihitung dalam angka tahun yang pasti, tetapi hanya dikatakan sangat lama. Buddha menjelaskan lamanya satu mahakappa sebagai berikut:
“Andaikan, para bhikkhu, terdapat sebuah batu besar yang bermassa padat, satu mil panjangnya, satu mil lebarnya, satu mil tingginya, tanpa ada retak atau cacat, dan setiap seratus tahun sekali seseorang akan datang dan menggosoknya dengan sehelai kain sutra, maka batu tersebut akan aus dan habis lebih cepat daripada satu siklus dunia. Namun dari siklus-siklus dunia tersebut, para bhikkhu, banyak yang telah dilewati, beratus-ratus, beribu-ribu, beratus-ratus ribu. Bagaimana hal ini mungkin? Tidak terbayangkan, para bhikkhu, lingkaran kehidupan (samsara) ini, tidak dapat ditemukan awal mula dari makhluk pertama, yang dihalangi oleh ketidaktahuan dan diliputi oleh nafsu keinginan, berkelana ke sana ke mari dalam lingkaran kelahiran kembali ini.” (Samyutta Nikaya, XV:5)
Dengan demikian usia alam semesta dari terbentuknya sampai kehancurannya sangatlah panjang, tidak terhitung bahkan dalam milyaran tahun. Karena terdapat banyak sekali siklus pembentukan dan kehancuran alam semesta, maka tidak dapat diketahui bagaimana awal mula makhluk pertama yang terdapat dalam lingkaran kehidupan dan kematian ini. Dalam hal ini agama Buddha cenderung menganggap awal mula pertama alam semesta tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia biasa (acinteyya), oleh sebabnya menyerahkan persoalan ini sepenuhnya kepada ilmu pengetahuan.
Lebih lanjut siklus alam semesta dibagi menjadi empat periode yang disebut asankheyya kappa (masa tak terhitung), yaitu:
1. Periode kehancuran (samvatta-kappa).
2. Periode berlangsungnya kehancuran (samvattatthayi-kappa).
3. Periode pembentukan (vivatta-kappa).
4. Periode berlangsungnya pembentukan (vivattatthayi-kappa).
“Berapa lama kehancuran dunia akan terjadi, berapa lama berlangsungnya kehancuran, berapa lama pembentukan, berapa lama berlangsungnya pembentukan, dari hal-hal demikian, para bhikkhu, seseorang akan sukar mengatakan bahwa ini akan terjadi bertahun-tahun, atau berabad-abad, atau beribu-ribu tahun, atau beratus-ratus ribu tahun,” demikianlah sabda Sang Buddha tentang lamanya setiap periode dalam satu siklus alam semesta dalam Anguttara Nikaya IV:156 yang menyiratkan bahwa panjang masing-masing periode tersebut tak terhitung lamanya.
Periode pertama dari siklus semesta dimulai saat terjadinya hujan deras yang menyirami seratus milyar tata surya (kotisatasahassa cakkavala) sampai padamnya api (jika alam semesta hancur karena api), surutnya air (jika alam semesta hancur karena air), atau redanya angin besar (jika alam semesta hancur karena angin). Dengan demikian, kehancuran alam semesta dapat disebabkan oleh unsur api, air atau angin. Dalam agama Buddha setiap materi (rupa) dibentuk dari 4 unsur dasar (mahabhuta), yaitu:
1. Unsur tanah: unsur yang memberi landasan atau fondasi bagi unsur lainnya, yang bersifat padat dan memberi ruang (spasial).
2. Unsur api: unsur yang berkenaan dengan suhu dan energi, termasuk di dalamnya energi kalor, radiasi, dan cahaya.
3. Unsur air: unsur yang memiliki sifat kohesi (gaya tarik-menarik antar partikel yang sejenis) atau adhesi (gaya tarik-menarik antar partikel yang tidak sejenis) seperti zat cair dan sejenisnya.
4. Unsur angin: unsur yang memberi unsur lainnya kemampuan gerak atau tekanan, misalnya gaya dan tekanan udara/atmosfer.
Kehancuran semesta oleh api digambarkan sebagai berikut: Karena terjadinya hujan deras yang jatuh di seluruh alam semesta, manusia bergembira, mereka mengeluarkan benih simpanan mereka, dan menanamnya, tetapi ketika kecambah mulai tumbuh cukup tinggi bagi anak sapi untuk merumput, tiada lagi hujan yang turun setetes pun sejak saat itu. Para mahluk yang hidupnya bergantung dari air hujan menjadi mati dan terlahir kembali di alam Brahma, begitu juga para dewa yang hidupnya tergantung pada buah-buahan dan bunga. Setelah melewati periode yang sangat panjang dalam kemarau seperti ini, air mulai mengering sehingga para makhluk air seperti ikan dan kura-kura mati dan terlahir kembali di alam Brahma. Demikian juga para mahluk penghuni neraka (ada juga yang mengatakan para mahluk penghuni neraka mati dengan kemunculan matahari ketujuh).
Setelah beberapa periode yang sangat lama, akan muncul matahari kedua, di mana ketika matahari pertama tenggelam, matahari kedua akan terbit sehingga siang dan malam tidak bisa dibedakan serta bumi terus-menerus diterpa terik matahari. Angkasa akan menjadi hampa tanpa kehadiran awan dan uap air. Dimulai dengan anak sungai, air di semua sungai, kecuali sungai-sungai besar, akan menguap. Setelah waktu yang panjang berlalu matahari ketiga muncul. Dengan munculnya matahari ketiga air dari semua sungai besar juga menguap. Kemudian setelah periode yang lama berlalu matahari keempat muncul, danau-danau besar yang menjadi sumber mata air sungai-sungai besar juga ikut menguap.
Setelah sekian lama berlalu akan muncul matahari kelima di mana air yang tersisa di samudera tidak cukup tinggi untuk membasahi satu ruas jari tangan. Kemudian di akhir periode itu muncullah matahari keenam yang membuat seluruh dunia menguap menjadi gas, semua kelembabannya telah menguap, seratus milyar tata surya yang ada di sekeliling tatasurya kita sama nasibnya seperti tata surya kita.
Setelah lama berlalu matahari ketujuh muncul. Setelah munculnya matahari ketujuh, seluruh dunia (tatasurya kita) bersama dengan seratus milyar tatasurya yang lain terbakar habis. Puncak gunung Sineru yang tingginya lebih dari seratus yojana (1 yojana kurang lebih sama dengan 7 mil) juga ikut hancur berantakan dan lenyap di angkasa. Kebakaran bertambah besar dan menyerang alam surga Catumaharajika sampai ke alam Brahma di mana api akan berhenti sebelum mencapai alam Brahma Abhassara. Selama masih ada bentuk walaupun seukuran atom, api itu tidak lenyap karena api hanya lenyap setelah semua materi musnah terbakar, seperti api yang membakar ghee (lemak yang berasal dari susu) dan minyak tidak meninggalkan debu.
Sedangkan kehancuran oleh air, kejadiannya sama seperti kehancuran oleh api, hanya saja setelah hujan deras yang meliputi seluruh alam semesta, muncul awan kaustik yang maha besar (kharudaka) yang menyebabkan hujan. Hujan tersebut mulanya turun perlahan-lahan kemudian sedikit demi sedikit bertambah besar sampai menyirami seratus milyar tata surya. Air merendam semua yang ada di bumi sampai ke alam surga ke atas dan berhenti sebelum mencapai alam Brahma Subhakinha. Air tersebut tak akan surut apabila masih ada materi yang tersisa walaupun hanya sebesar atom dan hanya akan surut apabila semua materi telah larut.
Kehancuran alam semesta karena angin mirip dengan kehancuran oleh api dan air, yaitu diawali dengan munculnya hujan yang mengawali kehancuran semesta, tetapi bila kehancuran karena api muncul matahari kedua, maka pada kehancuran oleh angin muncullah angin. Pertama kali muncul angin yang menerbangkan debu kasar kemudian debu halus lalu pasir halus, pasir kasar, kerikil, batu dan seterusnya sampai mengangkat batu sebesar batu nisan dan meniup pohon-pohon besar dari bumi ke luar angkasa dan tidak jatuh kembali ke bumi, tetapi hancur berkeping-keping dan musnah.
Kemudian angin muncul dari bawah permukaan bumi dan membalikkan bumi, melemparnya ke angkasa. Bumi hancur menjadi pecahan kecil-kecil dan terlempar ke angkasa juga, hancur berkeping-keping lalu musnah. Gunung-gunung di seluruh tata surya dan gunung Sineru tercabut ke luar angkasa dan saling bertumbukan hingga hancur berkeping-keping lalu lenyap. Dengan cara yang sama angin menghancurkan alam surga yang ada di bumi dan yang ada di angkasa. Kekuatan angin itu meningkat terus dan menghancurkan keenam alam surga (dari Catumaharajika sampai ke Paranimmitavasavatti). Seratus milyar tata surya ikut hancur juga karena saling bertabrakan. Angin akan menghancurkan semua materi sampai ke alam Brahma dan berhenti sebelum sampai di alam Brahma Vehapphala.
Penyebab kehancuran alam semesta ini tak lain adalah tiga akar kejahatan, yaitu keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha). Jika para makhluk memiliki keserakahan yang lebih dominan, maka alam semesta akan hancur oleh api; jika kebencian lebih dominan, maka alam semesta akan hancur oleh air; jika kebodohan batin (yaitu ketidakmampuan membedakan mana yang benar dan mana yang salah), maka alam semesta akan hancur karena angin.
Ketika seluruh alam semesta hancur sampai ke alam Brahma, periode kedua, yaitu periode berlangsungnya kehancuran dimulai. Periode ini berakhir saat munculnya hujan deras yang menandai akan terjadinya pembentukan semesta. Selama periode ini alam semesta dalam keadaan kosong karena semua materi telah musnah, hanya terdapat kegelapan yang mencekam.
Setelah munculnya hujan deras yang kedua (hujan deras pertama adalah hujan yang menandai kehancuran semesta), periode pembentukan dimulai di mana air hujan tersebut menggenangi seluruh alam semesta yang kosong. Kemudian angin (unsur gaya dan tekanan) muncul dan menekan serta membulatkan air tersebutnya, seperti butir air di daun teratai. Dikarenakan tertekan oleh udara, air menyatu dan berkurang membentuk unsur lainnya hingga menyebabkan terbentuknya kembali berbagai alam kehidupan. Proses pembentukan alam kehidupan ini berlawanan dengan proses kehancurannya, yaitu dimulai dari alam Brahma terlebih dahulu lalu alam-alam surga di bawahnya, terakhir barulah matahari, bulan, dan bumi terbentuk.
Periode keempat (berlangsungnya pembentukan) dimulai setelah munculnya benda-benda langit bersama dengan terbentuknya bumi. Kemudian humus tertentu muncul di atas permukaan bumi, yang memiliki warna, bau dan rasa seperti lapisan di atas permukaan tajin yang berasal dari cucian beras. Kemudian para makhluk yang saat kehancuran semesta terlahir di alam Brahma, karena habisnya usia mereka atau habisnya karma baik mereka yang menopang kehidupan di sana, mereka terlahir kembali di bumi (alam manusia). Tubuh mereka bercahaya dan melayang layang di angkasa. Setelah memakan humus tersebut, mereka dikuasai oleh kemelekatan seperti yang di uraikan dalam Aganna Sutta (Digha Nikaya III:85).
Setelah waktu yang lama, sesuai dengan makanan yang mereka konsumsi, tubuh para makhluk tersebut semakin memadat dan semakin mirip dengan tubuh manusia. Mereka kehilangan cahaya tubuhnya dan mulai menampakkan perbedaan fisik sebagai laki-laki dan perempuan sesuai dengan perbuatan masa lampau mereka. Ketika makhluk-makhluk tersebut saling melihat perbedaan tubuh mereka, timbul nafsu yang menyebabkan mereka saling tertarik dengan lawan jenisnya. Kemudian muncullah tempat tinggal yang dibangun untuk menyembunyikan aktivitas seksual mereka. Lalu kejahatan seperti pencurian dan kekerasan muncul di antara mereka sehingga mereka membangun stratifikasi sosial. Sistem pemerintahan pun terbentuk dan seorang yang dianggap mampu dipilih sebagai pemimpin mereka.
Selanjutnya, masing-masing periode asankheyya kappa dalam satu siklus semesta dibagi lagi menjadi 64 periode yang disebut antara kappa (masa peralihan), yaitu periode yang berlangsung ketika usia manusia menurun dari tak terhitung (asankhyeyya) menjadi sepuluh tahun lalu naik lagi menjadi tak terhitung. Lamanya 1 antara kappa ini pun tidak pernah dihitung dalam hitungan tahun. Dengan demikian, 1 siklus alam semesta = 4 periode asankheyya kappa = 4 x 64 periode antara kappa.
Pada periode asankheyya kappa pertama sampai ketiga tidak terdapat makhluk hidup sehingga tidak dapat dihitung kapan peralihan antara satu antara kappa dengan antara kappa lain, namun lamanya masing-masing periode asankheyya kappa tersebut sama dengan 64 antara kappa seperti pada periode asankheyya kappa keempat di mana manusia muncul.
