Prabowo Subianto maju sebagai Calon Presiden Republik Indonesia Periode 2019-2024 bersama Mantan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Sandiaga Uno dalam kontestasi pemilihan umum pada 17 April 2019 mendatang.
Prabowo merupakan 'tokoh lama' dalam percaturan politik nasional, dimana pasca diberhentikan dengan 'hormat' dari posisi Tentara Nasional Indonesia, ia mencoba peruntungan di konvensi calon presiden partai golkar untuk pemilihan presiden tahun 2004, namun ia kalah oleh Jenderal Wiranto yang terpilih dalam konvensi tersebut.
Peruntungan Prabowo kembali pada tahun 2009, dengan menjadi Calon Wakil Presiden Republik Indonesia bersama Megawati Sukarnoputri, namun untuk kedua kalinya pasangan Mega -- Prabowo dengan JK -- Wiranto dikalahkan secara telak oleh petahana (incumbent).
Prabowo mengembangkan partai gerindra (gerakan Indonesia raya) dan mampu menjadi runner up dalam pemilihan legislatif 2014, ia kembali maju dengan kapasitas sebagai Calon Presiden Republik Indonesia bersama Koalisi Merah Putih (KMP) dengan partai -- partai besar sebagai pengusung utamanya.
'Rising Star'Â Politik Nasional kala itu, Joko Widodo mengalahkan Prabowo Subianto dalam kontestasi pemilihan presiden tahun 2014, hal itu merupakan kegagalan Prabowo tiga kali secara beruntun, bila merujuk pada niatan politiknya untuk memimpin Republik Indonesia. Prabowo adalah seorang nasionalis sejati, ia menawarkan paket -- paket kebijakan 'pro-rakyat' dan retorika mengenai penguatan identitas nasional. Prabowo tidak lagi muda, ia sudah perlahan menua, dan fisiknya tidak sebaik lima tahun atau sepuluh tahun yang lalu.
Pemilu di Indonesia memiliki karakter 'high cost politics' atau politik berbiaya sangat tinggi. Dinamika politik saat ini jelas berbeda dengan dinamika lima tahun yang lalu, dimana ia bersaing dengan non-petahana. Prabowo melakukan berbagai spekulasi politik yang menarik, pertama ia bersama Sandiaga membiayai sendiri 'ongkos' politiknya.
Hal itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia masih meyakini konsep nasionalismenya, dengan tidak memiliki hutang budi politik dengan 'pemodal politik'. Prabowo harus menyadari fakta bahwa ia menghadapi petahana yang memiliki sumber daya yang luar biasa, dari sisi kekuasaan dan bahkan pemodal politik di belakangnya, bahkan ia merasa kesulitan untuk menutup cost politics seperti yang diungkapkan oleh Sandiaga Uno dalam wawancaranya dengan Najwa Shihab beberapa waktu yang lalu.
Prabowo sesungguhnya mendapatkan momentum politik dengan berhasil menggandeng Susilo Bambang Yudhoyono, sang maestro politik di Indonesia, yang sesungguhnya menjadi mitra politik yang sangat strategis untuk memenangkan kontestasi, namun dapat dipastikan ia kehilangan kekuatan utamanya pasca SBY harus mendampingi Ani Yudhoyono dalam perawatan di Singapura, terlebih Partai Demokrat berfokus untuk memenangkan pemilihan legislatif.
Prabowo Subianto mampu masuk dan diterima 'Kelompok Islam 212' yang spektrum politiknya menguat pasca kejadian penistaan agama. Kekuatan kelompok ini sangat besar pengaruhnya kepada konstelasi politik nasional, karena mampu terus dikonsolidasi selama kurun waktu 2016 hingga 2018.
Kelompok ini diisi oleh bas sist kekuatan Islam dari berbagai kalangan, baik yang dikatakan moderat hingga 'ekstrem'. Banyak yang meragukan kekuatan politik islam 212, namun bukti bahwa Petahana harus membawa Kiai Ma'ruf Amin untuk 'mengimbangi' salah satu isu politik strategis tersebut menjadi realitas empirik yang tidak perlu diperdebatkan.
Prabowo juga menyasar kaum intelektual yang secara rasional mempunyai padangan negatif mengenai kebijakan -- kebijakan yang diambil oleh pemerintah saat ini. Kaum intelektual dikonsolidasi untuk mengkritik kebijakan -- kebijakan pembangunan infrastruktur, penegakan hukum, dan utamanya adalah persoalan ekonomi yang telah menjadi sasaran kritik kubu oposisi. Peran intelektual ini menjadi menarik, dimana salah satunya terdapat campaign diberbagai daerah mengenai 'akal sehat'.