Selain itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menetapkan asas lex superiori derogat legi inferiori, yang berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau aturan hukum di atasnya. Karena Peraturan Gubernur Lampung tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Mahkamah Agung memutuskan untuk mencabutnya.
Dengan demikian, cabutnya Peraturan Gubernur Lampung tersebut oleh Mahkamah Agung didasarkan pada pertimbangan bahwa peraturan tersebut melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta prinsip asas lex superiori derogat legi inferiori yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Satjipto Rahardjo, dalam bukunya yang berjudul "Membedah Hukum Progresif", Â menjelaskan bahwa gagasan hukum progresif berawal dari kata "progres" yang berarti kemajuan. Suatu hukum seyogianya dapat mengikuti perubahan zaman, harus mengikuti problematika yang berkembang dalam masyarakat dan bisa memenuhi kepentingan hukum masyarakat dengan melandaskan diri pada nilai moral dari sumber daya aparat yang dimiliki. Dengan demikian hukum yang baik harus memotret fenomena sosial secara utuh, transendental dan substantif sebagai acuan untuk menyelesaikan masalah sosial dengan menegakkan hukum dan tidak lepas dari tuntunan agama, etika sosial yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Oleh karena itu, jika hukum tertulis sudah tidak mampu lagi mewadahi keadilan, maka hakim harus berani berpikir progresif untuk menerobos norma-norma tertulis tersebut.
Putusan Mahkamah Agung nomor 1P/HUM/2024 yang mencabut Peraturan Gubernur Lampung tentang tata kelola hasil panen dan produktivitas tanaman tebu yang dinilai tidak ramah lingkungan adalah contoh konkret dari penegakan hukum progresif dalam konteks perlindungan lingkungan hidup di Indonesia.
Penegakan hukum progresif merujuk pada pendekatan hukum yang tidak hanya mematuhi peraturan yang ada, tetapi juga mengembangkan interpretasi hukum untuk mempromosikan nilai-nilai sosial yang lebih tinggi, seperti perlindungan lingkungan hidup. Dalam hal ini, Mahkamah Agung melakukan interpretasi hukum yang berani dan inovatif dengan mencabut peraturan yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Adanya putusan ini menunjukkan komitmen Mahkamah Agung dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup sebagai bagian dari keadilan sosial yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat serta memiliki kewajiban untuk melestarikan lingkungan hidup.
Meskipun putusan ini dapat membawa dampak ekonomi negatif, khususnya bagi industri gula tebu di Lampung, penegakan hukum progresif menegaskan bahwa kepentingan jangka panjang dalam menjaga keberlanjutan lingkungan harus diberikan prioritas. Pemerintah dan stakeholder terkait diharapkan dapat bekerja sama untuk menemukan solusi-solusi yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan.
Achmad Ali, dalam bukunya yang berjudul "Menguak Tabir Hukum", menyebutkan bahwa tujuan dari hukum dapat diklasifikasi ke dalam tiga tujuan hukum yaitu:
- Aliran etis memandang bahwa tujuan utama dari hukum adalah untuk menciptakan keadilan.
- Aliran utilitas memiliki tujuan utama dari hukum untuk memberikan kebahagian dan kemanfaatan bagi sebesar-besarnya masyarakat.
- Aliran normatif memandang bahwa tujuan utama hukum adalah memberikan kepastian.
Sejalan dengan itu, Gustav Redbruch mengemukakan bahwa terdapat tiga pilar utama dari hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Redbruch mengajarkan penerapan asas prioritas dari ketiga asas tersebut, di mana prioritas utama adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Putusan Mahkamah Agung nomor 1P/HUM/2024 yang mencabut Peraturan Gubernur Lampung tentang tata kelola hasil panen dan produktivitas tanaman tebu yang tidak ramah lingkungan merupakan implementasi dari penegakan hukum progresif dengan mempertimbangkan tiga asas tujuan hukum: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Keadilan, putusan ini menunjukkan komitmen untuk mewujudkan keadilan lingkungan, di mana kepentingan lingkungan hidup yang lebih besar diprioritaskan daripada keuntungan ekonomi sementara. Keadilan lingkungan di sini mengacu pada perlindungan hak-hak masyarakat untuk hidup dalam lingkungan yang bersih dan sehat, sesuai dengan amanat konstitusi.