Mohon tunggu...
Marshalleh Adaz
Marshalleh Adaz Mohon Tunggu... Freelancer - padanglamo : Merawat dan melestarikan memori kolektif dalam ingatan dan tindakan

"Arsip dan pustaka adalah dua sisi yang selalu seiring dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyelamatkan kehidupan bangsa"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Integritas Harga Diri

19 Agustus 2019   11:10 Diperbarui: 19 Agustus 2019   11:21 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

SAYA ANTI SOGOK

(Dari koleksi yang tertimbun cukup lama)

Pemerintah Kota Padang telah mencanangkan anti korupsi yang disimbolkan dalam bentuk pin bundar. Bertuliskan Saya Anti Sogok, wajib pakai bagi seluruh jajaran Pemko Padang. Pencanangan ini menunjukkan keseriusan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik yaitu dengan menutup celah terjadinya praktek KKN. 

Langkah ini disatu sisi memang perlu dilaksanakan mengingat berbagai kasus KKN telah terjadi jauh sebelumnya. Namun pada sisi yang tidak sama, keberadaan sebuah pin justru berhadapan dengan harapan untuk menetralisir ambisi yang korelatif dengan nurani seseorang, berseberangan dengan kebiasaan, obsesi, pelanggaran paradigma yang berlangsung sampai saat ini, dan strata pemahaman arti Saya Anti Sogok itu sendiri. Semua itu akan bermuara pada harga diri orang yang memakainya dan mereka yang berada dalam lingkaran Saya Anti Sogok.

Makna dominan Saya Anti Sogok adalah kata sogok, sama artinya dengan suap. Dua kata antara sogok dan suap ini memiliki makna kias atau konotasi, yaitu tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata. Seperti, "amplop" pada tolong belikan amplop, akan bermakna lain pada berikan saja dia amplop. Kata sogok dapat diartikan dengan menyuap. 

Kata suap diartikan juga memberi uang sogok, atau memasukan sesuatu ke mulut dalam arti lain. Jika kemudian disandingkan antara Saya Anti Sogok dan Saya Anti Suap, terdapat etika dalam memaknai kalimat tersebut. Sogok pada slogan pin maknanya kurang halus dan lebih objektif karena menonjolkan karakter sikap. 

Suap memliki makna lebih halus karena lebih subjektif. Sogok biasanya berlaku untuk kasus kecil seperti uang pelicin dalam pengurusan administrasi. Suap lebih cenderung terjadi untuk kasus lebih besar seperti kasus suap di tubuh Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, atau dapat juga dikonotasikan sesuap kecil tidak dapat mengenyangkan perut.

Sehingga berdasarkan tata bahasa seperti ini jelas lebih tepat jika Saya Anti Sogok sebagai simbol dari pada Saya Anti Suap. Dalam hal ini Pemko Padang "sengaja" memulainya dari jajaran paling bawah ditubuh pemerintahannya, seperti anti sogok dalam pelayanan, dan anti sogok dalam pengurusan jati diri di catatan sipil, izin usaha dan izin bangunan. 

Diharapkan Pemko Padang lebih berani lagi pada tingkatan selanjutnya, misalnya terhadap berbagai kasus pengadaan berskala besar dan proyek fisik bernilai tinggi yang berasal dari penyalahgunaan wewenang. Pilihan slogan untuk itu misalnya Saya Tidak Suka Suap atau Jangan Suap Saya.

Sogok dalam konteks ini dapat dikenali berdasarkan cirinya, seperti; lebih dari satu orang yang terlibat; rahasia; keuntungann timbal balik; perbuatan yang berlindung dibalik aturan hukum; penipuan, pengkhianatan kepercayaan, pelanggaran terhadap norma tugas dan pertanggungjawaban pemerintahan dan masyarakat. Semua itu tidak saja rentan pada badan publik tapi telah merambat kesemua bidang. Harga diri menjadi tolok ukur semua elemen itu. Hanya mata bathinlah yang dapat melihat benar tidaknya perbuatan. Mata bathin kemudian akan memberikan evaluasi terhadap harga diri. 

Paradigma sogok, sebagai bagian dari KKN, harus kita terima sebagai warisan masa lampau. Berakar dan sulit untuk menghapusnya. Ciri yang melekat pada sogok ternyata telah dilakoni oleh pelaku sebelum generasi sekarang. Di zaman kerajaan. sogok di Indonesia dilatar belakangi oleh motif kekuasaan dan kekayaan. Diawali dengan konflik kekuasaan dan selalu berakhir dengan motif untuk memperkaya diri sendiri. Misalnya penyerahan upeti dengan dalih perlindungan penuh, atau penempatan posisi penting dalam kerajaan melalui rekomendasi perdana menteri untuk disampaikan kepada raja.

