Pemberitaan dan penulisan sejarah Timor Timur seringkali tidak berimbang. Militer Indonesia dan kelompok pro integrasi seringkali dianggap melanggar HAM di Timor Timur, sedangkan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kelompok pro kemerdekaan dan PBB jarang diekspos. Maka dari itu, penulis ingin membagikan kisah-kisah kekejaman kelompok pro kemerdekaan dan PBB di masa sebelum dan sesudah jajak pendapat. Sebagai penjelasan, UNAMET (United Nations Mission in East Timor) adalah tim dari PBB yang bertugas memersiapkan dan mengawal jalannya referendum sedangkan INTERFET (International Force for East Timor) adalah pasukan perdamaian PBB yang dikirimkan untuk memulihkan ketertiban pasca referendum. Pasukan INTERFET dikomandani oleh Mayor Jenderal Sir Peter John Cosgrove dari Australia. Beberapa kisah merupakan kesaksian langsung para korban maupun saksi mata korban dan lainnya merupakan arsip berita yang telah mengalami penyuntingan oleh penulis sehingga lebih rapi dan enak dibaca.
Kesaksian Korban dan Saksi Mata
Cristoper Madeyra (32 th), kelahiran Dili, saat ini tinggal di Jakarta (Korban)
Pada tahun 1999 pasca jajak pendapat, korban didatangi oleh satu kendaraan UNAMET berisi kurang lebih empat orang, korban langsung ditangkap dan dibawa ke markas UNAMET di Balibo. Saat berada di markas UNAMET, korban diperlakukan secara tidak manusiawi seperti binatang. Korban dipaksa oleh orang-orang UNAMET untuk bergabung dengan kelompok pro kemerdekaan. Namun korban menolak sehingga mendapat siksaan berupa kepala ditusuk dengan sangkur, kaki kanan ditempel dengan besi panas sehingga mengalami luka bakar, dan pinggang korban disayat dengan sangkur. Karena sudah tidak tahan, korban berusaha melarikan diri tetapi ketahuan sehingga korban ditembak oleh pasukan UNAMET dan mengenai tangan kiri korban.
Martinha (30 th), istri korban, saat ini tinggal di Atambua (Saksi mata pembunuhan Alfonso (26 th), kelahiran Dili)
Pada tanggal 20 September 1999, pasukan INTERFET melakukan penyisiran ke rumah-rumah penduduk di Aimutin, Dili. Saat pasukan berada di rumahnya, korban diperintahkan keluar. Namun korban tidak segera keluar karena tidak terlalu mendengar (tuli) dan tetap mengemas barang untuk eksodus. Korban mengamankan barang-barang bengkel milik Gadapaksi terlebih dahulu dan menyuruh istrinya keluar terlebih dulu. Akhirnya korban dipaksa keluar oleh pasukan INTERFET. Begitu keluar dari rumah, korban langsung diteriaki "mohu" oleh masyarakat. Tidak lama kemudian masyarakat menyiram korban dengan bensin dan membakar korban hidup-hidup di depan istrinya sedangkan pasukan INTERFET yang berada di lokasi kejadian tidak berusaha mencegah aksi massa tersebut.
Isabel Durego (45 th), istri korban, saat ini tinggal di Atambua (Saksi mata pembunuhan Antoni Durego Parera (35 th), kelahiran Dili)
Pada tanggal 8 September 1999, korban bersama keluarga rombongan dua mobil dalam perjalanan Dili ke Atambua dihadang oleh kelompok pro kemerdekaan di daerah Tibar. Korban diturunkan dari mobil dan dianiaya di depan keluarganya. Setelah dianiaya hingga sekarat, rombongan keluarga korban dipaksa segera meninggalkan tempat dan tubuh korban yang sekarat dibiarkan begitu saja di perternakan di daerah Tibar. Beberapa waktu kemudian ditemukan oleh keluarga korban dalam keadaan tinggal kerangka.
