Mohon tunggu...
Mr WinG
Mr WinG Mohon Tunggu... Freelancer - guru

bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kesedihan

23 Juni 2024   07:38 Diperbarui: 23 Juni 2024   07:42 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentari merah saga menghias cakrawala,
Camar-camar berlomba kembali ke sarang,
Lembayung menghapus jejak kuning,
Kegelapan mulai menyelimutkan selapis awan tipis.

Aku memandang siluet tubuhmu di tepi lautan biru,
Gurat luka terukir di wajahmu,
Andai aku bisa mengembalikan senyum itu,
Senyum manis yang selalu kurindu.

"Kamu tahu apa keinginanku sekarang?" tanyamu.
"Tidak," jawabku singkat, tetap mengawasimu.
"Ingin ku larungkan semua lara ini ke lautan lepas."
Kamu memandang cakrawala tanpa jeda.

Setahun yang lalu kamu datang padaku,
Bercerita tentang lelaki yang dicintai telah mendua,
Dua puluh tahun bersama, kini tersisa kepahitan,
Biduk yang dikayuh, tak lagi bernahkoda.

"Kamu pasti kuat," hiburku,
Namun, hatimu terluka,
Cobaan hidup meluluhlantakkan asa,
Aku tak berdaya, hanya bisa menemanimu.

Tangisanmu di tengah malam,
Kanker bersarang di hatimu,
Usiamu tersisa enam bulan, kata dokter,
Aku ingin menguatkanmu, namun tak mampu.

Kamu sembunyikan luka,
Suami dan anak-anak tak tahu,
Hanya aku yang mendengar keluh kesahmu,
Biarlah lara ini hanya aku yang rasakan, katamu.

Dua bulan lalu, kamu tunjukkan foto wanita itu,
Perempuan yang menggoyahkan kesetiaan suamimu,
Tuhan terus menguji iman dan tabahmu,
Kamu diam, pasrah, membiarkan perempuan itu menjadi madumu.

"Ma, kenapa Tante Endang tidur di kamar utama?" tanya Rudi,
Endang menjelaskan, namun kamu tak menanggapi,
Kamu sembunyikan air mata, berusaha tegar,
Rudi memelukmu, tak mau punya ibu tiri.

Malam ini, kamu berdiri di dermaga,
Air mata jatuh di pipimu,
Gumpalan amarah, duka, kecewa menyatu,
"Tuhan, aku lelah. Panggil aku jika ini waktunya," teriakmu.

Deburan ombak, aku yang menemanimu,
Jauh di lubuk hatimu, aku selalu ada,
Meniti jalan tak berujung,
Bersama kesedihan yang tak pernah usai.

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun