Mohon tunggu...
Muhammad Quranul Kariem
Muhammad Quranul Kariem Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri

Dosen | Penulis, Pengamat, dan Analis Politik & Pemerintahan | Koordinator Politics and Public Policy Institute | Alumni Program Magister, Jusuf Kalla School of Government

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Analisis Pembatasan Masa Jabatan Presiden Republik Indonesia

5 Maret 2019   18:48 Diperbarui: 5 Maret 2019   18:51 1447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang menganut paham demokrasi perwakilan, dimana negara mengadopsi konsepsi kedaulatan rakyat yang dituliskan dalam konstitusi. Pasca selesainya amademen keempat Undang-Undang Dasar 1945 yang akhirnya ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002, struktur ketatanegaraan kita menjadi banyak berubah. 

Republik Indonesia secara tidak langsung menganut konsep pembagian kekuasaan (separation power) dari Charles de Montesque, dengan tiga cabang kekuasaan (trias politica) yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Republik Indonesia juga menganut sistem pemerintahan presidensil, dimana kepala negara merangkap sebagai kepala pemerintahan dengan dipilih langsung oleh rakyat, dan kekuasaan presiden pada hakekatnya tidak bergantung pada lembaga legislatif. 

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sebelumnya merupakan lembaga tertinggi negara, berubah drastis tugas, pokok, dan fungsinya dalam ketatanegaraan. Sistem presidensil sesungguhnya memberikan peran sentral kepada Presiden untuk menjalankan pemerintahan dalam pengertian yang luas.

Artikel ini akan membahas perihal pembatasan kekuasaan Presiden Republik Indonesia yang diatur dalam konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 pada awalnya mengatur pembatasan kekuasaan di pasal 7 berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali". 

Aturan inilah yang membuat Suharto mampu menjadi Presiden Republik Indonesia selama tiga puluh tahun (1968-1998), sehingga pada era reformasi konsep pembatasan kekuasaan ini dirubah menjadi lebih tegas pada amademen pertama, yaitu menjadi "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan". 

Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dibatasi secara lebih jelas dengan dapat dipilih kembali maksimal hanya sepuluh tahun.

Pembatasan tersebut sesungguhnya dimaksudkan agar Presiden tidak lagi memanfaatkan kekuasaannya secara tidak tepat untuk mempertahankan jabatan Presiden. 'Trauma' masyarakat terhadap terlalu panjangnya masa jabatan presiden pada pemerintahan orde baru, membuat klausul pasal 7 UUD tersebut menjadi prioritas utama untuk dilakukan amademen. 

Hegemoni kekuasaan presiden tidak hanya terjadi pada masa orde baru, namun juga pada masa orde lama (1959-1967) pasca dikeluarkannya dekrit presiden untuk kembali memberlakukan UUD 1945. 

Kekuasaan eksekutif yang terlalu kuat ditangan Presiden, disebut oleh Lijphart (1999) sebagai pola executive heavy atau artinya adalah dominasi eksekutif terhadap legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Pada era reformasi pasca amademen konstitusi kita, Presiden Republik Indonesia yang sedang menjabat atau disebut incumbent, dapat 'kembali berkompetisi' pada pemilihan umum di tahun kelima ia menjabat. 

Hal ini lah yang sesungguhnya menjadi sebuah persoalan yang sangat subtansial, mengingat penulis telah uraikan diatas bahwa Republik Indonesia menggunakan sistem pemerintahan presidensil yang memberikan peran yang sangat sentral kepada Presiden dalam pemerintahan. 

Potensi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) sangat rentan terjadi karena kekuasaan yang begitu luar biasa diberikan oleh konstitusi kita pada posisi Presiden.

Pengalaman yang telah terjadi pada saat pemilihan presiden pada tahun 2009, terdapat tiga calon presiden yang berkompetisi, dimana salah satunya merupakan incumbent.

 Hasil pemilihan presiden tahun 2009 sangat mengejutkan, dimana incumbent berhasil meraih 73.847.562 suara atau sekitar 60,80% dan menjadi pemenang tanpa mengikuti putaran kedua (detik.com, 2014). Dominasi kemenangan incumbent merupakan bukti bahwa sistem presidensil memang membawa potensi abuse of power dalam kontestasi politik.

