Mohon tunggu...
Marshalleh Adaz
Marshalleh Adaz Mohon Tunggu... Freelancer - padanglamo : Merawat dan melestarikan memori kolektif dalam ingatan dan tindakan

"Arsip dan pustaka adalah dua sisi yang selalu seiring dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyelamatkan kehidupan bangsa"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Integritas Harga Diri

19 Agustus 2019   11:10 Diperbarui: 19 Agustus 2019   11:21 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masuknya Belanda ke Indonesia ternyata membuka mata kita bahwa dikemudian hari sogok menjadi wabah dan membudaya. Berawal dari keinginan lalu ambisi, dan menjadi terobsesi untuk menguasainya. Boleh dikatakan dalam setiap perniagaan yang dilakukan Belanda identik dengan sogok untuk monopoli. Ketika dapat satu Belanda berambisi untuk berkuasa, dan terobsesi agar abadi di bumi nusantara ini. Seperti pernah kita dengar "ibarat Belanda minta tanah".

Belanda pertama kali ke Indonesia diperkirakan pada akhir abad ke-16, di bawah pimpinan armada dagang Cornelis de Houtman. Merapat di Pulau Enggano, Lampung, Banten dan sampai ke perairan Madura. Menurut catatan sejarah sampai tahun 1602 lebih kurang 60 kapal dagang Belanda telah berkunjung ke semua daerah penghasil rempah-rempah. Salah satu kawasan yang menjadi primadona Belanda adalah bagian perairan pulau Sumatera seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis dan Inderapura

Kedatangan Belanda ke kawasan ini dalam beberapa kesempatan selalu gagal dan rugi karena penduduk tidak bersedia bertransaksi dengan Belanda. Para pedagang pribumi tidak tertarik dengan nilai tawar yang diberikan Belanda, mereka tidak terkesima oleh penampilan Belanda, mereka tidak takjub melihat besarnya kapal Belanda yang berlabuh. Dipihak Belanda segala usaha telah dilakukan. Melalui pendekatan dengan pedagang dan saudagar kaya, pemberian cendera mata, dan usaha lain yang identik dengan sogok.

Belanda ternyata lupa dan tidak menyadari jika sebelum mereka datang telah ada bangsa pribumi yang berkuasa penuh di bidang politik dan ekonomi, yaitu Kerajaan Aceh. Raja Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607 sampai 1636, melanjutkan kekuasaan sebelumnya 'Ala'ud-Din Riayat Syah, berhasil membuat Belanda tidak berkutik.

Walaupun pusat pemerintahan kerajaan berada di Aceh, Iskandar Muda menerapkan sistem pemerintahan yang terstruktur dengan baik. Disetiap daerah pelabuhan dan kota dagang di pesisir barat Sumatera Raja Aceh menempatkan seorang Panglima sebagai wakil. Berkuasa penuh, mutlak dan tidak dapat diganggu gugat di wilayah kekuasaannya. Panglima yang diangkat adalah orang Aceh dan memiliki hubunngan keluarga dengan raja. Para panglima ini secara berkala akan datang ke pusat kerajaan Aceh untuk melakukan berbagai pertemuan yang bersifat penyampaian laporan kinerja, evaluasi, koordinasi, sinkronisasi, mutasi, promosi, dan penyusunan strategi.

Transparansi dan akuntabilitas kinerja panglima di wilayah perwakilan tercermin dalan tugas pokok dan fungsi yang ditetapkan oleh Iskandar Muda. Para panglima bertugas sebagai koordinator perdagangan, penentuan harga, pengaturan bea dan cukai keluar masuk rempah-rempah dan emas, menentukan alat pembayaran kepada suadagar dan investor, menetapkan lebih kurang 15% sebagai premi karena tidak mendapat gaji tetap dari Aceh. Sampai terbentuknya VOC dan beberapa waktu sesudah itu Aceh masih memonopoli semua sistem politik, ekonomi dan pertahanan.

Antara Kerajaan Aceh sebagai pemilik (pribumi) dan Belanda sebagai yang akan memiliki (penjajah), sama-sama telah melakoni prinsip kerja KKN. Aceh telah melakukan monopoli sumber daya yaitu tidak memberi kesempatan kepada bangsa lain untuk berkompetisi karena sentralistis kekuasaan. Dengan aspek ini saja Aceh telah cukup memenuhi syarat terjadinya penyalahgunaan wewenang, yang rentan sekali munculnya sogok atau suap sekalipun. Sangat jarang harga diri akan terus bertahan ketika ambisi lebih besar dari kapasitas, tingginya tingkat kebutuhan sedangkan kemampuan terbatas dan dinamika kehidupan yang selalu tidak tidak pernah tetap.  

Namun semua penilaian terhadap Kerajaan Aceh dapat diterima sebagai suatu yang wajar. Para pembesar dan Panglina Aceh wajar saja bersikap demikian karena berpijak atas dasar nasionalisme, mempertahankan kedaulatan wilayah dan kedaulatan rakyat. Sebagai anak bangsa Kerajaan Aceh memang harus punya harga diri demi legalitas pemerintahannya. Justru Belanda yang harus di tuding karena tidak punya harga diri. Selalu memaksakan kehendak. Menghalalkan segala cara agar memperoleh barang dagangan

yang datang semulanya untuk berniaga, sama dengan bangsa lainnya seperti Portugis dan Inggeris, harus mengabaikan harga dirinya sebagai bangsa yang terkenal dengan suka membantu dan respek terhadap orang lain. Satu contoh dapat kita ambil 

Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten, mengajarkan bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. 

Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun