Di sebuah pagi yang cerah, Yani dan Husen duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota Cianjur. Aroma kopi segar menguar di udara, menciptakan suasana hangat dan akrab. Sambil menyesap kopi, Yani memulai percakapan yang selalu memikat hatinya.
"Selamat pagi, Husen. Menurutmu, apa itu buku?" tanya Yani, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu.
Husen tersenyum lembut. "Pagi, Yani. Bagiku, buku adalah jembatan pengetahuan. Seperti yang pernah dikatakan Bunda Lely, buku adalah kumpulan lembaran yang berisi tulisan atau gambar, yang menghubungkan masa lalu, sekarang, dan masa depan."
Yani mengangguk setuju. "Benar sekali. Dan bagaimana menurutmu perubahan bentuk buku dari masa ke masa?"
"Perubahan itu menunjukkan adaptasi kita terhadap teknologi. Dari gulungan lontar hingga buku digital saat ini, semua adalah upaya manusia untuk memudahkan penyebaran informasi," jawab Husen sambil menikmati gigitan kue kering yang renyah.
"Lalu, apa perbedaan antara buku biografi dengan jenis buku lainnya?" Yani melanjutkan pertanyaannya.
Husen berpikir sejenak sebelum menjawab. "Buku biografi memberikan kita perspektif yang lebih dalam tentang kehidupan seseorang. Berbeda dengan fiksi, biografi memberi kita pelajaran dari kisah nyata yang didasarkan pada fakta, bukan imajinasi."
Yani tersenyum, merasa puas dengan jawaban temannya. "Terima kasih atas wawasanmu, Husen. Buku memang lebih dari sekadar alat; mereka adalah saksi bisu peradaban kita."
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati suasana kafe yang mulai ramai. Setelah beberapa saat, Yani kembali membuka percakapan.
"Husen, bagaimana menurutmu peran buku dalam menyimpan data dan informasi?"
"Buku memiliki peran vital, Yani. Mereka adalah saksi bisu perkembangan zaman, dari gulungan lontar hingga lembaran kertas yang kita gunakan sekarang. Buku tidak hanya menyimpan data, tapi juga cerita, ilmu, dan warisan budaya," jelas Husen dengan penuh semangat.