Masuknya Belanda ke Indonesia ternyata membuka mata kita bahwa dikemudian hari sogok menjadi wabah dan membudaya. Berawal dari keinginan lalu ambisi, dan menjadi terobsesi untuk menguasainya. Boleh dikatakan dalam setiap perniagaan yang dilakukan Belanda identik dengan sogok untuk monopoli. Ketika dapat satu Belanda berambisi untuk berkuasa, dan terobsesi agar abadi di bumi nusantara ini. Seperti pernah kita dengar "ibarat Belanda minta tanah".

Belanda pertama kali ke Indonesia diperkirakan pada akhir abad ke-16, di bawah pimpinan armada dagang Cornelis de Houtman. Merapat di Pulau Enggano, Lampung, Banten dan sampai ke perairan Madura. Menurut catatan sejarah sampai tahun 1602 lebih kurang 60 kapal dagang Belanda telah berkunjung ke semua daerah penghasil rempah-rempah. Salah satu kawasan yang menjadi primadona Belanda adalah bagian perairan pulau Sumatera seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis dan Inderapura

Kedatangan Belanda ke kawasan ini dalam beberapa kesempatan selalu gagal dan rugi karena penduduk tidak bersedia bertransaksi dengan Belanda. Para pedagang pribumi tidak tertarik dengan nilai tawar yang diberikan Belanda, mereka tidak terkesima oleh penampilan Belanda, mereka tidak takjub melihat besarnya kapal Belanda yang berlabuh. Dipihak Belanda segala usaha telah dilakukan. Melalui pendekatan dengan pedagang dan saudagar kaya, pemberian cendera mata, dan usaha lain yang identik dengan sogok.

Belanda ternyata lupa dan tidak menyadari jika sebelum mereka datang telah ada bangsa pribumi yang berkuasa penuh di bidang politik dan ekonomi, yaitu Kerajaan Aceh. Raja Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607 sampai 1636, melanjutkan kekuasaan sebelumnya 'Ala'ud-Din Riayat Syah, berhasil membuat Belanda tidak berkutik.

Walaupun pusat pemerintahan kerajaan berada di Aceh, Iskandar Muda menerapkan sistem pemerintahan yang terstruktur dengan baik. Disetiap daerah pelabuhan dan kota dagang di pesisir barat Sumatera Raja Aceh menempatkan seorang Panglima sebagai wakil. Berkuasa penuh, mutlak dan tidak dapat diganggu gugat di wilayah kekuasaannya. Panglima yang diangkat adalah orang Aceh dan memiliki hubunngan keluarga dengan raja. Para panglima ini secara berkala akan datang ke pusat kerajaan Aceh untuk melakukan berbagai pertemuan yang bersifat penyampaian laporan kinerja, evaluasi, koordinasi, sinkronisasi, mutasi, promosi, dan penyusunan strategi.

Transparansi dan akuntabilitas kinerja panglima di wilayah perwakilan tercermin dalan tugas pokok dan fungsi yang ditetapkan oleh Iskandar Muda. Para panglima bertugas sebagai koordinator perdagangan, penentuan harga, pengaturan bea dan cukai keluar masuk rempah-rempah dan emas, menentukan alat pembayaran kepada suadagar dan investor, menetapkan lebih kurang 15% sebagai premi karena tidak mendapat gaji tetap dari Aceh. Sampai terbentuknya VOC dan beberapa waktu sesudah itu Aceh masih memonopoli semua sistem politik, ekonomi dan pertahanan.

Antara Kerajaan Aceh sebagai pemilik (pribumi) dan Belanda sebagai yang akan memiliki (penjajah), sama-sama telah melakoni prinsip kerja KKN. Aceh telah melakukan monopoli sumber daya yaitu tidak memberi kesempatan kepada bangsa lain untuk berkompetisi karena sentralistis kekuasaan. Dengan aspek ini saja Aceh telah cukup memenuhi syarat terjadinya penyalahgunaan wewenang, yang rentan sekali munculnya sogok atau suap sekalipun. Sangat jarang harga diri akan terus bertahan ketika ambisi lebih besar dari kapasitas, tingginya tingkat kebutuhan sedangkan kemampuan terbatas dan dinamika kehidupan yang selalu tidak tidak pernah tetap.  

