Mohon tunggu...
Mr WinG
Mr WinG Mohon Tunggu... Freelancer - guru

bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kamu Hebat

5 Juli 2024   01:21 Diperbarui: 5 Juli 2024   01:25 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tengah kesunyian malam kota Solo, Rahayu duduk di teras rumahnya yang sederhana, merenung dalam keheningan malam. Cahaya remang-remang lampu jalan menyinari wajahnya yang penuh pikiran. Dia adalah seorang guru yang tekun, sering kali menyalurkan perasaannya melalui puisi-puisi yang indah.

Tidak jauh dari sana, di sebuah apartemen kecil, Mydearly, seorang seniman muda yang penuh semangat, juga tengah menghadapi pertarungan batin yang berat. Dalam sunyi yang hanya dipecah oleh musik lembut, dia menulis puisi-puisi gelap yang mencerminkan pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya sendiri.

Suatu malam, ketika Rahayu melihat unggahan Mydearly di media sosial, dia merasakan getaran yang tidak biasa. Puisi-puisi Mydearly penuh dengan rintihan dan kegelapan, sungguh kontras dengan keceriaan yang biasa terpancar dari seniman muda itu di masa lalu. Rahayu merasa terpanggil untuk berbagi kehangatan dan pencerahan kepada Mydearly.

"Mungkin Mydearly butuh seseorang untuk mendengarkan," pikir Rahayu dalam hatinya. Tanpa ragu, dia mengirimkan pesan singkat, menawarkan diri untuk mendengarkan dan menyediakan tempat untuk berbagi.

Pertemuan mereka berlangsung di sebuah kafe kecil di pusat kota. Mydearly tiba dengan pandangan yang sedikit muram, tetapi senyum bersahabat Rahayu mampu menerobos dinding-dinding yang dibangun di sekitar hatinya.

"Iiih....ngeriii, Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Mydearly?" tanya Rahayu dengan penuh kebaikan hati, mencoba mencairkan keheningan yang menggelayuti mereka.

Mydearly tersenyum getir, membiarkan air mata jatuh. "Banyak hal, Rahayu. Banyak hal yang membuatku merasa tercekik oleh dunia ini," ujarnya pelan.

Rahayu mengangguk paham, lalu menyodorkan buku kecil berisi puisi-puisi yang pernah dia tulis. "Aku juga sering merasa seperti itu, Mydearly. Tapi puisi-puisiku adalah cara ku untuk menyalurkan semua perasaan itu. Mungkin kamu bisa mencoba juga."

Mydearly mengambil buku itu dengan ragu, tetapi ketika dia membaca baris-baris kata, dia merasakan sesuatu yang aneh. Ada kedamaian dalam kata-kata Rahayu, meskipun menggambarkan kegelapan. Dia merasa terhubung dengan perasaan yang sama, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda.

"Tak ada penderitaan yang tak berakhir, Mydearly," ucap Rahayu dengan lembut, mengutip kata-kata dari surah yang mereka bicarakan. "Tak ada luka yang tak bisa sembuh. Kita hanya perlu bersabar."

Mydearly menatap Rahayu dengan penuh kekaguman. "Maafkan saya jika aku terlalu tertutup," katanya ragu. "Aku selalu berpikir bahwa penulis harus jujur dalam mengekspresikan perasaannya. Tapi mungkin aku memang terlalu pesimis."

Rahayu tersenyum. "Tidak ada yang salah, Mydearly. Setiap perjalanan memiliki cerita tersendiri. Kita hanya perlu mendengarkan dan saling menguatkan."

Dari malam itu, Rahayu dan Mydearly menjadi teman baik. Mereka saling berbagi puisi, musik, dan cerita kehidupan. Setiap kali salah satu dari mereka merasa terjatuh, yang lainnya selalu ada untuk menolong mengangkat.

Dan dari situlah, perjalanan mereka dalam menemukan cahaya di tengah kegelapan menjadi lebih indah, bersama-sama melangkah dalam kehidupan yang tak selalu mulus, tetapi selalu berharga.

Malam itu, setelah pulang dari pertemuan dengan Mydearly, Rahayu sedianya akan tidur. Namun, kucing kesayangan budenya belum pulang. Si kucing, yang dikenal sangat aktif dan penuh rasa ingin tahu, sering kali melompat keluar melalui jendela yang sedikit terbuka untuk mendapatkan udara segar di luar.

"Kucing yang baik, dia selalu pulang," pikir Rahayu sambil melihat ke arah jendela. Meskipun sedikit cemas, Rahayu tahu bahwa si kucing hanya butuh sedikit waktu di luar. Dia sering kali kembali dengan cepat, membawa kesegaran dari luar ke dalam rumah.

Rahayu mengingat bagaimana dia selalu memberi makan si kucing sesuai dengan amanah budenya. Setiap kali makanan tinggal sedikit, dia akan memotret wadah-wadah makanan si kucing dengan kamera ponselnya dan mengirimkannya kepada budenya sebagai laporan.

"Semoga dia segera pulang," gumam Rahayu, memandangi jalan yang sunyi di luar jendela. Sambil menunggu, Rahayu memutuskan untuk menulis puisi lain, berharap bahwa kata-katanya bisa mengalihkan perhatiannya dari kecemasan yang sejenak menyelimuti.

Namun, sebelum dia menyelesaikan bait pertama, terdengar suara langkah kecil di dekat jendela. Rahayu tersenyum lega ketika melihat si kucing kembali, melompat masuk dengan lincah dan langsung menuju ke tempat tidurnya. 

"Kamu memang kucing yang hebat," bisik Rahayu, mengusap lembut bulu si kucing sebelum akhirnya mereka berdua tertidur dengan tenang, siap untuk menyambut hari esok yang penuh harapan dan cerita baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun