Sejak polemik impor KRL bekas bergulir, muncul satu usulan yang pada intinya adalah untuk menahan sebisa mungkin agar tidak melakukan impor.Â
Usulan tersebut adalah retrofit atau pembaruan teknologi KRL. Usul ini bergulir semata-mata hanya bermaksud agar terdapat penyerapan tenaga kerja lokal. Sayangnya, usulan ini menjadi kurang tepat karena kurang memperhatikan aspek teknis.
Seperti diketahui, terdapat sekitar 10-12 rangkaian KRL usang yang kabarnya akan pensiun tahun ini, dan 16-19 rangkaian KRL usang yang akan menyusul tahun depan.Â
Usia KRL-KRL ini sudah mencapai 40 tahun sejak pembuatan, bahkan separuh di KRL-KRL yang akan pensiun ini sudah berusia 50 tahun atau lebih sejak tahun pembuatan. Selain itu, kebanyakan KRL yang akan pensiun merupakan KRL dengan stamformasi (SF) 8 kereta.
Penulis berpandangan bahwa usulan ini kurang tepat. Ini tentu disebabkan karena usia KRL yang akan pensiun dan malah diusulkan untuk retrofit itu sudah sangat tua. Sebagai contoh, KAI Commuter masih memiliki rangkaian KRL buatan 1969 yang usianya telah mencapai 54 tahun di tahun ini.Â
Sementara itu, dalam paparannya pada rapat dengan DPR Senin (27/3) lalu, INKA menyebut bahwa retrofit dapat memperpanjang usia KRL hingga 10 tahun.
Kereta komuter tetap saja berbeda fitrah dengan kereta jarak jauh. Kereta komuter mengangkut lebih banyak penumpang daripada kereta jarak jauh.Â
Usia 54 tahun untuk armada KRL Commuter Line tentu saja sudah sangat tua, sehingga bila dipaksakan untuk beroperasi lewat retrofit sekalipun maka tetap saja kompromi terhadap keselamatan dan keamanan penumpangnya.
Bila retrofit dipaksakan, itu berarti KRL tersebut setidaknya akan terus beroperasi hingga usia 64 tahun. Kita tentu tidak ingin kejadian semacam patahnya rangka kereta ekonomi di Kebayoran tahun 2006 yang mengakibatkan 20 orang luka sebagai akibat dari usia gerbong yang sudah tua terulang bukan?