Namun semua penilaian terhadap Kerajaan Aceh dapat diterima sebagai suatu yang wajar. Para pembesar dan Panglina Aceh wajar saja bersikap demikian karena berpijak atas dasar nasionalisme, mempertahankan kedaulatan wilayah dan kedaulatan rakyat. Sebagai anak bangsa Kerajaan Aceh memang harus punya harga diri demi legalitas pemerintahannya. Justru Belanda yang harus di tuding karena tidak punya harga diri. Selalu memaksakan kehendak. Menghalalkan segala cara agar memperoleh barang dagangan

yang datang semulanya untuk berniaga, sama dengan bangsa lainnya seperti Portugis dan Inggeris, harus mengabaikan harga dirinya sebagai bangsa yang terkenal dengan suka membantu dan respek terhadap orang lain. Satu contoh dapat kita ambil 

Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten, mengajarkan bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. 

Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. 

Hal yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan "Perang Paregreg" yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. 

Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso. Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan "abdi dalem". 

Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan dikemudian hari.

Pada zaman penjajahan, praktek korupsi masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah terutama oleh Belanda. Korupsi berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. 

Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia.

Pada zaman modern seperti sekarang ini walaupun telah lepas dari belenggu penjajahan, akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah Belanda, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). 

Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini.

Dikota Padang, Saya anti sogok telah dirintis oleh seorang tokoh yang sangat dibanggakan, yaitu Bgd. Aziz Chan. Walikota Padang ke 2, menggantikan Mr. Abu Bakar Djaar. Bgd. Aziz Chan adalah sosok yang tegar, tegas, teguh dan bijaksana. Identifikasi Aziz Chan anti sogok dapat diawali pengangkatannya secara aklamasi sebagai Walikota Padang, dimana pemilihan dilakukan tanpa sogok untuk mendapatkan jabatan, dan tidak menyalahgunakan jabatan setelah berjabatan. Walaupun memang kondisi Kota Padang saat itu sedang dalam masa agresi oleh Belanda akibat pindahnya markas tentara dan pemerintahan republik ke Bukittinggi.

Dalam perundingan dengan pihak RI yang diketuai Residen SM. Rasyid, dibentuklah sebuah Panitia Kerja yang diketuai oleh Wali Kota Padang Bagindo Aziz Chan. Semenjak itu mulai kembali dilakukan pemungutan pajak-pajak penghasilan kota, seperti pajak tontonan, kendaraan dan sebagainya. 

Kegiatan ini membuka peluang sogok, yaitu ketika segala macam pajak dilakukan pemungutannya, dimana ekonomi yang belum stabil dan longgarnya pengawasan pungutan pajak, semestinya peluang untuk korupsi dan menyogok pemerintah kota praja masa itu terbuka luas. Namun kenyataannya, pegawai yang ditunjuk untuk pemungutan pajak itu tidak satu sen mengambil untuk keuntungan pribadi.

Pernyataan sikap Bgd. Aziz Chan yang sangat jelas dan transparan disampaikannya dalam suatu wawancara:

Masalah kota Padang ini harus dihadapi dengan suatu rencana yang nyata dan perbelanjaan yang cukup. Harus ditambah lagi dengan pegawai-pegawai yang telah diseleksi, tabah dan patuh setia pada perjuangan Republik Indonesia. Semenjak awal bulan Januari 1947, pemerintah telah dapat menjamin makanan untuk penduduk dan pegawai RI di kota Padang yang berjumlah lebih kurang sepuluh ribu jiwa. Makanan itu dibagikan dengan cuma-cuma untuk meringankan kesengsaraan rakyat.

Jelas sekali Bgd. Aziz Chan menerapkan penempatan personil atau pegawai yang bermartabat dan memiliki harga diri melalui seleksi yang dilaksanakan beliau. Termasuk dalam pendistribusian ransum dan makanan, Bgd. Aziz Chan memberikan jaminan jika penduduk Kota Padang tidak akan kelaparan, yang sama artinya tidak sedikitpun beliau mengambil fasilitas yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi.

            Pada masa Orde Baru, Soeharto, pajak merupakan andalan utama peningkatan pendapatan negara. Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas Negara, hingga tuduhan komunis gaya baru dan lain sebagainya. Soeharto dengan demokrasi terpimpinnya mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi faktor penting mengapa korupsi begitu sangat mudahnya tumbuh subur dan berkembang