Pada awal kemunculannya di bumi manusia memiliki usia yang sangat panjang yang tidak terhitung. Kemudian karena timbulnya tiga akar kejahatan (lobha, dosa, dan moha) perlahan-lahan umur rata-rata manusia berkurang menjadi 80.000 tahun pada generasi berikutnya. Ketika manusia mulai mengenal pencurian dan pembunuhan, umur rata-rata generasi berikutnya berkurang menjadi 40.000 tahun; ketika mengenal kebohongan, umur rata-rata generasi berikutnya berkurang menjadi 20.000 tahun; ketika mengenal tindakan mengadukan kejahatan orang lain, umur rata-rata generasi berikutnya berkurang menjadi 10.000 tahun; ketika mengenal perbuatan asusila, umur manusia berkurang menjadi 5.000 tahun; ketika mengenal ucapan kasar dan pembicaraan yang tidak bertujuan (omong kosong), umur manusia menjadi 2.500 tahun dan beberapa ada yang berumur 2.000 tahun; ketika muncul sifat iri hati dan kebencian, umur manusia menjadi 1.000 tahun; ketika muncul pandangan salah, umur manusia menjadi 500 tahun; ketika muncul hubungan seksual sedarah, keserakahan berlebihan, dan hubungan seksual sesama jenis, umur manusia menjadi 250 tahun dan beberapa ada yang berumur 200 tahun; ketika manusia kurang menghormati orang tua, pemuka agama, dan tokoh masyarakat, umur mereka berkurang menjadi 100 tahun. Lama-kelamaan kejahatan akan semakin disenangi dan kebajikan akan semakin dijauhi hingga akhirnya umur manusia tinggal 10 tahun saja di mana bagi para wanita usia 5 tahun adalah usia untuk menikah. Semua proses penurunan usia ini dijelaskan dalam Cakkavatti-sihanada Sutta (Digha Nikaya, III:26).
Pada masa ketika manusia berusia 10 tahun akan terjadi kekurangan makanan dalam tujuh hari yang membinasakan semua orang jahat jika penurunan usia ini disebabkan oleh meningkatnya keserakahan. Jika penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya kebodohan batin, akan terjadi wabah penyakit dalam tujuh hari dan semua orang jahat akan binasa. Jika penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya kebencian, akan terjadi saling bunuh di antara sesama manusia dengan menggunakan senjata dalam masa tujuh hari dan semua orang jahat akan binasa.
Beberapa orang yang bersembunyi dan menyelamatkan diri dari bencana ini (kelaparan, wabah penyakit, atau pembunuhan besar-besaran). Setelah tujuh hari mereka akan keluar dan menyesali kejahatan mereka dengan bertekad untuk tidak melakukan pembunuhan lagi. Karena tidak melakukan pembunuhan lagi, usia manusia pada generasi berikutnya bertambah menjadi 20 tahun. Karena tidak melakukan pencurian, kebohongan, fitnah, ucapan kasar, pembicaraan tidak berguna, iri hari, permusuhan, pandangan salah, hubungan seksual sedarah, keserakahan berlebihan, hubungan seksual sesama jenis, dan menghormati orang tua, pemuka agama, dan tokoh masyarakat, usia manusia perlahan-lahan menaik menjadi 40 tahun, 80 tahun, 160 tahun, 320 tahun, 640 tahun, 1.000 tahun, 2.000 tahun, 4.000 tahun, 8.000 tahun, 20.000 tahun, 40.000 tahun, dan 80.000 tahun pada generasi-generasi berikutnya. Pada masa ketika usia manusia 80.000 tahun, usia 5.000 tahun merupakan usia pernikahan untuk para wanita. Ketika kebajikan berkembang dan kejahatan tidak dikenal sama sekali, manusia akan mencapai usia yang sangat panjang yang tidak terhitung.
Demikianlah umur kehidupan manusia naik dari sepuluh tahun hingga tidak terhingga saat mereka mengembangkan kebajikan dan turun dari tidak terhingga menjadi sepuluh tahun saat mereka dikuasai oleh kejahatan. Hal ini akan terus berulang-ulang sampai 64 kali selama masa asankheyya kappa keempat hingga akhirnya siklus berulang dan kembali ke periode kehancuran.
Pada periode berlangsungnya pembentukan semesta yang kita alami saat ini telah muncul empat orang Buddha (yaitu Kakusandha, Konagamana atau Kanakamuni, Kassapa, dan Gautama atau Sakyamuni) dan akan muncul lagi seorang Buddha (yaitu Metteya atau Maitreya) pada masa yang akan datang. Karena kemunculan 5 orang Buddha pada siklus semesta kita saat ini, maka periode ini disebut bhaddakappa atau bhadrakalpa (masa keberuntungan). Dalam beberapa siklus semesta lainnya tidak muncul seorang Buddha pun (disebut sunyakappa/sunyakalpa atau masa kosong), sedangkan yang lain muncul satu sampai dengan maksimum lima orang Buddha.
Pada periode antara kappa kedelapan dalam masa asankheyya kappa saat ini, ketika usia manusia menurun perlahan-lahan dari tak terhingga menjadi 40.000 tahun, Buddha Kakusandha muncul di dunia. Setelah Buddha Kakusandha wafat, usia manusia perlahan-lahan turun dari 40.000 tahun menjadi 10 tahun kemudian naik lagi menjadi tak terhingga. Setelah itu usia manusia kembali turun menjadi 30.000 tahun. Saat inilah muncul Buddha Konagamana di dunia. Setelah Buddha Konagamana wafat, usia manusia turun perlahan-lahan dari 30.000 tahun menjadi 10 tahun kemudian naik lagi menjadi tak terhingga. Saat usia manusia kembali turun menjadi 20.000 tahun, Buddha Kassapa muncul di dunia. Setelah Buddha Kassapa wafat, umur manusia turun perlahan-lahan menjadi 10 tahun lalu naik menjadi tak terhingga. Ketika umur manusia turun perlahan-lahan dari tak terhingga menjadi 100 tahun saja, Buddha Gautama yang kita kenal dalam sejarah muncul.
Saat ini usia rata-rata kehidupan manusia semakin berkurang karena semakin menurunnya moralitas manusia itu sendiri. Ajaran Buddha Gautama yang sekarang dikenal sebagai agama Buddha pun akan perlahan-lahan dilupakan dan lenyap sekitar 5000 tahun setelah wafatnya Buddha Gautama. Kelak penurunan usia manusia akan mencapai puncaknya ketika usia manusia tinggal 10 tahun. Saat itu akan terjadi tujuh hari “masa pedang”, yaitu pembunuhan besar-besaran sesama manusia dengan senjata (yang diumpamakan dalam sutta sebagai pedang) karena meningkatnya kebencian. Setelah tujuh hari berlalu, banyak orang akan terbunuh dan mereka yang selamat akan mulai menyadari kesalahan mereka serta mengembangkan kebajikan kembali. Akibatnya umur manusia akan perlahan-lahan meningkat menjadi tak terhingga dan kemudian turun menjadi 80.000 tahun. Ketika usia manusia 80.000 tahun, Buddha yang akan datang, Metteya, akan muncul di dunia. Tidak ada angka tahun yang pasti antara kemunculan Buddha Gautama dengan kemunculan Buddha Metteya kelak seperti juga tidak ada angka tahun yang pasti antara kemunculan Buddha-Buddha sebelumnya.
Kemudian pada masa yang akan datang yang jauh setelah wafatnya Buddha Metteya, keadaan moral manusia akan semakin memburuk. Pada akhir antara kappa ke-64 akan turun hujan deras yang mengguyur bumi bersama seluruh tata surya lainnya yang menandai akan terjadinya kehancuran alam semesta. Saat inilah siklus akan berulang kembali ke periode kehancuran (samvatta-kappa) di mana alam semesta kita saat ini akan hancur oleh api.
Penutup
Demikianlah gambaran kosmologi menurut agama Buddha. Walaupun sebagian gambaran kosmologi ini mendekati konsep astronomi modern, kosmologi Buddhis tidak sepenuhnya sesuai dengan ilmu pengetahuan karena ia menggambarkan proses di alam semesta berdasarkan hukum alam yang juga dipengaruhi oleh perbuatan semua makhluk dan kekuatan para makhluk suci seperti para Bodhisattva dan para Buddha. Sesungguhnya kosmologi Buddhis yang dijelaskan di sini hanya membahas kosmologi temporal (usia dan siklus alam semesta) dan sebagian kosmologi spasial (struktur alam semesta) karena tidak membicarakan tentang alam-alam kehidupan para makhluk dari alam neraka sampai dengan alam Arupabrahma yang semuanya ada 31 alam. Mengenai 31 alam kehidupan ini telah dibahas oleh penulis lain dan dapat dibaca pada artikel yang berjudul “31 Alam pada Ajaran Buddha”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H