Mohon tunggu...
Mozes Adiguna Setiyono
Mozes Adiguna Setiyono Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang keturunan Tionghoa tetapi hati tetap Merah Putih.

Lahir di Semarang, 2 Maret 1995

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah-Kisah Kekejaman FRETILIN dan INTERFET

28 Desember 2015   12:06 Diperbarui: 2 Juli 2019   08:53 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mayor Jenderal Sir Peter John Cosgrove (kanan) sebagai komandan pasukan INTERFET

Pada hari Jumat tanggal 5 September 1998, korban mengemban tugas negara sebagai kepala sekolah SLTPN Hatolia, Ermera, dan menetap di perumahan guru Bekora, Dili. Saat akan mengurus yayasan GNOTA ke kepala departemen pendidikan Ermera, sebelum sampai tujuan korban dihadang oleh tiga orang yang mengatasnamakan kelompok FRETILIN dan melakukan kekerasan terhadap korban dengan menusuk dari belakang sampai tembus perut hingga mengalami tiga luka tusuk di tiga tempat yang terpisah, tangan kanan dipukul dengan besi hingga patah, serta tulang pangkal jari tengah hancur ditindih batu. Korban dituduh sebagai tentara yang suka membunuh orang serta meminta korban menyerahkan pistolnya. Namun korban menjawab bahwa korban adalah bukan seorang tentara melainkan seorang guru dan mempunyai anak dan istri. Sebagai umat Katolik, korban memohon kepada tiga orang tersebut untuk tidak membunuhnya. Korban memersilakan mereka mengambil dompet dan motor korban. Namun para pelaku tidak menjawab dan berkata bahwa pelaku akan membunuh korban kemudian pelaku menyeret korban ke sisi jalan sejauh 20 meter serta membuangnya ke jurang sedalam 30 meter. Pelaku melarikan diri dengan membawa uang dan motor tersebut. Setelah sekitar 10 menit tidak sadar, dengan sisa tenaga korban berteriak meminta tolong. Kemudian korban ditolong oleh sopir mikrolet serta dibawanya ke Rumah Sakit Umum Dili. Setelah tiba di rumah sakit, korban mendapatkan perawatan medis. Setelah korban mulai sadar dari hasil perawatan, selanjutnya korban kembali ke rumahnya di Bekora. Kemudian setelah beberapa lama, korban berniat untuk meninggalkan Timor Timur menuju ke Semarang karena merasa trauma dan terancam dengan situasi yang sedang terjadi saat itu.

Abdullah bin Don Duru (38 th), kelahiran Dili, saat ini menetap di Kupang bekerja sebagai pengurus masjid (Korban)

Sekitar bulan Agustus 1999 pada masa kampanye menjelang jajak pendapat, korban berencana akan menghadiri kampanye pro intergrasi. Pada saat dalam perjalanan, korban menyaksikan adik kandungnya diculik oleh kelompok pro kemerdekaan dan dimasukkan ke dalam mobil selanjutnya dibawa ke arah Pasar Komoro. Melihat kejadian tersebut, korban berusaha mengejar pelaku sampai masuk ke dalam pasar. Setelah korban masuk ke dalam pasar, semua jalan ditutup sehingga korban terjebak. Pada saat bersamaan, puluhan pelaku yang terdiri dari kelompok pro kemerdekaan menganiaya korban dengan sadis sehingga mengalami luka tusuk pada bagian pinggang belakang, luka bacok pada bagian leher, dua ujung jari tangan kiri terpotong, luka pukulan pada tulang hidung, serta menderita luka lain hampir di sekujur tubuhnya. Setelah kejadian, korban berhasil diselamatkan oleh orang-orang dan kerabat yang masih bersimpati kepadanya untuk dibawa ke rumah sakit. Meskipun korban mengalami luka yang serius, pada saat jajak pendapat korban tetap hadir dan memberikan suaranya meski dengan tandu karena korban tidak mau kehilangan suaranya untuk memilih berintegrasi dengan Indonesia. Kemudian setelah diumumkan bahwa hasil jajak pendapat dimenangkan oleh kelompok pro kemerdekaan, maka korban terpaksa melarikan diri ke Kupang.

Arsip Berita

Pasukan INTERFET Siksa Enam Warga

Pasukan INTERFET asal Australia melakukan penangkapan dan penyiksaan terhadap enam warga yang hendak mengangkut barang-barang ungsian dari kota Dili untuk dibawa menuju ke perbatasan di Atambua, Kabupaten Belu, NTT. Dari Dili, Minggu (26/9), dilaporkan enam warga itu masing-masing tiga orang berasal dari Atambua dan tiga lainnya anggota milisi Aitarak dari Dili. Tiga warga Atambua yaitu Jonny R. Eden (24), Yani Ndoen (35), dan Luis Seru (36) yang hingga kini masih raib sedangkan ketiga anggota Aitarak adalah Lorenco Gomes (38), Caitano da Silva (38), dan Joao Ximenes (39).

Jonny mengaku, enam orang itu ditangkap Rabu (22/9) saat hendak mengambil beberapa barang dengan mobil Hiline di markas Aitarak di Kompleks Tropical, Dili. "Saya melihat ada tiga karung berisi mayat dan tampak masih ada darah di tempat itu," ujarnya dan menambahkan, melihat mayat yang dibakar di sekitar markas Aitarak tetapi identitasnya tidak diketahui. Enam orang tersebut pada sekitar pukul 20:00 dibawa ke Lapangan Tenis Melati kemudian disiksa dan disuruh tidur tertelungkup di tempat itu dengan penjagaan ketat dan todongan senjata. "Di situ saya juga lihat mayat dibungkus dalam satu karung dan dua lainnya tergeletak," katanya. Jonny juga diperlakukan secara kasar, antara lain dipukul dengan popor senapan pada bagian punggung serta ditendangi oleh pasukan INTERFET.

Pada hari Kamis (23/9), keenam orang itu kemudian dibawa ke Stadion Municipal, Dili. Mereka diinterogasi dan disuruh berlutut di atas kotoran manusia serta dijemur pada terik matahari di lapangan selama satu jam. Penangkapan dan penyiksaan dilakukan setelah sejumlah warga pro kemerdekaan memberitahu personel INTERFET bahwa mereka adalah anggota milisi yang telah melakukan pembunuhan. Ketika melakukan penyiksaan, sejumlah personel INTERFET asal Australia menutup tanda nama pada seragamnya dengan lakban berwarna hitam sehingga tidak bisa diketahui identitasnya. "Tetapi jelas dari kulitnya mereka bule dari Australia," katanya.

"No Problem"

Menurut pengakuan Thomas, sekitar satu jam (14:00-15:00 WITA) empat anggota Aitarak yang hendak membebaskan warga pro integrasi yang disandera di Tibar disiksa oleh pasukan INTERFET. Saat itu pula melintas tiga truk TNI dari Ermera yang akan menuju ke Dili. Seorang korban bernama Fernando sempat berteriak meminta pertolongan. Anggota-anggota TNI itu segera turun dari truk dan memerintahkan pasukan INTERFET melepaskan tawanan. "'No problem, no problem', kata orang Australia itu setelah tentara kita perintahkan agar kami dibebaskan," kata Thomas tatkala menirukan jawaban seorang anggota INTERFET asal Australia kepada pimpinan konvoi TNI yang berhenti di tempat tersebut.

Sekitar 20 anggota INTERFET asal Australia berada di Tibar dengan menggunakan tiga mobil milik UNAMET. Sementara sejumlah anggota pro kemerdekaan juga berada di tempat tersebut membantu pasukan PBB untuk mencari dan menangkap warga pro integrasi khususnya anggota PPI. "Mereka bukan sebagai pasukan perdamaian yang harus netral di Timtim tetapi pasukan Australia yang bekerja sama dengan CNRT dan FALINTIL untuk melawan pro integrasi. Kalau pasukan perdamaian, seharusnya mengamankan dua pihak (pro integrasi dan pro kemerdekaan)," kata Thomas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun