Mentari merah saga menghias cakrawala,
Camar-camar berlomba kembali ke sarang,
Lembayung menghapus jejak kuning,
Kegelapan mulai menyelimutkan selapis awan tipis.
Aku memandang siluet tubuhmu di tepi lautan biru,
Gurat luka terukir di wajahmu,
Andai aku bisa mengembalikan senyum itu,
Senyum manis yang selalu kurindu.
"Kamu tahu apa keinginanku sekarang?" tanyamu.
"Tidak," jawabku singkat, tetap mengawasimu.
"Ingin ku larungkan semua lara ini ke lautan lepas."
Kamu memandang cakrawala tanpa jeda.
Setahun yang lalu kamu datang padaku,
Bercerita tentang lelaki yang dicintai telah mendua,
Dua puluh tahun bersama, kini tersisa kepahitan,
Biduk yang dikayuh, tak lagi bernahkoda.
"Kamu pasti kuat," hiburku,
Namun, hatimu terluka,
Cobaan hidup meluluhlantakkan asa,
Aku tak berdaya, hanya bisa menemanimu.
Tangisanmu di tengah malam,
Kanker bersarang di hatimu,
Usiamu tersisa enam bulan, kata dokter,
Aku ingin menguatkanmu, namun tak mampu.
Kamu sembunyikan luka,
Suami dan anak-anak tak tahu,
Hanya aku yang mendengar keluh kesahmu,
Biarlah lara ini hanya aku yang rasakan, katamu.
Dua bulan lalu, kamu tunjukkan foto wanita itu,
Perempuan yang menggoyahkan kesetiaan suamimu,
Tuhan terus menguji iman dan tabahmu,
Kamu diam, pasrah, membiarkan perempuan itu menjadi madumu.
"Ma, kenapa Tante Endang tidur di kamar utama?" tanya Rudi,
Endang menjelaskan, namun kamu tak menanggapi,
Kamu sembunyikan air mata, berusaha tegar,
Rudi memelukmu, tak mau punya ibu tiri.
Malam ini, kamu berdiri di dermaga,
Air mata jatuh di pipimu,
Gumpalan amarah, duka, kecewa menyatu,
"Tuhan, aku lelah. Panggil aku jika ini waktunya," teriakmu.
Deburan ombak, aku yang menemanimu,
Jauh di lubuk hatimu, aku selalu ada,
Meniti jalan tak berujung,
Bersama kesedihan yang tak pernah usai.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H