Raly duduk di kursi deretan depan aula, matanya menatap layar proyektor yang menampilkan slide terakhir dari presentasi penulis terkenal. Hatinya masih berdebar-debar, kagum dengan cerita-cerita yang telah dibagikan sepanjang hari di Temu Penulis KBMN PGRI ke-3 di Bandung. Ia menoleh ke sebelahnya, Kak Api, yang sedang mencatat dengan tekun.
“Kak, inspiratif banget ya ceritanya,” bisik Raly, takut mengganggu peserta lain.
Kak Api mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Iya, Ly. Kita bisa banyak belajar dari pengalaman mereka.”
Setelah sesi presentasi selesai, peserta diajak menikmati kopi dan camilan di area luar aula. Raly dan Kak Api berjalan ke salah satu sudut, duduk di bangku taman kecil yang menghadap ke arah kolam.
“Kak, aku jadi kepikiran tentang puisiku yang tadi,” ujar Raly sambil mengeluarkan secarik kertas dari tasnya. “Aku ingin bacakan untuk Kak Api.”
Kak Api memandang Raly dengan penuh perhatian. “Tentu, Ly. Aku akan mendengarkan dengan senang hati.”
Raly tersenyum sangat bahagia, senyuman ini membuat bola matanya nyaris hilang, lalu ia menarik napas dalam, lalu mulai membaca puisinya:
Jika Masih Ada Harapan
Tersuruk labirin peradaban
Banyak yang minta dibanggakan
Namun kami, pinggiran tak penting
Sekadar ringkih daun kering
Di sisi-sisi keramaian kota
Kami nyaris mati ditelan sengketa
Penat hidup hasil rajaman agitasi
Segenap harap hanya berbuah ilusi
Wahai, yang katanya terhormat
Di mana janji-janji pernah terucap
Jika besok masih ada harapan
Keinginan kami mohon diperjuangkan
Selesai membaca, Raly menunduk, menunggu reaksi dari Kak Api. Kak Api terdiam sejenak, mencerna setiap kata yang telah didengar.
“Raly, puisimu sangat kuat dan menyentuh,” kata Kak Api pelan. “Kau berhasil menangkap perasaan ketidakadilan dan perjuangan dengan begitu mendalam.”
Raly tersenyum lega. “Terima kasih, Kak. Aku ingin puisiku bisa memberikan suara bagi mereka yang sering terabaikan.”
Kak Api mengangguk penuh semangat. “Dan itulah tugas seorang penulis, Ly. Menyuarakan apa yang tidak bisa diucapkan oleh banyak orang. Kau sudah berada di jalur yang tepat.”
Hari itu, di tengah keramaian kota Bandung, Raly dan Kak Api merasa semakin dekat dengan dunia sastra yang mereka cintai. Mereka tahu bahwa meskipun hidup penuh dengan tantangan dan ketidakpastian, selama masih ada harapan, mereka akan terus berjuang dan menulis.
Saat senja mulai turun, mereka kembali ke aula untuk mengikuti sesi terakhir. Di benak Raly, masih terngiang kata-kata Kak Api. “Jika besok masih ada harapan, keinginan kami mohon diperjuangkan.” Ia bertekad untuk terus menulis, menyuarakan harapan dan perjuangan, memastikan bahwa setiap kata yang ia tulis membawa perubahan positif.
Malam itu, Bandung terasa lebih dingin, namun di hati Raly dan Kak Api, ada hangat yang menyala, sebuah tekad untuk tidak pernah menyerah, untuk terus berjuang melalui kata-kata. Mereka tahu, jika masih ada harapan, mereka akan terus berjuang, dan bersama-sama, mereka bisa membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik.
bahan bacaan; https://www.kompasiana.com/ithaabimanyu/6693e9c9c925c47968274cd2/jika-masih-ada-harapan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H