Alberto de Jesus Soares (40 th), saat ini tinggal di Atambua (Saksi mata pembunuhan Virgilio Martins dan Apolinario Pinto, keduanya mantan anggota DPRD kabupaten Vikeke)
Pada tanggal 26 September 1999, korban bersama rekannya A. N. Apolinario Pinto serta anak perempuannya berumur 9 tahun (sekarang tinggal dengan kerabatnya di Konsulat Timor Leste di Kupang) dengan mobil dalam perjalanan dari Farol menuju Bekora dicegat oleh kelompok pro kemerdekaan di Jembatan Kuluhun. Kedua korban dianiaya dan anaknya dibiarkan pergi. Dalam kondisi tidak berdaya, kedua korban dimasukkan kembali ke dalam mobil selanjutnya korban dibakar hidup-hidup bersama mobilnya. Saksi mata Alberto melihat kejadian tersebut tetapi tidak dapat berbuat banyak karena massa pro kemerdekaan sangat banyak. Pertolongan baru dapat dilakukan setelah massa pro integrasi didatangkan dari Dili untuk melakukan evakuasi.
C. W. Sukarno (60 th), kelahiran Kebumen, pernah menjadi kepala sekolah SLTPN Hatolia, Ermera, saat ini tinggal di Magelang (Korban)
Pada hari Jumat tanggal 5 September 1998, korban mengemban tugas negara sebagai kepala sekolah SLTPN Hatolia, Ermera, dan menetap di perumahan guru Bekora, Dili. Saat akan mengurus yayasan GNOTA ke kepala departemen pendidikan Ermera, sebelum sampai tujuan korban dihadang oleh tiga orang yang mengatasnamakan kelompok FRETILIN dan melakukan kekerasan terhadap korban dengan menusuk dari belakang sampai tembus perut hingga mengalami tiga luka tusuk di tiga tempat yang terpisah, tangan kanan dipukul dengan besi hingga patah, serta tulang pangkal jari tengah hancur ditindih batu. Korban dituduh sebagai tentara yang suka membunuh orang serta meminta korban menyerahkan pistolnya. Namun korban menjawab bahwa korban adalah bukan seorang tentara melainkan seorang guru dan mempunyai anak dan istri. Sebagai umat Katolik, korban memohon kepada tiga orang tersebut untuk tidak membunuhnya. Korban memersilakan mereka mengambil dompet dan motor korban. Namun para pelaku tidak menjawab dan berkata bahwa pelaku akan membunuh korban kemudian pelaku menyeret korban ke sisi jalan sejauh 20 meter serta membuangnya ke jurang sedalam 30 meter. Pelaku melarikan diri dengan membawa uang dan motor tersebut. Setelah sekitar 10 menit tidak sadar, dengan sisa tenaga korban berteriak meminta tolong. Kemudian korban ditolong oleh sopir mikrolet serta dibawanya ke Rumah Sakit Umum Dili. Setelah tiba di rumah sakit, korban mendapatkan perawatan medis. Setelah korban mulai sadar dari hasil perawatan, selanjutnya korban kembali ke rumahnya di Bekora. Kemudian setelah beberapa lama, korban berniat untuk meninggalkan Timor Timur menuju ke Semarang karena merasa trauma dan terancam dengan situasi yang sedang terjadi saat itu.
Abdullah bin Don Duru (38 th), kelahiran Dili, saat ini menetap di Kupang bekerja sebagai pengurus masjid (Korban)
Sekitar bulan Agustus 1999 pada masa kampanye menjelang jajak pendapat, korban berencana akan menghadiri kampanye pro intergrasi. Pada saat dalam perjalanan, korban menyaksikan adik kandungnya diculik oleh kelompok pro kemerdekaan dan dimasukkan ke dalam mobil selanjutnya dibawa ke arah Pasar Komoro. Melihat kejadian tersebut, korban berusaha mengejar pelaku sampai masuk ke dalam pasar. Setelah korban masuk ke dalam pasar, semua jalan ditutup sehingga korban terjebak. Pada saat bersamaan, puluhan pelaku yang terdiri dari kelompok pro kemerdekaan menganiaya korban dengan sadis sehingga mengalami luka tusuk pada bagian pinggang belakang, luka bacok pada bagian leher, dua ujung jari tangan kiri terpotong, luka pukulan pada tulang hidung, serta menderita luka lain hampir di sekujur tubuhnya. Setelah kejadian, korban berhasil diselamatkan oleh orang-orang dan kerabat yang masih bersimpati kepadanya untuk dibawa ke rumah sakit. Meskipun korban mengalami luka yang serius, pada saat jajak pendapat korban tetap hadir dan memberikan suaranya meski dengan tandu karena korban tidak mau kehilangan suaranya untuk memilih berintegrasi dengan Indonesia. Kemudian setelah diumumkan bahwa hasil jajak pendapat dimenangkan oleh kelompok pro kemerdekaan, maka korban terpaksa melarikan diri ke Kupang.
Arsip Berita
Pasukan INTERFET Siksa Enam Warga
Pasukan INTERFET asal Australia melakukan penangkapan dan penyiksaan terhadap enam warga yang hendak mengangkut barang-barang ungsian dari kota Dili untuk dibawa menuju ke perbatasan di Atambua, Kabupaten Belu, NTT. Dari Dili, Minggu (26/9), dilaporkan enam warga itu masing-masing tiga orang berasal dari Atambua dan tiga lainnya anggota milisi Aitarak dari Dili. Tiga warga Atambua yaitu Jonny R. Eden (24), Yani Ndoen (35), dan Luis Seru (36) yang hingga kini masih raib sedangkan ketiga anggota Aitarak adalah Lorenco Gomes (38), Caitano da Silva (38), dan Joao Ximenes (39).
Jonny mengaku, enam orang itu ditangkap Rabu (22/9) saat hendak mengambil beberapa barang dengan mobil Hiline di markas Aitarak di Kompleks Tropical, Dili. "Saya melihat ada tiga karung berisi mayat dan tampak masih ada darah di tempat itu," ujarnya dan menambahkan, melihat mayat yang dibakar di sekitar markas Aitarak tetapi identitasnya tidak diketahui. Enam orang tersebut pada sekitar pukul 20:00 dibawa ke Lapangan Tenis Melati kemudian disiksa dan disuruh tidur tertelungkup di tempat itu dengan penjagaan ketat dan todongan senjata. "Di situ saya juga lihat mayat dibungkus dalam satu karung dan dua lainnya tergeletak," katanya. Jonny juga diperlakukan secara kasar, antara lain dipukul dengan popor senapan pada bagian punggung serta ditendangi oleh pasukan INTERFET.
Pada hari Kamis (23/9), keenam orang itu kemudian dibawa ke Stadion Municipal, Dili. Mereka diinterogasi dan disuruh berlutut di atas kotoran manusia serta dijemur pada terik matahari di lapangan selama satu jam. Penangkapan dan penyiksaan dilakukan setelah sejumlah warga pro kemerdekaan memberitahu personel INTERFET bahwa mereka adalah anggota milisi yang telah melakukan pembunuhan. Ketika melakukan penyiksaan, sejumlah personel INTERFET asal Australia menutup tanda nama pada seragamnya dengan lakban berwarna hitam sehingga tidak bisa diketahui identitasnya. "Tetapi jelas dari kulitnya mereka bule dari Australia," katanya.
"No Problem"
Menurut pengakuan Thomas, sekitar satu jam (14:00-15:00 WITA) empat anggota Aitarak yang hendak membebaskan warga pro integrasi yang disandera di Tibar disiksa oleh pasukan INTERFET. Saat itu pula melintas tiga truk TNI dari Ermera yang akan menuju ke Dili. Seorang korban bernama Fernando sempat berteriak meminta pertolongan. Anggota-anggota TNI itu segera turun dari truk dan memerintahkan pasukan INTERFET melepaskan tawanan. "'No problem, no problem', kata orang Australia itu setelah tentara kita perintahkan agar kami dibebaskan," kata Thomas tatkala menirukan jawaban seorang anggota INTERFET asal Australia kepada pimpinan konvoi TNI yang berhenti di tempat tersebut.
Sekitar 20 anggota INTERFET asal Australia berada di Tibar dengan menggunakan tiga mobil milik UNAMET. Sementara sejumlah anggota pro kemerdekaan juga berada di tempat tersebut membantu pasukan PBB untuk mencari dan menangkap warga pro integrasi khususnya anggota PPI. "Mereka bukan sebagai pasukan perdamaian yang harus netral di Timtim tetapi pasukan Australia yang bekerja sama dengan CNRT dan FALINTIL untuk melawan pro integrasi. Kalau pasukan perdamaian, seharusnya mengamankan dua pihak (pro integrasi dan pro kemerdekaan)," kata Thomas.
Baca di blog saya : mozesadiguna95.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H