Secara sosiologis, terjadi kecenderungan korupsi yang menyebar dan menjamur dikalangan masyarakat umum, juga tidak lepas dari bangunan kekuasaan yang dipraktekkan oleh Orde Baru Soeharto. Tercipta hegemoni pemikiran masyarakat oleh lingkungan sosial yang terbentuk dari bangunan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter. Wajar kemudian ketika sebahagian besar pejabat-pejabat pemerintahan hingga tingkat daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah hingga kepala dusun sekalipun), juga ikut bertindak sama dengan prilaku yang diterapkan oleh kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang. Pejabat lokal pemerintahan inipun, tak segan untuk menggunakan otoritasnya demi memperkaya diri sendiri dengan menghisap serta menindas masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat terkesan diam dan tak berani bertanya apalagi melakukan protes akibat dominannya kekuasaan yang terjadi. Akibatnya, budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat cenderung prematur dan prakmatis. Semisal, banyaknya masyarakat yang berlomba-lomba untuk menjadi Bupati atau Camat meski harus menghabiskan biaya yang tak sedikit dalam pemilihannya

Sekarang setelah masuk pada era globalisasi, implementasi kepemerintahan semakin komplek dan konflik. Lengkap karena banyaknya urusan yang terkait dengan kebutuhan masyarakat dan menimbulkan konflik karena banyaknya urusan yang memerlukan efektif dan efisien penyelesaiannya.

Harga diri sebagai abdi masyarakat dan harga diri pemerintah yang menjalankan roda pemerintahan, riskan sekali jika terjadi karena warisan masa lampau. Pergantian era kepemimpinan yang sejalan dengan perkembangan zaman semestinya melahirkan perubahan sikap dan pola pikir. Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang menrubahnya. Untuk itu, belajar dari sejarah, dan melihat kedepan kearah yang lebih baik, maka perlu dilakukan peningkatan kualitas dan kuantitas.

Mengembalikan Kepercayaan Masyarakat. Sebuah fakta menunjukan bahwa tingkat praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat negara, menyebabkan masyarakat menarik dukungannya terhadap pemerintah. Kepercayaan serta harapan masyarakat terhadap pemerintah semakin menurun, bahkan senderung apatis terhadap pemerintah beserta aparatur-aparatur hukumnya, seperti polisi, jaksa, hakim, dan lain sebagainya. 

Pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah terkesan berjalan dengan lamban. Berbelit-belit dan sangat birokratisnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan, menjadi salah satu faktor mendasar penyelesaiaan sebuah kasus. Pemerintah dituntut untuk membuat kebijakan yang bertujuan untuk mempelancar proses pemberantasan korupsi sehingga daapt berjalan cepat, efisien dan efektif tanpa harus dihalangi oleh aturan-aturan yang telampau birokratis.

Pemberantasan Korupsi Melalui Upaya Hukum. Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi korupsi ini bukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan, dan penangkapan koruptor. Upaya pemberantasan korupsi juga bukan hanya sekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral seseorang. 

Namun upaya korupsi harus secara mendalam menutup akar penyebabnya melalui; perbaikan kondisi hidup masyarakat secara menyeluruh, terutama dalam konteks perbaikan ekonomi; membangun sistem kekuasaan yang demokratis; membangun akses kontrol dan pengawasan masyarakat terhadap pemerintah; penguatan institusi-institusi aparatur penegak hukum yang jujur dan kredibilitas; perbaikan sistem dan mutu pendidikan.

Berharap pada harga diri yang anti korupsi, dapat diperkirakan dapat memperkecil tingkat kesalahan tidak terjadinya pungli dari tingkat atas sampai ke kelurahan, gratifikasi kepada pejabat penolong urusan, basa basi yang diselipkan setelah urusan selesai, dan mengutip hasil pungutan resmi. Semua itu ditentukan oleh harga diri seorang abdi masyarakat. Dan bagi Pemerintah Kota Padang, harapan itu sejak dulunya dinaungi oleh konsep yang jelas, yaitu adat basandi syarakat, syarak basandi kitabullah. Dimana saya akan malu jika menerima sogok. Sebab sogok sama artinya pelanggaran terhadap adat dan syarak.

 

 Kepustakaan

 Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia, Analis Informasi LIPI, 2007.

Dendy Sugono, Dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Edisi IV, 2008.

Fatimah Djajasudarma, Semantik  1, Pengantar ke Arah Ilmu Makna, Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung, 1999.

Harian Singgalang, Pin Anti Sogok untuk Apa, Tajuk, 20 Maret 2012.

Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi , Jakarta: Sinar Grafika, 2006

Madjalah Penerangan Sumatera Tengah,  mengenang Bgd. Aziz Chan - Pahlawan Nasional Aziz Chan, No. 112, 15 Djuli 1953, tahun IV.  

Mingguan BAKINNews, Pimpinan KPK Pasangkan PIN Anti Sogok, 21 Maret 2012.

www.nusantaranews.net, Pencanangan Anti Korupsi, 18 Maret 2012.

Marshalleh Adaz

Staf dan Pengelola Galeri Arsip Statis

Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Padang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun