Teknologi sudah tidak dipakai
Masalah lain yang menghantui KRL-KRL tua ini adalah teknologi yang sudah tidak lagi dipakai. Kebanyakan, KRL yang dibuat antara tahun 1960an hingga pertengahan 1990an menggunakan teknologi chopper yang merupakan teknologi jembatan antara teknologi rheostat dengan teknologi VVVF. Sementara rheostat masih terus digunakan dan VVVF makin merajalela, teknologi chopper ditinggalkan.
Akibatnya, suku cadang untuk teknologi chopper semakin sulit ditemui di pasaran. Hal ini tidak hanya terjadi pada KRL-KRL yang ada pada daftar di atas saja.Â
Beberapa KRL lain buatan 1987, 1988, 1989, 1990, dan 1991 yang masih menggunakan teknologi chopper juga menemui masalah yang sama. Hasilnya, bila KRL dengan teknologi chopper ini sudah rusak dan tak dapat lagi diperbaiki, maka KRL harus pensiun.
Berbeda hal dengan KRL berteknologi rheostat atau VVVF yang suku cadangnya masih banyak di pasaran. KRL-KRL tersebut tidak terlalu mengalami masalah berarti dalam ketersediaan suku cadang.Â
Selain itu, KRL eks Jepang dengan dua teknologi ini justru merupakan KRL termuda dalam jajaran armada KAI Commuter karena baru berusia antara 32-39 tahun dengan SF 10 atau 12 gerbong per rangkaiannya.
Retrofit sebenarnya lumrah dilakukan
Sebetulnya, retrofit kereta adalah hal yang lumrah dilakukan. Di Indonesia, KAI yang saat itu masih bernama Perumka pernah bekerjasama dengan INKA pada tahun 1991, 1993, dan 1996 dalam meretrofit kereta-kereta penumpang buatan 1950an. Pada saat itu, kereta-kereta tersebut rata-rata telah berusia 40 hampir 50 tahun.
Kereta-kereta ini diretrofit menjadi kereta kelas ekonomi, bisnis, maupun eksekutif yang kemudian dipakai di beberapa nama kereta penumpang. Salah satunya adalah untuk KA Argo Dwipangga pada saat itu (Saat ini KA Argo Dwipangga sudah menggunakan kereta terbaru stainless steel).Â