Realitas bahwa sistem politik kita masih berbiaya tinggi (high cost politics) membuat setiap penantang incumbent harus mengeluarkan 'ongkos' yang tidak sedikit dalam rangka menjalankan demokrasi di Indonesia. Misalnya saja pada Pemilu 2019 ini, Tim Bendahara BPN Prabowo -- Sandi (2019) merilis laporan biaya kampanye sebesar Rp. 134 Miliar, dimana modal yang disiapkan secara pribadi oleh Sandi adalah Rp. 95,4 Miliar dan Prabowo Rp. 36,45 Miliar. 

Modal politik tersebut dikatakan oleh Sandi dalam acara Mata Najwa 27 Februari 2019, belumlah cukup, karena masih membiayai saksi-saksi di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kondisi itu sesungguhnya 'diperparah' dengan fakta biaya penyelenggaraan pemilu serentak lima tahunan saat ini mencapai Rp. 24,8 Triliun (bbc.com, 2018).

Kondisi tersebut sesungguhnya harus kita renungkan bersama, mengingat demokrasi sesungguhnya harus bisa dijalankan secara lebih efisien. Potensi kemenangan penantang yang relatif sangat kecil bila merujuk pada pengalaman pemilu sebelumnya, serta kondisi abuse of power yang seringkali secara verbal tampak dari kubu incumbent membuat sistem politik kita terutama masa jabatan Presiden Republik Indonesia perlu restrukturisasi kembali.

Martin Lipset yang dikutip dari Newton & Van Deth (2016:54) menjelaskan ciri utama sebuah demokrasi sebagai sistem pemerintahan, salah satunya adalah persaingan untuk memperebutkan posisi pemerintahan, dan pemilu yang adil untuk pejabat publik berlansung dengan selang waktu yang teratur tanpa menggunakan pemaksanaan dan tanpa mengesampingkan kelompok sosial manapun.

Ciri yang diungkapkan Lipset sesungguhnya sangat jelas bahwa indikator demokrasi dalam sistem pemerintahan adalah adanya persaingan untuk memperebutkan posisi pemerintahan. Persaingan politik yang dimaksudkan adalah persaingan yang seimbang dan setara, antara penantang dan petahana. 

Merujuk pada pemahaman tata negara dalam konstitusi di Indonesia, sesungguhnya tidak memungkinkan mendudukkan kontestan politik dalam posisi yang sama. Hal itu dikarenakan petahana yang tidak dimungkinkan akan mengundurkan diri terlebih dahulu sebelum kontestasi pemilu, karena posisi strategisnya sebagai Presiden.

Ketidakseimbangan tersebut dikarenakan yang diperebutkan bukanlah posisi politik kepala pemerintahan, namun juga posisi strategis yaitu kepala negara (konsep sistem presidensil). 

Posisi Presiden Republik Indonesia bahkan secara tidak langsung tidak hanya mempunyai peran eksekutif semata, namun juga peran legislatif dan yudikatif.  Kondisi yang tidak ideal seperti ini harus diberikan alternatif yang rasional agar proses demokrasi menjadi lebih baik. 

Posisi Presiden dalam sistem presidensil terlebih dalam konstitusi di Indonesia tidak cocok untuk dipertandingkan kembali (re-match) dalam kontestasi politik.

Oleh karena itu, sesungguhnya masa jabatan presiden dalam konstitusi ini perlu untuk dikaji lebih mendalam. Kehidupan demokrasi yang lebih baik dan sistem pemerintahan yang lebih efektif menjadi tujuan kita dalam berbangsa dan bernegara. 

Solusi untuk menambahkan masa jabatan presiden dari lima tahun menjadi tujuh atau delapan tahun yang pernah dikatakan Prof. Salim Said dalam berbagai forum, menjadi tawaran yang cukup rasional untuk memperbaiki dan menyempurnakan konstitusi kita.

M. Qur'anul Kariem, S.IP., M.I.P

Dosen Ilmu Pemerintahan

Universitas Indo Global Mandiri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun